Showing posts sorted by relevance for query korupsi-ditjen-hubla-kpk-cermati. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query korupsi-ditjen-hubla-kpk-cermati. Sort by date Show all posts

Ilmu Pengetahuan Korupsi Ditjen Hubla: Komisi Pemberantasan Korupsi Cermati Legalisasi Tonny Budiono Soal Dana Ke Paspampres

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mencermati fakta persidangan dari pemeriksaan Tonny Budiono dalam masalah korupsi di Direktorat Jendral Perhubungan Laut (Hubla). Dalam pengakuannya, mantan Dirjen Hubla itu menyebut menunjukkan uang senilai Rp100-Rp150 juta untuk dana operasional Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah memberikan dalam masalah ini, KPK akan berfokus pada dua hal yakni, asal undangan uang dan pedoman dana ke pihak lain.

 terus mencermati fakta persidangan dari pemeriksaan Tonny Budiono dalam masalah korupsi di  Ilmu Pengetahuan Korupsi Ditjen Hubla: KPK Cermati Pengakuan Tonny Budiono Soal Dana ke Paspampres
Dirjen Perhubungan Laut (nonaktif) Kemenhub yang juga tersangka akseptor suap, Antonius Tonny Budiono menunjukkan kesaksian pada sidang lanjutan masalah suap dengan terdakwa Adi Putra Kurniawan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (18/12/2017). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
"Secara sedikit demi sedikit kita akan lihat juga isu apa yang dapat kita dalami lebih lanjut. Namun fakta persidangan saya kira perlu kita simak satu persatu," kata Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK Kuningan, Jakarta, Senin (18/12/2017).

Pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin ini, eks Dirjen Hubla itu mengakui uang tersebut diberikan ke Paspampres melalui Direktur Kepelabuhan dan Pengerukan Ditjen Hubla, Mauritz H M Sibarani.

Namun KPK belum mau menanggapi kemungkinan Mauritz terlibat dalam masalah korupsi sebagai pihak perantara. Menurut Febri, jaksa harus memahami detil fakta persidangan. Kendati demikian, tidak tertutup kemungkinan KPK akan mendalami poin tersebut.

"Kalau pun nanti perlu dilakukan pendalaman maka akan diusulkan, namun tentu fokus dikala ini ada dua, pertama menerangkan kesalahan dari terdakwa, dikala ini sedang proses, yang kedua menuntaskan proses penyidikan," kata Febri.

Merespons pengukuhan Tonny, Mabes Tentara Nasional Indonesia mengaku akan melaksanakan investigasi.

"Untuk menindaklanjuti pengukuhan ini, atas perintah Panglima TNI: Puspom Tentara Nasional Indonesia dan Irjen Tentara Nasional Indonesia akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memperoleh keterangan lebih jauh dan menindaklanjuti untuk menemukan oknum-oknum yang terkait dengan duduk kasus ini," kata Kapuspen Tentara Nasional Indonesia Mayjen Sabrar Fadhillah kepada Tirto, Senin.

Fadhilla memastikan, Paspampres tidak pernah meminta anggaran operasional kepada instansi tertentu dan bertindak menurut anggaran negara.

Baca :
"Pada dasarnya tidak ada biaya operasional yang dibebankan kepada institusi atau kelompok atau apapun pada acara-acara yang melibatkan Paspampres. Semua kegiatan sudah di tanggung oleh Negara," tegas Fadhilla dikala dilansir dari Tirto.

Menurut Fadhilla, jika ditemukan kesalahan yang dilakukan oleh oknum prajurit maka akan ditindaklanjuti sesuai proses aturan yang berlaku.

"Dengan adanya insiden ini, sekaligus kami menghimbau kepada semua pihak dan masyarakat, apabila ada oknum Tentara Nasional Indonesia atau pihak manapun yang mengatasnamakan Paspampres yang meminta biaya pada program yang melibatkan Paspampres untuk melaksanakan pengamanan, mohon untuk melaporkan pada kami atau institusi Paspampres, guna pencegahan terjadinya penyimpangan," tegas Fadhillah. (***)

Ilmu Pengetahuan Komisi Pemberantasan Korupsi Penjelasan Surat Palsu Yang Beredar Ke Kepala Desa

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklarifikasi bahwa surat yang dikirimkan kepada para kepala desa di seluruh Lampung terkait dana desa, yakni surat palsu.

