Showing posts with label Hukum Pidana. Show all posts
Showing posts with label Hukum Pidana. Show all posts

Ilmu Pengetahuan Polri Diminta Transparan Usut Brimob Penembak Kader Gerindra

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Kepolisian Repubik Indonesia (Polri) diminta untuk mengungkap kasus penembakan yang menewaskan kader Partai Gerindra, Fernando Wowor di Jalan Sukasari 3, Bogor.

Meski ada dugaan bahwa anggota Brimob Polisi Republik Indonesia Briptu AR yang menjadi pelaku penembakan tersebut, bab Profesi dan Pengamanan Polisi Republik Indonesia diharap dapat mengungkap kasus tersebut, bahkan dapat dipercaya anggota Brimob itu.

 diminta untuk mengungkap kasus penembakan yang menewaskan kader Partai Gerindra Ilmu Pengetahuan Polisi Republik Indonesia Diminta Transparan Usut Brimob Penembak Kader Gerindra
Ilustrasi. Kepemilikan senjata api. Foto/iStock

Hal ini ditegaskan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane dalam keterangan tertulisnya. Propam perlu menilik standar operasional mekanisme di Polisi Republik Indonesia dikala anggota membawa senjata secara bebas.

Kasus ini patut ditelisik alasannya insiden tersebut terjadi di parkiran daerah hiburan malam Lipss Club Bogor pada dini hari, sekitar pukul 02.00 WIB.

“Kenapa membiarkan yang bersangkutan bebas membawa-bawa senjata api di tengah malam, meski tidak sedang bertugas?” sangsinya.

Penilaian ini didasarkan Neta pada keterangan yang selama ini beredar dari pihak media dan kepolisian bahwa Briptu AR sedang mengendarai motor BMW dan bersama seorang perempuan malam itu.

Wanita yang belum diketahui dengan niscaya identitasnya ini juga yang mengadukan tindak penganiayaan terhadap Briptu AR dan dirinya oleh rekan-rekan Fernando ke abdnegara setempat.

“Apa ada Brimob sedang bertugas mengendarai moge [motor gede] glamor BMW dan jalan dengan seorang wanita?” katanya pada Tirto, Selasa (23/1/2018).

Ia melanjutkan bahwa pengawasan terhadap sikap dan sikap Polisi Republik Indonesia ini harus dilakukan lebih tegas. Pengawasan ini dapat bermanfaat semoga jajaran kepolisian tidak angkuh dan semena-mena, serta tidak bergaya menyerupai koboi dengan senjata apinya.

Neta menegaskan bahwa tidak sepatutnya polisi menembakkan senjata sembarangan alasannya “sesungguhnya senjata api itu dibeli dengan uang rakyat,” tegasnya.

“Jika jajaran kepolisian tidak serius menangani kasus ini, dikhawatirkan agresi koboi-koboian jajaran bawah Polisi Republik Indonesia akan terus berulang,” tegasnya lagi.

Selanjutnya, Neta juga menuntut Polisi Republik Indonesia untuk mengungkap identitas Briptu AR secara utuh. Hingga dikala ini, informasi yang beredar hanya menyampaikan Briptu AR pernah menjadi asisten dari mantan Kepala Korps Brimob yang kini berniat menjadi calon gubernur Maluku ialah Irjen Pol Murad Ismail. Identitas lebih lanjut belum diketahui.

“Siapa pemilik moge B 4559 BKD yang dikendarai pelaku? Apakah seorang anggota Brimob berpangkat Briptu memang masuk akal mempunyai motor glamor tersebut? Apakah gajinya dari Brimob memang cukup untuk membeli motor glamor tersebut?” jelasnya.

Sementara itu, Kadiv Humas Mabes Polisi Republik Indonesia Irjen Pol Setyo Wasisto tidak mau menunjukkan evaluasi awal terkait siapa yang salah dalam penembakan tersebut. Menurutnya, kronologis kasus yang bahwasanya terjadi masih belum diketahui. Tentang kepergiannya bersama seorang perempuan yang diduga merupakan calon istrinya pun masih belum jelas.

“Ini masih simpang siru. Ada yang bilang begitu [naik motor dengan calon istri]. Ada yang menyampaikan calon istrinya naik kendaraan beroda empat sendiri. Dia bonceng sama adiknya,” kata Setyo, Senin (21/1/2018).

Baca :

Neta juga tidak mau mengambarkan hal substansial yang masuk dalam ranah penyidikan, ialah soal keberadaan Briptu AR yang dikabarkan sedang keluar dari parkiran Lipss Club Bogor. Ia hanya memberitahu bahwa ada SOP yang mengatur pembawaan dan penggunaan senjata, dapat saja memang senjata itu dilekatkan untuk tugas.

“Kita lihat konteksnya dulu, jikalau beliau bawa senjata dalam rangka apa? Kalau senjata dilekatkan kepada yang bersangkutan, dapat saja,” kata beliau dikala dikutip dari Tirto.

Ketika ditanya bahwa Briptu AR sedang tidak mengenakan seragam dan menggunakan motor glamor dalam bertugas, Setyo menandaskan bahwa hal itu dapat dilakukan.

“Tergantung penugasan [pokoknya]. Kalau saya pakaian preman, kiprah bukan,” jelasnya. (***)

Ilmu Pengetahuan Tantangan Menghadirkan Barang Bukti Digital Di Pengadilan Pada Kurun Ekonomi Digital

Hukum Dan Undang Undang Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian aturan program pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang yang sanggup dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak sanggup dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara terang wacana apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang sanggup disita, yaitu:
  • benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  • benda yang telah dipergunakan secara eksklusif untuk melaksanakan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  • benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
  • benda yang khusus dibentuk atau diperuntukkan melaksanakan tindak pidana;
  • benda lain yang mempunyai korelasi eksklusif dengan tindak pidana yang dilakukan,

 disebutkan bahwa alat bukti yang sah ialah Ilmu Pengetahuan Tantangan Menghadirkan Barang Bukti Digital di Pengadilan Pada Era Ekonomi Digital
Ilustrasi Barang Bukti Digital Era Ekonomi Digital/ilmuforensikadigital.blogspot.co.id

Atau dengan kata lain benda-benda yang sanggup disita menyerupai yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP sanggup disebut sebagai barang bukti (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14).

Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang digunakan untuk melaksanakan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:
  • Barang-barang yang menjadi target tindak pidana (corpora delicti)
  • Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
  • Barang-barang yang dipergunakan untuk melaksanakan tindak pidana (instrumenta delicti)
  • Barang-barang yang pada umumnya sanggup dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan iktikad oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam kasus pidana ialah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang digunakan untuk melaksanakan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang sanggup menjadi barang bukti :
  • Merupakan objek materiil
  • Berbicara untuk diri sendiri
  • Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
  • Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti ialah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuanberpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melaksanakan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Jadi, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas sanggup disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti ialah :
  • Barang yang dipergunakan untuk melaksanakan tindak pidana.
  • Barang yang dipergunakan untuk membantu melaksanakan suatu tindak pidana.
  • Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana.
  • Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana.
  • Benda tersebut sanggup memperlihatkan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara.
  • Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu kasus pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu kasus pidana, sebab ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, menyerupai tindak pidana penghinaan secara verbal (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19).
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law menyerupai di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti berdasarkan aturan program pidana kita.

Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya korelasi antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jadi, sanggup kita simpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan ialah sebagai berikut:
  1. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);
  2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas kasus sidang yang ditangani;
  3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut sanggup menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.
Barang bukti digital sangat ‘ringkih’ dibandingkan bukti fisik. Perlu standar penanganan bukti digital semoga nilai pembuktiannya sempurna.

Defenisi Bukti Digital Dari Berbagai Sumber :

1) Bukti Digital ialah data yang disimpan atau dikirimkan memakai komputer yang sanggup mendukung atau menyangkal sebuah pelanggaran tertentu, atau bisa juga juga disebut sebagai petunjuk yang mengarahkan kepada elemen-elemen penting yang berkaitan dengan sebuah pelanggaran (Chisum, 1999). Sumber : “Digital Evidence and Computer Crime Forensic Science, Computers and the Internet 3rd Edition”.

Analisa: Bukti digital yang di dalamnya terdapat elemen – elemen penting (temuan bukti digital) sanggup dijadikan sebagai bukti yang sanggup mendukung atau menjerumuskan terdakwa di dalam persidangan. Maksudnya bila bukti digital mendukung berarti bukti digital tersebut sanggup menolong terdakwa dari hukuman, namun bila bukti digital tersebut menjerumuskan berarti bukti digital tersebut sanggup menciptakan terdakwa dijatuhi eksekusi sesuai pelanggaran yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Dasar KUHP.

2) Bukti Digital merupakan abstraksi dari beberapa objek digital atau kejadian. Ketika seseorang mengoperasikan komputer untuk melaksanakan banyak sekali hal menyerupai mengirim e-mail, atau kegiatan lainnya maka kegiatan itu akan menghasilkan jejak-jejak data yang sanggup memperlihatkan sebagian citra dari kejadian yang sudah terjadi sebelumnya. (Venema & Farmer, 2000). Sumber : “Digital Evidence and Computer Crime Forensic Science, Computers and the Internet 3rd Edition”.

Analisa: Dalam setiap masalah kejahatan teknologi informasi (cyber crime), maka akan ditemukan banyak sekali barang bukti yang terdapat dilokasi kejadian kasus (TKP). Barang bukti tersebut kemudian akan dijadikan bukti digital yang di dalamnya terdapat rekam (jejak) pelaku selama cyber crime yang dilakukan. Rekam jejak tersebut menyerupai e-mail, browser, direcroty file, internet actifity, dan lain sebagainya

3) Muhammad Nuh Al-Azhar dalam buku “Digital Forensic Panduan Mudah Investigasi Komputer” menjelaskan bahwa bukti digital ialah barang bukti yang bersifat digital yang diekstrak atau di recover dari barang bukti elektronik. Sumber: Al-Azhar,M.N. “Digital Forensic Panduan Mudah Investigasi Komputer”. Jakarta: Salemba Infotek. 2012

Analisa: Dalam setiap masalah cyber crime, maka akan ditemukan bukti elektronik menyerupai komputer / laptop, kemudian bukti elektronik tersebut akan di ekstrak (didetail / diperinci) yang menghasilkan bukti digital. Bukti digital tersebut menyerupai Live data, Deleted data, SWAP (data yang terekam di RAM), dan Sleek space (data yang tertimpa di hardisk)

4) Dalam pasal 1 butir 1 UU ITE disebutkan bahwa “informasi elektronik ialah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang mempunyai arti atau sanggup dipahami oleh orang yang bisa memahaminya.”

Analisa: Informasi Elektronik merupakan serpihan dari bukti elektronik yang di dalamnya terdapat sekumpulan data (EDI), elektronik mail, aba-aba akses, dan lain sebagainya, yang hanya sanggup dipahami oleh beberapa orang saja. Orang tersebut biasa disebut dengan saksi ahli. Saksi hebat merupakan orang yang paham akan secara detail ilmu dibidang teknologi informasi yang ke-ilmuannya harus selalu dikembangkan, semoga menjadi saksi hebat yang mempunyai tabiat dan professionaisme yang memadai sebagai saksi ahli

5) Dalam pasal 1 butir 4 UU ITE menjelaskan bahwa “dokumen elektronik ialah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang sanggup dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang mempunyai makna atau arti atau sanggup dipahami oleh orang yang bisa memahaminya.”

Analisa: Di dalam dokumen elekronik terdapat informasi elektronik, di dalam informasi elektronik terdapat bentuk digital yang sanggup di dengar melalui komputer/sistem elektronik. Bentuk digital tersebut menyerupai tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang orang tertentu saja yang sanggup mengartikannya. Orang tersebut biasa dikenal dengan saksi ahli. Saksi hebat merupakan orang yang paham akan secara detail ilmu dibidang teknologi informasi yang ke-ilmuannya harus selalu dikembangkan, semoga menjadi saksi hebat yang mempunyai tabiat dan professionaisme yang memadai sebagai saksi ahli.

