Showing posts sorted by relevance for query tindak-pidana-ringan-tidak-berlaku-bagi. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query tindak-pidana-ringan-tidak-berlaku-bagi. Sort by date Show all posts

Ilmu Pengetahuan Tindak Pidana Ringan Tidak Berlaku Bagi Pkl Di Tanah Abang

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Kepala Satpol PP DKI Jakarta Yani Wahyu mengatakan, tindak pidana ringan (Tipiring) tidak berlaku bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menggelar lapak di trotoar daerah Tanah Abang. Pasalnya, Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno belum menemukan konsep penataan komperhensif untuk daerah tersebut.

"Lagi dikonsep. Kebijakan kini ini ya bahwa pedagang kaki lima itu harus diberdayakan, terutama para pedagang yang sudah usang di situ, dan kini kebijakannya kami tetap melaksanakan pengawasan," ungkap Yani di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (13/11/2017).

 Kepala Satpol PP DKI Jakarta Yani Wahyu menyampaikan Ilmu Pengetahuan Tindak Pidana Ringan Tidak Berlaku Bagi PKL di Tanah Abang
Sejumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) berjualan di trotoar di sekitar daerah Pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu (25/10/2017). tirto.id/Andrey Gromico
Kendati demikian, Yani menegaskan bahwa tipiring itu tetap diberlakukan bagi para PKL dan pengendara yang menyalahgunakan trotoar di tempat lain. Dasar aturan yang digunakan untuk menindak para pelanggar yakni perda (Perda) nomor 8 Tahun 2007 perihal Ketertiban Umum, serta Instruksi Gubernur No 99 Tahun 2017 perihal Bulan Tertib Trotoar (BTT) yang dikeluarkan mantan Gubernur Djarot Saiful Hidayat.

"Tapi sebelum kami lakukan represi, tentu kami melaksanakan persuasif, kemudian dengan smooth dan humanis," ungkap beliau menjelaskan karakteristik Satpol PP di kurun pemerintahan Anies-Sandi.

Jika dilihat, penindakan yang dilakukan tim campuran BTT (Satpol PP, Dishub, Kepolsisian dan sebagainya) di masa pemerintahan Anies-Sandi memang cenderung melemah dan babat pilih. Yani mengatakan, hal tersebut terasa di masa pemerintahan gubernur-wakil gubernur gres yang sudah berjalan 3 pekan.

Padahal, kata Yani, BTT yang dilakukan semenjak awal Agustus kemudian cukup itu efektif meski masih terdapat pelanggaran di sejumlah ruas trotoar, khususnya oleh PKL, parkir liar ataupun kendaraan melintas. Mantan Walikota Jakarta Utara itu menekankan, trotoar merupakan ruang publik yang tak boleh digunakan untuk keperluan kelompok apalagi pribadi.

Ia juga menyebut, semua pelanggar pribadi akan terkena penindakan BTT oleh tim campuran tanpa pandang bulu. Mereka harus mengikuti sidang tipiring dan membayar denda bervariasi mulai Rp150.000 hingga dengan Rp200.000. Denda ini ditetapkan sesuai dengan tingkat kesalahan dan kemampuan

Menurut data dari Dishub DKI, semenjak Januari hingga Oktober 2017, tercatat sebanyak 17.092 kendaraan yang diderek alasannya parkir liar di trotoar dan pundak jalan. "Sementara hingga 18 Oktober 2017, kendaraan yang ditindak alasannya parkir liar mencapai 163.428 unit," ujar Kepala Dishub DKI Andri Yansyah di Jakarta menyerupai dikutip dari Tirto.id, Jumat (20/10/2017). "Dari jumlah tersebut, sebanyak 17.092 kendaraan roda empat diderek."

Baca :
Lebih lanjut, Andri menuturkan Dishub juga telah melaksanakan pencabutan 45.464 pentil kendaraan roda dua dan roda empat yang parkir liar.

"Penindakan tersebut kami lakukan dengan tujuan menunjukkan imbas jera kepada pengendara biar tidak kembali mengulang kesalahan dengan parkir di sembarang tempat," tutur Andri.

Ilmu Pengetahuan Sistem Eksekusi Aturan Pidana

Sistem Hukuman Hukum Pidana - Hukum pidana termasuk pada ranah aturan publik. Hukum pidana adalah aturan yang mengatur kekerabatan antar subjek aturan dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan tidak boleh oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya hukuman berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.

Dalam aturan pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran.
  1. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapat hukuman berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya.
  2. Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya tidak boleh oleh peraturan perundangan namun tidak memperlihatkan efek yang tidak kuat secara eksklusif kepada orang lain, menyerupai tidak memakai helm, tidak memakai sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.
adalah aturan yang mengatur kekerabatan antar subjek aturan dalam hal perbuatan  Ilmu Pengetahuan Sistem Hukuman Hukum Pidana
Sistem Hukuman Hukum Pidana

A. Landasan Yuridis Hukuman

Mengenai landasan yuridis hukuman dan bentuk-bentuknya telah dijelaskan dalam buku I kitab undang-undang hukum pidana Bab ke-2 dari Pasal 10 hingga Pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan yaitu :
  1. Reglemen penjara (Stb 1917 No. 708) dan telah diubah dengan LN 1948 No. 77;
  2. Ordonasi pelepasan bersyarat (Stb 1917 No. 749);
  3. Reglemen pendidikan paksaan (Stb 1917 741);
  4. UU No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan.