Jadi, bukti digital ialah bukti yang sah dan sanggup dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Sehingga bukti digital mempunyai sifat mendukung maupun menjerumuskan terdakwa di dalam persidangan. Di dalam persidangan (kasus cyber crime) memerlukan bukti elektronik yang diperoleh dari kawasan kejadian kasus (TKP), bukti elektronik tersebut kemudian akan di ekstrak menjadi bukti digital. Bukti digital tersebut mencakup tulisan, suara, foto, gambar, aba-aba akses, simbol, dan sebagainya. Ekstrakan tersebut hanya sanggup dimengerti oleh saksi hebat yang mempunyai tabiat dan profesionalisme kerja yang tersertifikasi.
Penanganan bukti digital menjadi gosip penting dalam kala ekonomi digital. Selain menjadi tantangan bagi penegakan hukum, upaya merekam bukti digital oleh setiap penyelenggara sistem elektronik menjadi tantangan di depan mata yang harus dihadapi, terlebih di sektor jasa keuangan.

Pakar IT Universitas Gunadarma, I Made Wiryana, menyampaikan bahwa bukti digital jauh lebih ringkihketimbang bukti fisik atau otentik lainnya sebab memerlukan standar khusus dikala menanganinya. Selama ini, penanganan bukti digital oleh penegak aturan atau perusahaan penyedia jasa masih belum seragam sehingga dikhawatirkan mengurangi nilai pembuktian itu sendiri. Padahal, pemerintah telah menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk penanganan bukti digital (ISO 27037) yang semestinya dijadikan petunjuk teknis bagi pihak terkait.

“Pemerintah sudah mulai maju menangani digital forensik. Di Indonesia sudah ada standar nasional Indonesia (SNI) untuk penangangan bukti digital. [Nanti] akan ada lagi standar penyidikan digital yang sedang diolah dan sedang disepakati para Penegak Hukum untuk menjadi juknis,” kata Made kepada Hukumonline di Jakarta, Selasa (19/12).

Hanya saja, tidak semua penyelenggara sistem khususnya di sektor jasa keuangan punya sistem yang ‘ramah’ ketka dilakukan forensik digital atau tidak siap diaudit sehingga sistem tersebut tidak bisa memperlihatkan rekam (logs) yang sanggup digunakan penegak aturan sebagai salah satu alat bukti ke persidangan. Sistem yang tidak ‘forensic sound’, istilah bagi sistem yang tidak dibangun untuk forensik, kata Made, akan sangat sulit untuk mengambil bukti-bukti untuk kemudian disimpan selama proses berjalan.

Kelemahan lain dari sistem yang ‘tidak ramah forensik’, lanjut Made, sistem tersebut harus terlebih dulu dimatikan sebelum dilakukan audit sehingga bagi industri jasa keuangan hal tersebut sangat merugikan penyelenggara dan nasabah. Seharusnya, sistem yang wajib dimiliki bagi penyelenggara jasa keuangan termasuk penyelenggara financial technology atau fintech ialah sistem yang tergolong dependability.

“Menurut saya, kalau beliau berikan layanan ke publik, ada yang namanya fungtionality, itu hanya berfungsi. Kedua, secure terdiri dari tiga, confidence, integrity, dan avaibility. Dan keempat sovereignity(kedaulatan) atau beberapa bergantung pada pihak lain. Dan yang terpenting dependability, yakni seberapa cepat untuk maintain, safety yang baik. Perbankan [atau jasa keuangan lain] harusnya di level dependability,” kata Made.

Selain itu, Made juga menyoroti penggunaan teknologi cloud oleh penyelenggara fintech dikhawatirkan akan berdampak terhadap aspek keamanan data. Meskipun penyedia cloud telah bersertifikat, namun Made menilai akta ISO yang dikantongi terbatas semisal ISO 27000 series. Menurut Made, penyelenggara fintech semestinya membangun sistem dan database sendiri sebab susukan terhadap rekaman atau log sanggup lebih gampang dibanding dikala memakai cloud.

“Apakah sistem yang dibangun teman-teman fintech sudah forensic sound? Kalau ada apa-apa bagaimana menelusurinya. Kalau tidak forensic sound, log tidak ada, tidak disimpan di dua tempat, log tidak di digital signature, gres timbul masalah. Tapi kalau dari awal sistem sudah forensic aware, log tidak pernah bisa diubah, log yang berubah bisa terjejaki, itu dalam sistemnya,” kata Made.

Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, M Ajisatria Suleiman, menyampaikan soal standarisasi menjadi gosip terkini di kalangan penyelenggara fintech terutama pasca OJK menerbitkan POJK No.77/POJK.01/2016 wacana Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Asosasi Fintech Indonesia sendiri berada di posisi mendukung penuh kebijakan pemerintah karena anggota asosiasi secara umum sadar pentingnya keamanan data bagi perusahaan digital.

“Posisi kita bukan untuk menurunkan standarisasi,” kata Aji kepada Hukumonline.

Hanya saja, kata Aji, Asosiasi Fintech Indonesia dalam beberapa diskusi punya pandangan kenapa standarisasi keamanan data oleh penyelenggara fintech diperbolehkan menerapkan sharinginfrastructure, salah satunya dengan cloud. Penggunaan cloud sama sekali tidak akan mengurangi aspek keamanan data karena fintech sanggup menentukan penyedia cloud yang sudah bersertifikat. Sehingga, penyelenggara fintech cukup melampirkan bukti akta tersebut kepada regulator sebagai bentuk kepatuhan pada regulasi.

“Cara yang paling baik untuk bisa jaga keamanan data tanpa menambah beban ialah memperbolehkan infrastruktur cloud. Kominfo minta ISO 27001 diterapkan di fintech, itu sama saja minta perusahaan fintech beli ‘Mercy’, ini kan boros. Daripada itu, lebih baik perbolehkan mereka (fintech) menyewa. Itukan konsep cloud, kita tidak buat infrastruktur tapi sewa infrastruktur,” kata Aji.

Patut dicatat, informasi atau dokumen elektronik sebagaimana Pasal 5 UU Nomor 11 Tahun 2008 ke dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 wacana Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 wacana Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) biasanya tidak berdiri sendiri. Lazimnya, informasi atau dokumen elektronik hanya akan mendokumentasikan sebagian kejadian aturan tertentu dalam sebuah perikatan antara para pihak. Namun, hal itu sangat bergantung juga dari jenis sengketanya.

Dalam beberapa kasus, bukti elektronik tidak menjadi satu-satunya alat bukti dalam kasus yang berkaitan dengan transaksi keuangan. Tentunya, akan ada bukti transaksi lainnya yang bisa digunakan menyerupai contohnya transaksi yang melibatkan pihak lain atau setidaknya pihak lainnya itu mengetahui secara eksklusif bahwa ada perpindahan barang yang menjadi objek transaksi.

Dari transaksi yang melibatkan pihak lainnya itu, maka alat bukti lainnya bisa didapatkan. Ambil rujukan misalnya, perbuatan aturan yang terdokumentasi itu biasanya disertai dengan alat bukti fisik dan melibatkan orang-orang yang melihat secara eksklusif atau bisa sebagai keterangan saksi.

Dalam praktiknya, juga masih sering terjadi kekeliruan sewaktu menghadirkan suatu bukti elektronik. Dalam persidangan, biasanya para pihak hanya membawa bukti elektronik berupa hasil capture (gambar) contohnya dari sebuah laman menyerupai Facebook atau E-mail yang berisikan informasi yang diduga melanggar tindak pidana. Sementara, Facebook atau E-mail yang dimaksud biasanya sudah tidak bisa diakses karena telah tidak aktif kembali (deactive).

Padahal, kunci utama dari sebuah bukti elektronik terdapat pada frasa ‘hasil cetakannya’. Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 tegas menyebutkan bahwa setiap informasi/dokumen elektronik gres dianggap sah sebagai alat bukti sepanjang sanggup diakes, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan sanggup dipertanggungjawabkan sehingga mengambarkan suatu keadaan.

Kekeliruan kedua, baik pengacara maupun penuntut umum biasanya menghadirkan bukti elektronik dengan membuka informasi atau dokumen elektronik yang orisinil secara eksklusif dengan membawa perangkat elektronik ke muka pengadilan. Padahal, kaidah ilmu forensik digital tegas melarang bukti orisinil elektronik dibuka dalam suatu persidangan.

Menurut SOP ilmu forensik, bukti elektronik gres bisa ditampilkan di muka pengadilan sehabis data orisinil tersebut dilakukan kloning. Hasil kloning data yang telah dianalisa itulah yang disampaikan oleh hebat digital forensik di muka pengadilan. Data orisinil tidak sanggup ditampilkan karena dikala perangkat elektronik itu dinyalakan, maka Log (catatan susukan ke perangkat) akan berubah dimana hal itu besar lengan berkuasa terhadap nilai pembutian yang menjadi rendah. Namun, tidak ada kewajiban menghadirkan hebat digital forensik dalam setiap masalah yang berkaitan dengan informasi atau dokumen elektronik.

Untuk bisa memastikan bahwa suatu informasi atau dokumen elektronik sanggup diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan sanggup dipertanggungjawabkan sehingga mengambarkan suatu keadaan sebagaimana Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008, sanggup dilakukan dengan menguji secara ilmiah bukti elektronik tersebut. Keberadaan hebat digital forensik dalam pembuktian suatu masalah yang berkaitan dengan bukti elektronik, mestinya dinilai sebagai sesuatu yang meningkatkan nilai pembuktian dari suatu alat bukti mengingat kompetensi dan kewenangan serta pertolongan perangkat yang memadai dari hebat digital forensik.

Baca : 

Rawan Makara Sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme

Era ekonomi digital pun menjadi perhatian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebab berpotensi menjadi sarana penyalahgunaan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) maupun pendanaan pidana terorisme.Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa semenjak tahun 2017 pihaknya telah membentuk divisi (desk) fintech dan cybercrime yang fungsinya melaksanakan pendalaman dan pengayaan pengetahuan sekaligus berkoordinasi dengan pegawanegeri penegak aturan lainnya.

“Pertumbuhan fintech yang begitu cepat perlu diantisipasi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan data serta kepentingan nasional terkait pencegahan pembersihan uang, pendanaan terorisme, dan stabilitas sistem keuangan,” kata Dian.

Dian melanjutkan, pihaknya intens berkoordinasi dengan kementerian/lembaga teknis menyerupai Bank Indonesia dan OJK untuk memitigasi risiko-risiko yang mungkin muncul. Dari pertemuan yang dijalin, PPATK mengapresiasi karena OJK misalnya, telah memperbaharui beleid terkait APU-PPT melalui POJK Nomor 12/POJK.01/2017 wacana Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.

PPATK berharap potensi besar perdagangan elektronik (e-commerce), peer to peer lending, dan model bisnis lain tidak dimanfaatkan pelaku pembersihan uang karena ada celah aturan yang terbuka. Ekonomi digital begitu dinamis terlebih dengan tumbuhnya komoditas gres berjulukan Bitcoin, yang merupakan salah satu mata uang digital (cryptocurrency). Dian mengatakan, PPATK semenjak awal 2017 telah mengamati perkembangan Bitcoin untuk melihat titik-titik rawan yang mungkin disalahgunakan.

Sepanjang pengamatan yang dilakukan PPATK, Dian menyebutkan memang ada sejumlah titik rawan yang sanggup digunakan pelaku untuk melaksanakan pembersihan uang bahkan pendanaan terorisme. Baik Bitcoin maupun fintech peer to peer lending, keduanya berpotensi dijadikan sarana TPPU dan pendanaan terorisme. Diang mengungkapkan, dari hasil identifikasi mengharuskan adanya pengaturan lebih lanjut untuk menjaga dua model bisnis tersebut digunakan untuk TPPU dan pendanaan terorisme. Sayangnya, Dian belum bisa menjelaskan lebih detil pengaturan menyerupai apa yang akan dilakukan.

“Kita sedang merumuskan, kami belum bisa publish. Titik-titik rawan sudah kita identifikasi, nanti tinggal regulasi di serpihan ini. Kita kalau seandainya perlu, kita akan keluarkan Peraturan Kepala PPATK. Tapi seandainya cukup, oleh forum yang membawahi. Kalau dalam konteks integritas sistem keuangan, kita tidak bisa menunggu. Terkait integritas sektor keuangan, kita itu leading sektor, kita bisa lebih dulu. Kita mustahil menunggu hingga sistem itu dimanfaatkan, kita harus preventif justru,” kata Dian. (Sumber: Hukumonline)


Dasar hukum:
  1. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)
  2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 wacana Hukum Acara Pidana

Ilmu Pengetahuan Rkuhp: Berikut Alasan Layak Ditolak Dan Tidak Disahkan

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Aliansi Nasional Reformasi kitab undang-undang hukum pidana menuntut pemerintah supaya menarik draf Revisi Undang-Undang kitab undang-undang hukum pidana dan membahasnya kembali dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin dengan melibatkan banyak sekali pihak.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mewakili 37 ormas dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP, ketika konferensi pers, di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).