B. Bentuk-bentuk Hukuman

Bentuk-bentuk hukuman intinya telah diatur dalam buku 1 kitab undang-undang hukum pidana Bab ke-2 dimulai dari Pasal 10 hingga dengan Pasal 43.

kitab undang-undang hukum pidana sebagai induk atau sumber utama aturan pidana telah merinci dan merumuskan perihal bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana disebutkan dalam Pasal 10 KUHP. Dalam kitab undang-undang hukum pidana pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari (Hoofd Straffen):
  1. Pidana mati
  2. Pidana penjara
  3. Pidanan kurungan
  4. Pidana denda
Adapun pidana pemanis terdiri dari (Bijkomende Straffen):
  1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
  2. Pidana perampasan barang-barang tertentu
  3. Pidana pengumuman keputusan hakim.
Di atas telah disebutkan bahwa dalam kitab undang-undang hukum pidana pidana dibedakan menjadi dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sedangkan perbedaan antara kedua yaitu :
  • Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana pemanis sifatnya fakultatif. Panjatuhan jenis pidana bersifat keharusan berarti apabila seseorang telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, maka seorang hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan penjatuhan tindak pidana pemanis bersifat fakultatif maksudnya yakni hukuman pemanis ini hanya sanggup dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok, dan penjatuhan hukuman pemanis bersifat fakultatif, artinya hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan hukuman pemanis (hakim boleh memilih).
  • Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana pemanis (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana pemanis tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Dalam hal ini telah terang bahwa pidana pemanis tidak sanggup dijatuhkan kecuali sehabis adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok sanggup bangkit sendiri sedangkan pidana pemanis tidak sanggup bangkit sendiri.

C. Karakter Hukuman dalam kitab undang-undang hukum pidana dan Hukum Pidana Indonesia serta Tata Cara Penjatuhan Hukuman

1. Pidana Mati

Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam kitab undang-undang hukum pidana Bab 2 Pasal 10 alasannya yakni pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan andal aturan ataupun masyarakat itu sendiri.

Sebagian orang beropini bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa beliau yakni orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh alasannya yakni itu untuk menghentikan kejahatannya diperlukan suatu aturan yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak terang bahwa secara tidak eksklusif tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammeladalah benar yaitu untuk membinasakan.

Pendapat yang yang lain menyampaikan bahwa hukuman mati bantu-membantu tidak perlu, alasannya yakni memiliki kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak sanggup memperlihatkan keinginan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana yakni untuk mendidik ataupun memperlihatkan rasa jera biar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.

Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai biar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melaksanakan perbuatan-perbuatan kejam.

Karena menyadari akan beratnya pidana mati di negeri Belanda sendiri pidana mati telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankannya dalam pidana militer. Walaupun di Indonesia masih diberlakukannya pidana mati akan tetapi dalam kitab undang-undang hukum pidana sendiri telah memperlihatkan kode bahwa pidana mati tidak gampang untuk dijatuhkan, menjatuhkan pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah.

Isyarat yang diberikan oleh kitab undang-undang hukum pidana biar pidana mati tidak terlalu gampang dan sering dijatuhkan yaitu dengan cara bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam degan pidana mati selalu diancamkan pula pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu sekurang-kurangnya 20 tahun penjara. Misalnya: dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 365 ayat (4), Pasal 340 dan lain-lain.

Penulis Jonkers mengatakan bahwa berdasarkan surat klarifikasi atas rancangan kitab undang-undang hukum pidana Indonesia, ada empat golongan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, yaitu:
  1. Kejahatan-kejahatan yang sanggup mengancam keamanan negara (104, 111 (2), 102 (3) jo 129);
  2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat (140 (3), 340);
  3. Kejahatan terhadap harta benda dan disertai unsur atau faktor yang sangat memberatkan (365 (4), 368 (2));
  4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (444)
Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.

Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku semenjak tanggal 25 agustus 1945. Pasal satu aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa perihal hal ini yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal dilakukan dengan cara menembak mati”. untuk ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas sanggup disimpulkan bahwa hukuman hukuman mati di Indonesia yang berlaku ketika ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.

Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati yakni sebagai berikut:
  • Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;
  • Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
  • Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di tempat aturan pengadilan aturan pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
  • Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya;
  • Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi;
  • Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
  • Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
  • Penguburan mayat diserahkan pada keluarga;
  • Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus menciptakan isu program pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.

2. Pidana Penjara

Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu dengan menempatkan terpidana dalam sutu tempat (lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak sanggup bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman penjara minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun (Pasal 12 ayat (2)), dan sanggup melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 12 (3).

Dalam hal menjalani pidana penjara dilembaga pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Pasal 29 KUHP.

Kewajiban bekerja bagi narapidana penjara sanggup juga dilakukan diluar forum pemasyarakatan, kecuali bagi narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam Pasal 25 KUHP.

Menurut Pasal 13 kitab undang-undang hukum pidana nara pidana penjara terbagi dalam beberapa kelas, pembagian tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 49 peraturan kepenjaraan, yaitu:
  • Kelas I yaitu : bagi narapidana yang dipenjara seumur hidup dan narapidana sementara yang membahayakan orang lain;
  • Kelas II yaitu :
  1. Bagi narapidana yang dipenjara dengan hukuman lebih dari tiga bulan yang tidak termasuk kelas 1 tesebut di atas;
  2. Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikkan dari kelas pertama, bagi narapidana kelas 1 kalau kemudian ternyata berkelakuan baik maka ia sanggup dinaikkan ke kelas 2;
  3. Bagi narapidana yang dipidana sementara yang alasannya yakni alasan-alasan pelanggaran tertentu, ia sanggup diturunkan menjadi kelas II dari kelas III;
  • Narapidana kelas III, yaitu: bagi narapidana yang dipidana sementara yang telah dinaikkan dari kelas I dikarenakan telah terbukti berkelakuan baik. Menurut pasal 55 peraturan penjara, bagi narapidana yang demikian sanggup diberikan pelepasan bersyarat (pasal 15), apabila ia telah menjalani 1/3 atau paling sedikit sembilan bulan dari pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
  • Kelas IV yaitu: bagi narapidana yang dipidana penjara sementara paling tingggi lima bulan.
Dalam aturan pidana dikenal 3 sistem aturan penjara, yaitu :
  • Sistem Pennsylvania (suatu negara kepingan dari Amerika Serikat) yaitu sistem yang menghendaki para hukuman terus-terusan ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar;
  • Sistem Auburne (suatu kota dalam negara kepingan New York di Amerika Serikat), yaitu yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari disuruh bersama-sama untuk bekerja, tetapi tidak boleh berbicara;
  • Sistem Irlandia, yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup secara terus menerus, kemudian dikerjakan bersama-sama dan tahap demi tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada jadinya sehabis tiga perempat dari lamanya hukuman sudah lampau dimerdekakan dengan syarat.
Sedangkan untuk sistem hukuman yang diterapkan di Indonesia yakni dengan cara menggabungkan ketiganya, yaitu biasanya beberapa orang hukuman dikumpulkan dalam satu ruangan, tetapi ada juga seorang tahanan yang badung dipisahkan sendiri dalam satu kamar.

3. Pidana Kurungan

Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih ringan antara lain dalam hal melaksanakan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman kurungan sanggup dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 hari dan paling usang 1 tahun.

Persamaan dan perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan, yaitu :

Persamaan:
  • Sama berupa pidana yaitu sama-sama menghilangkan kemerdekaan bergerak.
  • Mangenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum dan tidak mengenal minimum khusus.
  • Sama-sama diwajibkan untuk bekerja,
  • Sama-sama bertempat di penjara.
Perbedaan:
  • Lebih ringan pidana kurungan daripada pidana penjara (Pasal 69 KUHP)
  • Ancaman maksimum umum dari pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan hanya 1 tahun
  • Pelaksanaan pidana penjara sanggup dilakukan di forum permasyarakatan di seluruh Indonesia, sedangkan pidana kurungan hanya sanggup dilaksanakan di tempat dimana ia berdiam ketika diadakan keputusan hakim.

4. Pidana Denda

Hukuman utama ke empat yang disebutkan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 10 yakni pidana denda. Pidana denda di ancamkan pada banyak jenis pelanggaran (buku III) baik secara alternatif maupun bangkit sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering di ancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan.

Dalam prakteknya pidana denda jarang sekali dilaksanakan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara kalau pidana itu hanya dijadikan sebagai alternatif saja, kecuali apabila tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana kurungan.

Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang berdasarkan pasal 30 ayat (1) yakni tiga puluh juta rupiah tujuh puluh lima sen.

Apabila terpidana tidak membayarkan uang denda yang telah diputuskan maka konsekuensinya yakni harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat (2)) sebagai pengganti dari pidana denda.

Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu hingga habis waktu untuk membayar denda, akan tetapi bila kemudian ia membayar denda ketika itu demi aturan ia haru dilepaskan dari kurungan penggantinya.

Sedangkan untuk batas pembayaran denda telah ditetapkan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 27 ayat (1). Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal terdapat alasan kuat jangka waktu sebagai mana tersebut di atas sanggup diperpanjang paling usang 1 bulan. Dan perlu diketahui dalam hal uang denda yang dibayar oleh terpidana menjadi hak milik Negara (Pasal 24).

Sedangkan untuk pidana pemanis penjelasannya sebagai berikut :

1. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang sanggup menimbulkan kematian perdata tidak diperbolehkan (Pasal 3 BW). Dalam pidana pencabutan hak-hak terhadap terpidana berdasarkan Pasal 35 ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana hanya dierbolehkan pada hal-hal sebagai berikut:
  • Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
  • Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
  • Hak menentukan dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
  • Hak menjadi penasihat umum atau pengurus atau penetapan keadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
  • Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
  • Hak menjalankan mata pencaharian.
Pada perampasan hak memegang jabatan dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seseorang pejabat dari jabatannya, kalau dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk melaksanakan pemecatan tersebut.

Dan perlu diketahui bahwa sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup. Ketentuan mengenai batas waktu pencabutan hak-hak tertentu terpidana lebih lanjut dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 38.

Perlu diketahui juga bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh UU yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam Pasal: 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.