“Hentikan seluruh perjuangan mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial,” kata Erasmus.

 Aliansi Nasional Reformasi kitab undang-undang hukum pidana menuntut pemerintah supaya menarik draf Revisi Undang Ilmu Pengetahuan RKUHP: Berikut Alasan Layak Ditolak Dan Tidak Disahkan
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi kitab undang-undang hukum pidana menawarkan tujuh alasan mengapa publik harus menolak RUU kitab undang-undang hukum pidana disahkan/Tirto.


Selain itu, kata Erasmus, aliansi masyarakat sipil ini juga menuntut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) supaya menolak RUU kitab undang-undang hukum pidana menjadi dagangan politik partai-partai di DPR.

Mengapa RKUHP Harus Ditolak?

Setidaknya terdapat 7 alasan yang disampaikan oleh aliansi ini sebagai dasar tuntutan mereka. Pertama, RUU kitab undang-undang hukum pidana dianggap sangat represif dengan persepektif pemenjaraan melebihi kitab undang-undang hukum pidana produk kolonial.

Asril, perwakilan dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LEIP), dalam kesempatan yang sama menyatakan, dari 1.251 perbuatan pidana dalam draf RUU KUHP, 1.198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Menurut dia, kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan forum pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas.

“Kami mau menghilangkan kolonialisasi, salah satunya dengan mengurangi ancaman hukuman. Saat ini kita malah menaikkan ancaman eksekusi melebihi Belanda itu sendiri," kata Asril.

Ia mencontohkan, pasal penghinaan presiden yang ancaman hukumannya naik satu tahun, dari 4 tahun penjara menjadi 5 tahun yang sanggup menciptakan pelakunya pribadi ditahan. “Di Belanda itu tidak hingga 5 tahun,” kata Asril.

Kedua, aliansi ini berpandangan draf RUU kitab undang-undang hukum pidana yang ketika ini disusun dewan perwakilan rakyat dan pemerintah belum berpihak pada kelompok rentan, terutama perempuan. Menurut Khotimun Sutanti atau yang erat disapa Imun, perwakilan LBH APIK, hal ini terlihat dalam pasal perzinaan dan “samenleven.”

Imun menilai, dua pasal tersebut dibentuk tanpa pertimbangan yang matang dan berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat sopan santun dan 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan mempunyai dokumen perkawinan resmi.

"Ini sanggup meningkatkan angka kawin di belum dewasa yang sudah dialami 25 persen anak wanita di Indonesia. Data BPS 5 persen dari anak yang kawin di belum dewasa itu putus sekolah," kata Imun.

Selanjutnya, kata Imun, dua pasal tersebut juga rentan menjerat korban kekerasan seksual dengan pidana dan membatasi hak mereka terhadap saluran kesehatan.

“Korban kekerasan seksual akan takut untuk melapor. Karena beliau sanggup justru dipidanakan ketika tidak sanggup menandakan dirinya sebagai korban. Ketika mereka memeriksakan kerusakan organ tubuhnya akhir kekerasan juga malah sanggup dipidana," kata Imun.

Lagi pula, kata Imun, pemerintah tidak sempurna memidanakan ranah privat. Dua pasal tersebut justru memperlihatkan lemahnya tugas pemerintah dalam menanggulangi kekerasan seksual.

"Pidana itu ultimum remidium yang harusnya menjadi penyelesaian paling selesai dari sebuah persoalan. Apakah tugas agama, budaya dan pendidikan sudah segagal itu hingga ranah privat dipidanakan," kata Imun.

Ketiga, aliansi ini juga berpandangan RUU kitab undang-undang hukum pidana mengancam agenda pembangunan pemerintah, terutama agenda kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan.

Ricky Gunawan, perwakilan dari LBH Masyarakat, dalam kesempatan yang sama mengatakan, larangan penyebaran informasi perihal kontrasepsi, menyerupai yang termaktub dalam pasal 534 RUU kitab undang-undang hukum pidana berpotensi menghambat agenda pencegahan HIV/AIDS.

“Ini wujud miskoordinasi antarlembaga pemerintah. Ada kriminalisasi terhadap kondom. Kalau kondom dikriminalisasi akan menghambat agenda penanganan HIV/AIDS," kata Ricky.

Keempat, aliansi ini beropini RUU kitab undang-undang hukum pidana mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Ade Wahyudin, perwakilan dari LBH Pers menyatakan, salah satu bukti dalam hal ini yaitu pasal 309 RUU kitab undang-undang hukum pidana perihal “Berita Bohong” dan pasal 328-329 perihal contempt of court.

Ade menyoroti pasal 309 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang menyiarkan isu bohong atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling usang 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".

Menurut Ade, frasa "mengakibatkan keonaran" pada ayat (1) tersebut berpotensi multitafsir dan sangat rentan untuk mengkriminalisasi wartawan yang kesehariannya mencari berita.

Ade mencontohkan multitafsir ayat tersebut ketika ada wartawan meliput suatu masalah korupsi, kemudian mewawancarai KPK dan mewawancarai narasumber lain untuk mendapat cover both side sesuai etika jurnalistik. Namun, ketika isu tersebut sudah disiarkan dan ternyata narasumber tidak akurat dan tidak betul memberi informasinya, maka wartawanlah yang akan dianggap memberitakan kebohongan.

"Ini sanggup teman-teman kena pasal tersebut," kata Ade.

Hal yang sama, kata Ade, juga sanggup berlaku bagi pasal contempt of court. Menurut dia, ketika wartawan meliput di pengadilan, hakim atau pihak manapun sanggup memperkarakan dengan alasan mempengaruhi integritas hakim sebab isu yang tersiar dianggap tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.

Terkait ini, Ade merujuk pada Pasal 329 karakter (d) yang berbunyi "Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akhir yang sanggup mempengaruhi sifat tidak memihak Hakim dalam sidang pengadilan."

Sementara, kata Ade, apabila merujuk pada pasal 328, maka wartawan sanggup dikenakan pidana 5 tahun penjara sebab perbuatan tersebut.

Pasal lain yang sanggup membungkam kebebasan berekspresi yaitu pasal 494 Tentang Tindak Pidana Pembukaan Rahasia yang berbunyi “Setiap orang yang membuka belakang layar yang wajib disimpannya sebab jabatan atau profesinya baik belakang layar yang kini maupun yang dahulu dipidana dengan pidana penjara paling usang 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III".

Ade menilai, maksud belakang layar di sini masih multitafsir. Sedangkan wartawan dalam melaksanakan wawancara kerap mendapat informasi yang bersinggungan dengan belakang layar instansi tertentu, namun diungkapkan oleh narasumber secara terbuka.

"Jadi nanti ketika teman-teman wartawan mempublikasikan belakang layar jabatan, yang ketika ini memang belum terang apa itu belakang layar jabatan yang berada di RKUHP, teman-teman sanggup juga kena pasal ini," kata Ade ketika dilansir dari Tirto.

Kelima, aliansi ini juga menilai RUU kitab undang-undang hukum pidana masih memuat banyak pasal karet dan tak terang yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat. Erasmus, perwakilan dari ICJR mengatakan, bukti atas hal ini yaitu masuknya unsur living law atau peraturan yang hidup di masyarakat dalam RUU KUHP, yakni pasal 2.

"Yang ancaman itu aturan itu tidak diinterpretasikan oleh pemangku adat, tapi oleh KUHP. Penegakan hukumnya juga oleh aparat. Ini sanggup menciptakan Anda yang tidak tahu sopan santun suatu tempat terkena pidana sebab dianggap melanggar hal itu," kata Erasmus.


Anggota Brimob Penembak Kader Gerindra Bekas Ajudan Cagub Maluku
  • Dalil Saksi Ahli Sultan Soal Dasar Larangan Cina Punya Tanah di DIY
  • Hukum Jika Terdapat Kemiripan Merek (Brand) Produk Makanan
  • Pengelolaan Dana Desa: Kemenkeu Sebut 200 Desa Terkena OTT
  • Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini
  • Langkah Awal Robert Pakpahan Nakhodai Direktorat Jenderal Pajak
  • Tugas Luky Sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
  • KPK Cocokan Bukti Aliran Dana Korupsi e-KTP ke Anggota DPR
  • Wejangan Menteri Keuangan untuk Direktur Jenderal Pajak yang Baru
  • Robert Pakpahan Dirjen Pajak Baru


  • Perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Tama S. Langkun menilai, adanya delik-delik pidana korupsi dalam RUU kitab undang-undang hukum pidana sanggup menciptakan KPK tidak berfungsi dan melemah. Karena, kitab undang-undang hukum pidana nantinya akan menuntut UU Pemberantasan Korupsi No 28 tahun 1999 dan UU KPK nomor 30 tahun 2002 menyesuaikan yang berpotensi menghilangkan beberapa pasal penindakan korupsi yang spesifik.

    "Penyesuaian dalam kitab undang-undang hukum pidana itu tidak tepat. Makara lebih baik UU Korupsi yang diperkuat," kata Tama.

    Ketujuh, merujuk pada enam alasan sebelumnya, aliansi ini menganggap RUU kitab undang-undang hukum pidana telah kasatmata dibahas tanpa melibatkan forum pemerintah dalam sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya.

    "Presiden Jokowi harus hati-hati, sebab bila RKUHP ini disahkan kini sanggup merugikan pemerintahannya sebab dianggap membangkang konstitusi," kata Erasmus. (***)

    Ilmu Pengetahuan Pandangan Fraksi-Fraksi Dpr Atas Pasal-Pasal Rkuhp Yang Sensitif

    Hukum Dan Undang Undang (Jakarta)  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang digodok dewan perwakilan rakyat dan pemerintah menuai protes publik, khususnya pasal pencabulan, perzinaan dan penghinaan terhadap presiden. Ketiga poin tersebut dianggap sebagai pasal karet atau tidak mempunyai kepastian hukum.

    Pasal penghinaan presiden bahkan dianggap sebagai pasal “zombie” atau pasal yang telah mati dihidupkan kembali. Pasal macam itu pernah ada sebelumnya namun telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dari kitab undang-undang hukum pidana usang yang termaktub dalam pasal 134-137.

    Kasus Korupsi e-KTP: Made Oka Bantah Bertemu Narogong, Paulus Tannos, dan Setya Novanto
  • Tes CPNS 2017: Mimpi Bekerja di KKP Ditenggelamkan Syarat "Rekomendasi" Psikolog
  • Problematika RKUHP: Akhir Nasib Delik Korupsi Dalam RKUHP
  • Pengelolaan Dana Desa: Kemenkeu Sebut 200 Desa Terkena OTT
  • Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini
  • Langkah Awal Robert Pakpahan Nakhodai Direktorat Jenderal Pajak
  • Tugas Luky Sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
  • KPK Cocokan Bukti Aliran Dana Korupsi e-KTP ke Anggota DPR
  • Wejangan Menteri Keuangan untuk Direktur Jenderal Pajak yang Baru
  • Robert Pakpahan Dirjen Pajak Baru

  • Selain itu, berdasarkan Erasmus, penerapan pasal penghinaan presiden tidak sempurna bagi Indonesia yang menerapkan sistem presidensil yang menempatkan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.

    Hal ini, berdasarkan Erasmus, berbeda dengan di Thailand yang memang mengakui keberadaan raja sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, sehingga pasal Leste Majeste dapat diberlakukan di sana.