2. Pidana Perampasan Barang Tertentu

Hukuman pemanis kedua, berdasarkan Pasal 39 berupa perampasan barang-barang milik terhukum dan tidak diperkenankan untuk merampas semua barang milik terhukum.

Ada dua jenis barang yang sanggup dirampas melalui putusan hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, meliputi: a) barang yang diperoleh dengan kejahatan, b) yang dipergunakan untuk melaksanakan kejahatan, dan untuk lebih jelasnya hal tersebut telah dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 39.

Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), contohnya pada Pasal 250 bis, 362, 275.

Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara , dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada ketika putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.

Pada ketentuan pertama berarti hukuman terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum berdasarkan peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan kas negara (42).

Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada pasal 41 yaitu terpidana boleh menentukan apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu diantara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 30 ayat (2).

3. Pidana Pengumuman Putusan Hakim

Pidana putusan hakim hanya sanggup dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya: Pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.

Seperti yang kita ketahui bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.

Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seorang dari pengadilan pidana. Makara dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut.

Adapun maksud dari pengumuman putusan hakim tersebut yakni sebagai perjuangan preventif untuk memberitahukan kepada masyarakat umum biar berhati-hati dalam bergaul dan bekerjasama dengan orang-orang yang sanggup disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan tersebut.

Sumber Hukum :

  1. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (WETBOEK VAN STRAFRECHT)
  2. [UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969] Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer

Referensi :

  1. Drs. P.A.F. Lamintang, SH “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung
  2. Prof. Muljatno, SH “Asas-Asas Hukum Pidana”
  3. Dr. Andi Hamzah, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
  4. Drs. Adam Chazami SH, “Pelajaran Hukum Pidana 1”
  5. Drs. Adam Chazami, “Pelajaran Hukum Pidana 2”.
  6. Prof. Dr.Wirjono. P, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
  7. D. Scaffmester, dkk “ Hukum Pidana”
  8. Prof. Dr. Barda Nawawi, SH “Kapita Silekta Hukum Pidana”
  9. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana
  10. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana
  11. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana

Ilmu Pengetahuan Mengalihkan Tanah Yang Digelapkan Termasuk Bentuk Tindak Pidana Pembersihan Uang

Hukum Dan Undang Undang   Pencucian uang (Money Laundering) ialah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui aneka macam transaksi keuangan biar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seakan-akan berasal dari kegiatan yang sah/legal.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan aneka macam cara biar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh pegawanegeri penegak aturan sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh alasannya itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga sanggup membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 ialah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang Ilmu Pengetahuan Mengalihkan Tanah Yang Digelapkan Termasuk Bentuk Tindak Pidana Pencucian Uang
Ilustrasi
Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui tiga langkah tahapan: 
  1. langkah pertama yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan diubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak mengakibatkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan aneka macam cara (tahap penempatan/placement);
  2. langkah kedua ialah melaksanakan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke aneka macam rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap pelapisan/layering);
  3. langkah ketiga (final) merupakan tahapan di mana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam harta kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam aneka macam bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana (tahap integrasi).

Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pembersihan uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:

Pertama

Tindak pidana pembersihan uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Kedua

Tindak pidana pembersihan uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang mendapatkan atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melaksanakan pembersihan uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

Ketiga

Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pembersihan uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang bergotong-royong atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melaksanakan pembersihan uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pembersihan uang ialah cukup berat, yakni dimulai dari eksekusi penjara paling usang maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)

(1) Hasil tindak pidana ialah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana berdasarkan aturan Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan dipakai dan/atau dipakai secara eksklusif atau tidak eksklusif untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) abjad n.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK (Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 ialah forum independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang memiliki kiprah mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta memiliki fungsi sebagai berikut:
  1. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;
  2. pengelolaan data dan gosip yang diperoleh PPATK;
  3. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
  4. analisis atau investigasi laporan dan gosip Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Dalam pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme (AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari ''The Egmont Group'' yakni suatu asosiasi forum FIU di seluruh dunia dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang higienis dari tindak pidana pembersihan uang dan pendanaan terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional.

Jika seseorang menggelapkan tanah dengan mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi, tindakan pengalihan hak milik tanah menjadi milik pribadi tersebut gres dikatakan penggelapan saja.

Akan tetapi, bila tanah yang telah menjadi miliknya akhir tindak pidana penggelapan tersebut ia pindahtangankan, contohnya dengan dijual, maka tindak pidananya kemudian menjadi pembersihan uang (“TPPU”) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tindak Pidana Pencucian Uang itu merupakan merupakan salah satu bentuk financial crime, yang mana financial crime itu umumnya merupakan white collar crime.

Apa itu white collar crime? Penjelasan lebih lanjut sanggup Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan termuat dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan aturan sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan alasannya kejahatan, alasannya bersalah melaksanakan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah.

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan bahwa penggelapan ialah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian tetapi pada penggelapan pada waktu dimilikinya barang tersebut, sudah ada di tangannya tidak dengan jalan kejahatan/melawan aturan (hal. 258). Unsur-unsur penggelapan yang harus terpenuhi adalah:
  • Barang siapa (ada pelaku);
  • Dengan sengaja dan melawan hukum;
  • Memiliki barang sesuatu yang seluruh atau sebagian ialah kepunyaan orang lain;
  • Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan alasannya kejahatan.
Seseorang yang melaksanakan penggelapan terhadap tanah sebagaimana yang Anda sebukan sanggup dipidana pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah.

Ancaman pidana berupa denda sebesar Rp 900,- yang terdapat dalam Pasal 373 kitab undang-undang hukum pidana telah diadaptasi berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 perihal Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP:

Tiap jumlah maksimum eksekusi denda yang diancamkan dalam kitab undang-undang hukum pidana kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pidana denda yang diatur dalam Pasal 372 kitab undang-undang hukum pidana menjadi paling banyak Rp 900 ribu.

Makara perbuatan menggelapkan tanah sebagaimana yang Anda sebutkan sanggup dikatakan sebagai penggelapan tanah bila ia menguasai secara melawan aturan tanah tersebut yang seharusnya atau sebagiannya merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan alasannya kejahatan, dengan cara mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi.

Apakah Mengalihkan Tanah yang Digelapkan Termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang?

Lalu bila orang menggelapkan tanah dengan melaksanakan pengalihan kepemilikan tanah, bisakah dikatakan sebagai tindak pidana pembersihan uang (“TPPU”)?

Yang dimaksud TPPU sebagaimana yang Anda sebutkan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU 8/2010”). Pencucian Uang ialah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Berikut ialah beberapa bentuk TPPU sebagaimana diatur dalam UU 8/2010:

Pasal 3

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana alasannya tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling usang 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4

Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak hak, atau kepemilikan yang bergotong-royong atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana alasannya tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling usang 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 5
  1. Setiap Orang yang mendapatkan atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Penggelapan merupakan salah satu tindak pidana yang disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010. Jadi, bila ada tanah hasil tindak pidana penggelapan yang dialihkan kepemilikannya, maka pelakunya sanggup dikenakan Pasal 3 UU 8/2010.

Berdasarkan klarifikasi tersebut bila seseorang menggelapkan tanah dan mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi, tindakan pengalihan hak milik tanah menjadi milik pribadi tersebut gres dikatakan penggelapan saja. Akan tetapi, bila tanah yang telah menjadi miliknya akhir tindak pidana penggelapan tersebut ia pindahtangankan, contohnya dengan dijual, maka tindak pidananya kemudian menjadi pembersihan uang.

Contoh Kasus

Sebagai teladan sanggup kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1431/ Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel, dimana terdakwa telah terbukti secara sah melaksanakan tindak pidana penggelapan dengan pemberatan kemudian diteruskan dengan TPPU. Dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan cara menggelapkan uang perusahaan kawasan terdakwa bekerja. Kemudian uang hasil penggelapan tersebut dipakai untuk kepentingan pribadi terdakwa ibarat membeli rumah apartemen, kendaraan beroda empat dan membiayai teman bersahabat terdakwa. Atas perbuatan terdakwa tersebut majelis hakim mejatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka digantikan dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai White Collar Crime

Menurut Yunus Husein, Ketua Umum STHI Jentera dalam presentasinya mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana (Asset Recovery) dan Corporate Criminal Liability, di STHI Jentera Jakarta pada 22 Februari 2017, TPPU merupakan salah satu bentuk financial crime. Financial Crime itu umumnya merupakan white collar crime.


Black’s Law Dictionary 9th Edition mendefinisikan white collar crime sebagai berikut:

A nonviolent crime, usually involving cheating or dishonesty in commercial matters. Examples include fraud, embezzlement,bribery, and insider trading.

Jay S. Albanese dalam bukunya Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime): Akar dan Perkembangannya, (hal.6) mendefinisikan white collar crime sebagai kejahatan kerah putih atau kejahatan organisasi.

Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan terorganisasi ialah sebuah upaya yang terus ada dan beroperasi secara rasional untuk mengeruk laba dari kegiatan illegal yang sering kali sangat diperlukan masyarakat. Eksistensinya terus dijaga dengan memakai kekerasan, ancaman, kontrol monopoli, dan/atau menyuap para pejabat pemerintah.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Jay S. Albanese bahwa banyak persamaan antara kejahatan terorganisasi dengan kejahatan kerah putih atau kejahatan organisasi. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan penting antara kejahatan terorganisasi dan kejahatan organisasi (kerah putih).

Perbedaan paling mencolok mungkin ialah kenyataan bahwa kejahatan organisasi (kerah putih) umumnya terjadi dalam proses yang seharusnya merupakan bisnis yang sah atau urusan pemerintah. Kejahatan kerah putih atau organisasi, dengan demikian paling sering terjadi sebagai tindak kriminal dalam bentuk penyimpangan dari kegiatan bisnis yang sah. Sementara kejahatan terorganisasi merupakan suatu kegiatan yang merupakan perjuangan kejahatan yang terus-menerus yang beroperasi untuk mencari laba terutama dari kegiatan tersebut.(Sumber: Hukumonline)

Dasar hukum:
  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
  • Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 perihal Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.