    "Kecuali Presiden Jokowi memang menganggap dirinya sebagai raja," kata Erasmus. (***)

    Ilmu Pengetahuan Bentuk Pemberian Aturan Bagi Mereka Yang Menawarkan Keterangan Di Persidangan

    Hukum Dan Undang Undang (Jakarta)  Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban yang terdiri dari beberapa elemen masyarakat mendorong semoga segera dibuat forum yang berfungsi memperlihatkan perlindungan. Pada tahun 2001 undang-undang pertolongan saksi diamanatkan untuk segera dibuat menurut Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 ihwal Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi dewan perwakilan rakyat RI mengajukan RUU Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota dewan perwakilan rakyat dari banyak sekali fraksi sebagai RUU permintaan inisiatif DPR. Pada tahun 2003, Indonesia melaksanakan pengesahan Indonesia meratifikasi UN Convention Against Corruption pada tahun 2003. Dalam pasal 32 dan 33 konvensi ini disebutkan bahwa kepada setiap negara peratifikasi wajib menyediakan pertolongan yang efektif terhadap saksi atau hebat dari pembalasan atau intimidasi termasuk keluarganya atau orang lain yang erat dengan mereka. 

    Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban ini yaitu pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibuat paling lambat setahun sesudah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibuat pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK yaitu forum yang dapat bangkit diatas kaki sendiri namun bertanggung jawab kepada Presiden. Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yaitu forum yang bertugas dan berwenang untuk memperlihatkan pertolongan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Ruang lingkup pertolongan ini yaitu pada semua tahap proses peradilan pidana. Tujuan Undang-undang ini yaitu untuk memperlihatkan rasa kondusif kepada saksi dan/atau korban dalam memperlihatkan keterangan dalam proses peradilan pidana.

    Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban yang terdiri dari beberapa elemen masyarakat mendoro Ilmu Pengetahuan Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Mereka Yang Memberikan Keterangan Di PersidanganRekaman Telepon Oka Masagung-Setnov: Ada Kata Cepek dan Nama Baru
  • Marak Eksploitasi Seksual Anak, Polisi Dinilai Bersikap Pasif
  • Akhirnya, OJK Terbitkan 3 Peraturan Tentang Penerbitan Obligasi dan Sukuk Daerah
  • Komisi I dewan perwakilan rakyat Jelaskan Soal Anggaran Paspampres di Acara Daerah
  • Korupsi Ditjen Hubla: KPK Cermati Pengakuan Tonny Budiono Soal Dana ke Paspampres
  • Langkah Awal Robert Pakpahan Nakhodai Direktorat Jenderal Pajak
  • Tugas Luky Sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
  • KPK Cocokan Bukti Aliran Dana Korupsi e-KTP ke Anggota DPR
  • Wejangan Menteri Keuangan untuk Direktur Jenderal Pajak yang Baru
  • Robert Pakpahan Dirjen Pajak Baru

  • Meski dilindungi hukum, tapi bukan berarti tidak ada celah sama sekali. Ada kemungkinan Firman terjerat pidana bila yang lalu diusut Partai Demokrat yaitu keterangan dikala diwawancarai wartawan lepas sidang selesai. Menurut Abdul, pernyataan Firman di luar persidangan sulit dikategorikan sebagai perbuatan kuasa aturan dalam membela kliennya.

    "Karena itu tindakan di luar sidang, sulit untuk mengukurnya sebagai bab dari pelaksanaan UU Advokat. Karena itu terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan," kata Abdul ibarat dilansir dari Tirto.

    Partai Demokrat belum mengeksekusi wacana pelaporan Firman Wijaya, sehingga pernyataan mana yang akan dilaporkan masih tidak diketahui. Ardy Mbalembout dari Divisi Advokasi Demokrat hanya menyampaikan bahwa apa yang dikatakan Firman kepada Wartawan hanya "asumsi dari keterangan saksi." (***)

    Ilmu Pengetahuan Mengalihkan Tanah Yang Digelapkan Termasuk Bentuk Tindak Pidana Pembersihan Uang

    Hukum Dan Undang Undang   Pencucian uang (Money Laundering) ialah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui aneka macam transaksi keuangan biar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seakan-akan berasal dari kegiatan yang sah/legal.

    Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan aneka macam cara biar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh pegawanegeri penegak aturan sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh alasannya itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga sanggup membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

     ialah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang Ilmu Pengetahuan Mengalihkan Tanah Yang Digelapkan Termasuk Bentuk Tindak Pidana Pencucian Uang
    Ilustrasi
    Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui tiga langkah tahapan: 
    1. langkah pertama yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan diubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak mengakibatkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan aneka macam cara (tahap penempatan/placement);
    2. langkah kedua ialah melaksanakan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke aneka macam rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap pelapisan/layering);
    3. langkah ketiga (final) merupakan tahapan di mana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam harta kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam aneka macam bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana (tahap integrasi).

    Di Indonesia, hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pembersihan uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:

    Pertama

    Tindak pidana pembersihan uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

    Kedua

    Tindak pidana pembersihan uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang mendapatkan atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melaksanakan pembersihan uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

    Ketiga

    Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pembersihan uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang bergotong-royong atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melaksanakan pembersihan uang.

    Sanksi bagi pelaku tindak pidana pembersihan uang ialah cukup berat, yakni dimulai dari eksekusi penjara paling usang maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.

    Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)

    (1) Hasil tindak pidana ialah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana berdasarkan aturan Indonesia.

    (2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan dipakai dan/atau dipakai secara eksklusif atau tidak eksklusif untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) abjad n.

    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK (Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) sebagaimana dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 ialah forum independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang memiliki kiprah mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta memiliki fungsi sebagai berikut:
    1. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang;
    2. pengelolaan data dan gosip yang diperoleh PPATK;
    3. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
    4. analisis atau investigasi laporan dan gosip Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
    Dalam pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme (AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari ''The Egmont Group'' yakni suatu asosiasi forum FIU di seluruh dunia dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang higienis dari tindak pidana pembersihan uang dan pendanaan terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional.

    Jika seseorang menggelapkan tanah dengan mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi, tindakan pengalihan hak milik tanah menjadi milik pribadi tersebut gres dikatakan penggelapan saja.

    Akan tetapi, bila tanah yang telah menjadi miliknya akhir tindak pidana penggelapan tersebut ia pindahtangankan, contohnya dengan dijual, maka tindak pidananya kemudian menjadi pembersihan uang (“TPPU”) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Tindak Pidana Pencucian Uang itu merupakan merupakan salah satu bentuk financial crime, yang mana financial crime itu umumnya merupakan white collar crime.

    Apa itu white collar crime? Penjelasan lebih lanjut sanggup Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

    Tindak Pidana Penggelapan

    Tindak pidana penggelapan termuat dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

    Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan aturan sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan alasannya kejahatan, alasannya bersalah melaksanakan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah.