Putusan:


Referensi:
  • Black’s Law Dictionary 9th Edition;
  • Jay S. Albanese. 2016. Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime). Jakarta: Prenadamedia Group;
  • Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana (Asset Recovery) dan Corporate Criminal Liability, diakses pada Selasa, 13 Maret 2018, pukul 17.35 WIB;
  • R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
  1. Pasal 1 angka 1 UU 8/2010
  2. Pasal 2 ayat (1) abjad q UU 8/2010
  3. Jay S. Albanese, hal. 5
  4. Jay S. Albanese, hal. 6

Ilmu Pengetahuan Pembaharuan Aturan Pidana Di Indonesia

Pembaharuan Hukum Pidana Di IndonesiaPembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melaksanakan peninjauan dan pembentukan kembali ( reorientasi dan reformasi) aturan pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh lantaran itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam perjuangan pembaharuan aturan pidana Indonesia harus dilakukan biar aturan pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada aturan adat, aturan pidana positif ( kitab undang-undang hukum pidana ), aturan agama, aturan pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.

pada hakekatnya merupakan suatu upaya melaksanakan peninjauan dan pembentukan kembali  Ilmu Pengetahuan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia
Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia

Pembaharuan aturan khususnya aturan pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu:
  1. Pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi kitab undang-undang hukum pidana yang kini berlaku.
  2. Menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk menggantikan kitab undang-undang hukum pidana yang kini berlaku yang merupakan warisan kolonial.
Adapun alasan-alasan yang mendasari pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu :

1. Alasan yang bersifat politik

Adalah masuk akal bahwa negara Republik Indonesia mempunyai kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan pujian nasional yang Inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh lantaran itu kiprah dari pembentukan Undang-Undang ialah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

2. Alasan yang bersifat sosiologis

Suatu kitab undang-undang hukum pidana ialah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa, lantaran ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan perbuatan-perbuatan itu suatu hukuman yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk memilih perbuatan mana yang tidak boleh itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat wacana apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.

3. Alasan yang bersifat praktis

Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana sanggup disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak aturan yang memahami bahasa gila semakin sedikit.dilain pihak, terdapat aneka macam ragam terjemahan kitab undang-undang hukum pidana yang beredar. Sehingga sanggup dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan lantaran terjemahan yang kurang tepat.

kitab undang-undang hukum pidana nasional dimasa mendatang harus sanggup beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Jika ditinjau dari segi ilmu aturan pidana, pembaharuan kitab undang-undang hukum pidana (materi aturan pidana) sanggup dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti kepingan demi kepingan dari kodifikasi aturan pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.

Pembaharuan aturan pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat Undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar wangsit pembaharuan KUHP. kitab undang-undang hukum pidana yang masih berlaku ketika ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptkan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana gres yang sesuai dengan jiwa bangsa.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana antara lain sebagai berikut:
a. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 wacana Peraturan Hukum Pidana. Dalam undang-undang ini diatur beberapa hal terkait dengan perjuangan pembaharuan aturan pidana, antara lain :
  • Mengubah kata-kata “Nederlandsch-Indie” dalam peraturan aturan pidana menjadi“Indonesia”.
  • Mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Strafrecht sebagai aturan pidana Indonesia dan sanggup disebut KUHP.
  • Perubahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana biar sesuai dengan kondisi bangsa yang merdeka dan tata pemerintahan yang berdaulat.
  • Kriminalisasi tindak pidana pemalisuan uang dan kabar bohong.
b. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1946 wacana Hukuman Tutupan. Dalam undang-undang ini ditambahkan jenis pidana pokok gres berupa pidana tutupan ke dalam Pasal 10 abjad a kitab undang-undang hukum pidana dan Pasal 6 abjad a kitab undang-undang hukum pidana Tentara.

c. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951 wacana Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi. Dengan undang-undang ini kitab undang-undang hukum pidana ditambahkan satu pasal, yaitu Pasal 512a wacana kejahatan praktek dokter tanpa izin.

d. Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958 wacana Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 wacana Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana. Dalam undang-undang ini diatur antara lain sebagai berikut :
  • Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
  • Penambahan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu ;
  1. Pasal 52 a wacana pemberatan pidana (ditambah 1/3) kalau pada ketika melaksanakan kejahatan memakai bendera kebangsaan Republik Indonesia;
  2. Pasal 142 a wacana kejahatan menodai bendera kebangsaan negara sahabat; dan
  3. Pasal 154 a wacana kejahatan menodai bendera kebangsaan dan lambang negara Republik Indonesia.
e. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960 wacana Perubahan KUHP. Dengan undang-undang ini ancaman pidana pada Pasal 359, 360, dan 188 diubah, yaitu :
  • Pasal 359 wacana tindak pidana penghilangan nyawa lantaran kealpaan dipidana lebih berat dari pidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana kurungan maksimal 9 bulan menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
  • Pasal 360 wacana tindak pidana lantaran kesalahan mengakibatkan luka berat, sehingga mengakibatkan orang sakit sementara atau tidak sanggup menjalankan profesinya semula dipidana maksimal 9 bulan penjara atau kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp 300,-, dipisah menjadi dua ayat yaitu :
  1. Pasal 360 ayat (1) wacana tindak pidana perlukaan berat lantaran kealpaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun;
  2. Pasal 360 ayat (2) wacana tindak pidana perlukaan lantaran kealpaan sehingga mengakibatkan seseorang menjadi sakit sementara atau tidak sanggup menjalankan pekerjaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal 9 bulan atau pidana kurungan maksimal 6 bulan atau pidana denda maksimal Rp. 300,-.;
  3. Pasal 188 wacana tindak pidana kebakaran, peletusan, atau banjir yang membahayakan umum atau mengakibatkan matinya orang lain lantaran kealpaan dipidana lebih ringan yaitu pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1tahun atau pidana denda maksimal Rp. 300,-.
f. Undang Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 wacana Beberapa Perubahan dalam KUHP. Dengan undang-undang ini, kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat (1) diubah menjadi Rp. 250,- (1).