    R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan bahwa penggelapan ialah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian tetapi pada penggelapan pada waktu dimilikinya barang tersebut, sudah ada di tangannya tidak dengan jalan kejahatan/melawan aturan (hal. 258). Unsur-unsur penggelapan yang harus terpenuhi adalah:
    • Barang siapa (ada pelaku);
    • Dengan sengaja dan melawan hukum;
    • Memiliki barang sesuatu yang seluruh atau sebagian ialah kepunyaan orang lain;
    • Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan alasannya kejahatan.
    Seseorang yang melaksanakan penggelapan terhadap tanah sebagaimana yang Anda sebukan sanggup dipidana pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah.

    Ancaman pidana berupa denda sebesar Rp 900,- yang terdapat dalam Pasal 373 kitab undang-undang hukum pidana telah diadaptasi berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 perihal Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP:

    Tiap jumlah maksimum eksekusi denda yang diancamkan dalam kitab undang-undang hukum pidana kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pidana denda yang diatur dalam Pasal 372 kitab undang-undang hukum pidana menjadi paling banyak Rp 900 ribu.

    Makara perbuatan menggelapkan tanah sebagaimana yang Anda sebutkan sanggup dikatakan sebagai penggelapan tanah bila ia menguasai secara melawan aturan tanah tersebut yang seharusnya atau sebagiannya merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan alasannya kejahatan, dengan cara mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi.

    Apakah Mengalihkan Tanah yang Digelapkan Termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang?

    Lalu bila orang menggelapkan tanah dengan melaksanakan pengalihan kepemilikan tanah, bisakah dikatakan sebagai tindak pidana pembersihan uang (“TPPU”)?

    Yang dimaksud TPPU sebagaimana yang Anda sebutkan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU 8/2010”). Pencucian Uang ialah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

    Berikut ialah beberapa bentuk TPPU sebagaimana diatur dalam UU 8/2010:

    Pasal 3

    Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana alasannya tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling usang 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

    Pasal 4

    Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak hak, atau kepemilikan yang bergotong-royong atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana alasannya tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling usang 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

    Pasal 5
    1. Setiap Orang yang mendapatkan atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau memakai Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
    2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

    Penggelapan merupakan salah satu tindak pidana yang disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010. Jadi, bila ada tanah hasil tindak pidana penggelapan yang dialihkan kepemilikannya, maka pelakunya sanggup dikenakan Pasal 3 UU 8/2010.

    Berdasarkan klarifikasi tersebut bila seseorang menggelapkan tanah dan mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi, tindakan pengalihan hak milik tanah menjadi milik pribadi tersebut gres dikatakan penggelapan saja. Akan tetapi, bila tanah yang telah menjadi miliknya akhir tindak pidana penggelapan tersebut ia pindahtangankan, contohnya dengan dijual, maka tindak pidananya kemudian menjadi pembersihan uang.

    Contoh Kasus

    Sebagai teladan sanggup kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1431/ Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel, dimana terdakwa telah terbukti secara sah melaksanakan tindak pidana penggelapan dengan pemberatan kemudian diteruskan dengan TPPU. Dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan cara menggelapkan uang perusahaan kawasan terdakwa bekerja. Kemudian uang hasil penggelapan tersebut dipakai untuk kepentingan pribadi terdakwa ibarat membeli rumah apartemen, kendaraan beroda empat dan membiayai teman bersahabat terdakwa. Atas perbuatan terdakwa tersebut majelis hakim mejatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka digantikan dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

    Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai White Collar Crime

    Menurut Yunus Husein, Ketua Umum STHI Jentera dalam presentasinya mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana (Asset Recovery) dan Corporate Criminal Liability, di STHI Jentera Jakarta pada 22 Februari 2017, TPPU merupakan salah satu bentuk financial crime. Financial Crime itu umumnya merupakan white collar crime.


    Black’s Law Dictionary 9th Edition mendefinisikan white collar crime sebagai berikut:

    A nonviolent crime, usually involving cheating or dishonesty in commercial matters. Examples include fraud, embezzlement,bribery, and insider trading.

    Jay S. Albanese dalam bukunya Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime): Akar dan Perkembangannya, (hal.6) mendefinisikan white collar crime sebagai kejahatan kerah putih atau kejahatan organisasi.

    Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan terorganisasi ialah sebuah upaya yang terus ada dan beroperasi secara rasional untuk mengeruk laba dari kegiatan illegal yang sering kali sangat diperlukan masyarakat. Eksistensinya terus dijaga dengan memakai kekerasan, ancaman, kontrol monopoli, dan/atau menyuap para pejabat pemerintah.

    Lebih lanjut dijelaskan oleh Jay S. Albanese bahwa banyak persamaan antara kejahatan terorganisasi dengan kejahatan kerah putih atau kejahatan organisasi. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan penting antara kejahatan terorganisasi dan kejahatan organisasi (kerah putih).

    Perbedaan paling mencolok mungkin ialah kenyataan bahwa kejahatan organisasi (kerah putih) umumnya terjadi dalam proses yang seharusnya merupakan bisnis yang sah atau urusan pemerintah. Kejahatan kerah putih atau organisasi, dengan demikian paling sering terjadi sebagai tindak kriminal dalam bentuk penyimpangan dari kegiatan bisnis yang sah. Sementara kejahatan terorganisasi merupakan suatu kegiatan yang merupakan perjuangan kejahatan yang terus-menerus yang beroperasi untuk mencari laba terutama dari kegiatan tersebut.(Sumber: Hukumonline)

    Dasar hukum:
    • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
    • Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 perihal Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP.

    Putusan:


    Referensi:
    • Black’s Law Dictionary 9th Edition;
    • Jay S. Albanese. 2016. Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime). Jakarta: Prenadamedia Group;
    • Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana (Asset Recovery) dan Corporate Criminal Liability, diakses pada Selasa, 13 Maret 2018, pukul 17.35 WIB;
    • R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
    1. Pasal 1 angka 1 UU 8/2010
    2. Pasal 2 ayat (1) abjad q UU 8/2010
    3. Jay S. Albanese, hal. 5
    4. Jay S. Albanese, hal. 6
     
    Copyright 2015-2018
    Wkyes