g. Undang Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 wacana Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam kitab undang-undang hukum pidana dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945. Dengan undang-undang ini maka eksekusi denda yang ada dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun dalam ketentuan pidana yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945 harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali.

h. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1965 wacana Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dengan undang-undang ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditambahkan pasal baru, yaitu Pasal 156a yang berbunyi :
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melaksanakan perbuatan" :
  • Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
  • Dengan maksud biar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
i. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974 wacana Penerbitan Perjudian. Dengan undang-undang ini diatur beberapa perubahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana perjudian, yaitu :
  • Semua tindak pidana perjudian dianggap sebagai kejahatan. Dengan ketentuan ini, maka Pasal 542 wacana tindak pidana pelanggaran perjudian yang diatur dalam Buku III wacana Pelanggaran dimasukkan dalam Buku II wacana Kejahatan dan ditempatkan dalam Buku II sesudah Pasal 303 dengan sebutan Pasal 303 bis;
  • Memperberat ancaman pidana bagi pelaku bandar perjudian dalam Pasal 303 ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana dari pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda maksimal Rp. 90.000,- menjadi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 25.000.000,-. Di samping pidana dipertinggi jumlahnya (2 tahun 8 bulan menjadi 10 tahun dan Rp. 90.000,- menjadi Rp. 25.000.000,-) hukuman pidana juga diubah dari bersifat alternatif penjara atau denda) menjadi bersifat kumulatif (penjara dan denda);
  • Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (1) wacana perjudian dalam kitab undang-undang hukum pidana dari pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp. 4.500,- penjara maksimal 4 tahun atau denda maksimal Rp. 10.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (1);
  • Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (2) wacana residive perjudian dalam kitab undang-undang hukum pidana dari pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,- menjadi pidana penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp. 15.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (2).
j. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976 wacana Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan :
  •  Memperluas ketentuan berlakunya aturan pidana berdasarkan daerah yang diatur dalam Pasal 3 
          dan 4 kitab undang-undang hukum pidana menjadi berbunyi :
  1. Pasal 3, Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melaksanakan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
  2. Pasal 4, Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal 438, 444 hingga dengan Pasal 446 wacana pembajakan bahari dan Pasal 447 wacana penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak bahari dan Pasal 479 hutrf j wacana penguasaan pesawat
  3. udara secara melawan hukum, Pasal 479 abjad l, m, n, o wacana kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
  • Menambah Pasal 95a wacana arti pesawat udara Indonesia, 95b wacana arti penerbangan, dan 95c wacana arti dalam dinas.
  • Setelah Bab XXIX kitab undang-undang hukum pidana wacana Kejahatan Pelayaran ditambahkan kepingan gres yaitu Bab XXIX A wacana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Dalam  bab gres ini terdapat 28 pasal gres yaitu Pasal 479a-479r.
k. Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 wacana Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal gres wacana kejahatan terhadap keamanan negara yaitu Pasal 107 a-f. Pelaksanaan pidana mati yang berdasarkan Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 wacana Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964 dilaksanakan dengan cara ditembak.
Di samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah kitab undang-undang hukum pidana di atas, terdapat juga beberapa perundang-undangan di luar kitab undang-undang hukum pidana yang mengatur wacana pidana. Di antaranya ialah tindak pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951 wacana Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), tindak pidana korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997), tindak pidana psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pembersihan uang (diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana terorisme (diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain sebagainya.

Sumber Hukum :

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana,
  3. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1946 Tentang Hukuman Tutupan,
  4. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951 Tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin Kepada Dokter dan Dokter Gigi,
  5. Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958 wacana Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana,
  6. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960 Tentang Perubahan KUHP,
  7. Undang Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 Tentang Beberapa Perubahan Dalam KUHP,
  8. Undang Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 Tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam kitab undang-undang hukum pidana dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945,
  9. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama,
  10. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penerbitan Perjudian,
  11. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan,
  12. Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara,
  13. Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum,
  14. UU Nomor 2/PnPs/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer [UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969].

Referensi :

  1. Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.
  2. Aruan Sakijo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
  3. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1992. Hlm 114.
  4. Prof. Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana. Hal. 1
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana

Ilmu Pengetahuan Agresi Persekusi Pasangan Di Tangerang Dapat Kena Pidana Berlapis

Hukum Dan Undang Undang, (Tangerang) Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam keras tindakan main hakim sendiri dari beberapa warga Cikupa, Tangerang terhadap pasangan yang dituduh oleh warga berbuat mesum.

“Tindakan warga yang main hakim sendiri atau persekusi tersebut sanggup diganjar dengan pidana berlapis, salah satunya Tindak Pidana Kesusilaan di depan umum Pasal 282 ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana dan Pasal 35 UU Pornografi perihal menjadikan orang lain objek atau model yang bermuatan pornografi,” kata Maidina.

 mengecam keras tindakan main hakim sendiri dari beberapa warga Cikupa Ilmu Pengetahuan Aksi Persekusi Pasangan di Tangerang Bisa Kena Pidana Berlapis
Ilustrasi pasangan ditangkap. Getty Images/iStockphoto.
Pasangan R (28) dan M (20) ini digerebek di kontrakan oleh warga di Cikupa, Kabupaten Tangerang, pada Sabtu (11/11/2017) malam. Warga secara brutal menelanjangi dan mengarak kedua korban di depan umum. Apalagi kejadian penggerebekan hingga penganiayaan itu sudah termasuk persekusi.

Maidina Rahmawati, peneliti ICJR dalam pers rilisnya, Selasa (14/11/2017), menegaskan bahwa hingga ketika ini, peraturan perundang-undangan Indonesia sama sekali tidak mengatur adanya tindak pidana kesusilaan pada ranah privat dalam ruang tertutup, dan dilakukan dengan persetujuan antar para pihak yang terlibat.

Aksi persekusi beberapa warga Cikupa tersebut telah dinilai Maidina melanggar hak atas privasi pasangan yang bersangkutan, dan dilakukan tanpa hak dan wewenang apapun.

Menurut Maidina, sementara ini belum ada pembuktian bahwa pasangan tersebut melaksanakan perbuatan yang melanggar tindakan kesusilaan.

Peneliti ICJR tersebut juga menyebutkan pentingnya mengatur norma kesusilaan secara hati-hati. Hal ini ditujukan supaya jangan hingga pengaturan tindak pidana menjadi eksesif yang tidak hanya untuk mengatasi permasalahan kejahatan, namun dipakai sebagai pengontrol duduk masalah moral masyarakat yang tidak relevan untuk dilindungi.

“Hukum pidana seharusnya bersifat ultimum remedium,” lanjut Maidina.

Maidina juga menyatakan, permasalahan kesusilaan sangat dekat kaitannya dengan moral di masyarakat, namun sayangnya disertai tendensi dan subjektivitas masyarakat lebih banyak didominasi sekitarnya.

Baca :
“Bagaimana pun juga aturan pidana harus dibentuk berdasarkan asas legalitas yang dihentikan dilanggar. Hukum pidana dihentikan berlaku surut, harus tertulis dan dihentikan dipidana berdasarkan aturan kebiasaan, rumusan ketentuan pidana harus jelas, dan harus ditafsirkan secara ketat,” lanjut Maidina ketika dikutip dari Tirto.id.

Segala jenis aturan terlebih yang menyertakan aturan pidana dengan konsekuensi terlanggarnya hak atas kemerdekaan seseorang, berdasarkan Maidina, harus dirumuskan secara hati-hati dan dihentikan menjadikan potensi terjadinya kesewenang-wenangan.(***)

Ilmu Pengetahuan Pencabutan Bap Miryam Tak Pengaruhi Posisi Setnov Di Kasus E-Ktp

Hukum Dan Undang Undang, (Jakarta) Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Zulhendri Hasan menyatakan pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mantan anggota Komisi II dewan perwakilan rakyat RI dari Fraksi Partai Gerindra, Miryam S Haryani belum tentu menciptakan posisi Ketua dewan perwakilan rakyat RI Setya Novanto kondusif dalam masalah korupsi e-KTP.

"Saya berpandangan jikalau dicabut itu BAP (Miryam), itu tidak akan mensugesti posisi Pak Novanto. Karena apa? Penyidik itu enggak kurang pintar saya bilang," kata Zulhendri usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (14/11/2017).

 Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Zulhendri Hasan menyatakan pencabutan Berita Acara Pem Ilmu Pengetahuan Pencabutan BAP Miryam Tak Pengaruhi Posisi Setnov di Kasus e-KTP
Miryam S Haryani meninggalkan Gedung KPK usai menjalani investigasi di Jakarta, Selasa (7/11/2017). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Hal itu disampaikannya kepada pengacara Farhat Abbas ketika membicarakan pencabutan BAP Miryam di persidangan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.

Ia juga mengaku tidak pernah terlibat dalam pencabutan BAP Miryam sebagaimana yang disampaikan Farhat dan Elza Syarief ketika bersaksi di persidangan Miryam.

"Adanya konstruksi pencabutan BAP itu saya justru tahu dari saudara Farhat," tuturnya ketika dikutip dari Tirto.id.

Menurut Zulhendri, sekalipun Miryam mencabut seluruh keterangan yang tertuang dalam BAP, penyidik KPK tetap mengantongi sejumlah bukti petunjuk lainnya terkait keterlibatan sejumlah pihak dalam korupsi e-KTP, termasuk Setnov. "Sekalipun itu dicabut tidak akan mempengaruhi," kata dia.

Baca :
Untuk diketahui, Zulhendri diperiksa sebagai saksi masalah dugaan merintangi proses penyidikan masalah e-KTP dengan tersangka anggota dewan perwakilan rakyat dari Fraksi Golkar Markus Nari. Pria yang mempunyai kantor aturan Zulhendri Hasan & Partners Law Firm, diperiksa sekitar lima jam.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah memvonis Miryam S Haryani lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan alasannya ialah terbukti melaksanakan tindak pidana korupsi berupa memperlihatkan keterangan tidak benar dalam persidangan masalah korupsi e-KTP.(***)