“Surat tersebut mencatut nama KPK untuk mengganggu kondusivitas keamanan dan stabilitas masyarakat Lampung. Surat yang salah satu poinnya mencemarkan nama baik pemerintah provinsi juga gubernur Lampung non aktif Muhammad Ridho Ficardo tidak fundamental dan tidak bersumber dari KPK,” kata Plt Sekretaris Daerah Provinsi Lampung Hamartoni Ahadis, pada konferensi pers terkait surat palsu yang mengatas namakan KPK RI di Bandarlampung, Selasa (6/3).

 mengklarifikasi bahwa surat yang dikirimkan kepada para kepala desa di seluruh Lampung te Ilmu Pengetahuan KPK Klarifikasi Surat Palsu yang Beredar ke Kepala Desa
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo didampingi Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, Laode M Syarif, Juru Bicara KPK Febri Diansyah serta Penasihat KPK Budi Santoso, Tsani Annafari, dan Sarwono Sutikno, dikala menggelar konferensi pers Kinerja KPK tahun 2017 di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Rabu (27/12/2017). KPK berhasil menyelamatkan Rp 2,67 triliun uang negara dari upaya pencegahan. Salah satunya berasal dari laporan gratifikasi yang berhasil menambah pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 114 miliar.
AKTUAL/Tino Oktaviano
Ia menyebutkan, pengiriman surat palsu dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab secara terorganisir dan terencana. Menurutnya, cap pos yang terdapat pada surat tersebut diketahui dikirim dari Kantor Pos di Jakata Pusat dengan tujuan untuk merusak wibawa dan gambaran gubernur Lampung.

KPK, lanjutnya, menyatakan bahwa dengan beredarnya surat palsu tersebut forum antirasuah itu telah dirugikan secara materil, baik sebagai forum negara yang telah disalahgunakan namanya maupun pencatutan nama pimpinan KPK Agus Raharjo.

“Sebagai tindaklanjut dari laporan yang telah dilayangkan oleh Pemerintah Provinsi Lampung, KPK telah mengirimkan Deputi Pengawas Internal KPK secara pribadi untuk berkoordinasi dengan Polda setempat dalam rangka menindaklanjuti permasalahan tersebut,” ungkapnya dikala dilansir dari Aktual.

Dalam kesempatan tersebut Hamartoni juga menjelaskan bahwa dana desa yang tertera dalam surat palsu tersebut tidak ada hubungannya dengan Pemerintah Provinsi Lampung dan Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo.

Ia menjelaskan, pengelolaan dana desa dilakukan kepala desa dengan administrasi pemerintah kabupaten/kota.

Hamartoni juga menjelaskan kejanggalan surat palsu tersebut terlihat dari format surat yang tidak sesuai dengan yang ada di KPK RI. Bahkan, sistem penomoran, tandatangan (dto) tidak lazim.

“Hati-hati penipuan yang berkedok KPK,” kata Hamartoni.

Melalui surat resmi KPK RI No. B/933/P1.05/01 42/02/2018, KPK RI mengimbau kepada semua pihak untuk meragukan maraknya penyalahgunaan nama KPK, dan atau nama pimpinan KPK, pejabat/pegawai KPK, oleh pihak pihak lain dengan cara-cara menciptakan surat palsu, kartu identitas palsu, seragam, atribut/lencana berlogo KPK atau mengaku sebagai kawan KPK, yang dipergunakan sebagai sarana untuk melaksanakan tindak pidana penipuan, pemerasan, dan pemalsuan.

Baca :


Dalam surat tersebut juga disampaikan Direktorat Pengaduan Masyarakat Jl. Kuningan Persada Kav. Setiabudi, Jakarta 12950, atau line telp. 021-2557-8389 atau sms 08558575575 dan email : pengaduan@kpk.go.id, informasi@kpk.go.id.

Dapat diakses oleh masyarakat untuk mengklarifikasi atau mengadukan hal-hal yang berafiliasi dengan tindak pidana korupsi dan institusi KPK. (***)

Ilmu Pengetahuan Komisi Pemberantasan Korupsi Sudah Siap Hadapi Praperadilan Fredrich Yunadi Pada 12 Februari

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah siap menghadapi somasi advokat Fredrich Yunadi di sidang praperadilan.

Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menyatakan Komisi Antirasuah tidak melaksanakan persiapan khusus menjelang sidang praperadilan tersangka masalah menghalangi penyidikan korupsi e-KTP tersebut.

 sudah siap menghadapi somasi advokat Fredrich Yunadi di sidang praperadilan Ilmu Pengetahuan KPK Sudah Siap Hadapi Praperadilan Fredrich Yunadi pada 12 Februari
Fredrich Yunadi (memakai rompi oranye) tiba untuk menjalani investigasi sebagai Tersangka masalah merintangi penyidikan masalah korupsi e-KTP di Gedung KPK, Jakarta, Senin (22/1/2018). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

Menurut Febri, KPK sudah terbiasa menghadapi somasi praperadilan dari tersangka masalah korupsi. Dia juga mengingatkan, penggeledahan dalam penyidikan masalah pidana Fredrich Yunadi sudah sesuai mekanisme yang berlaku.

KPK akan mengembalikan barang bukti yang dianggap tidak relevan dengan masalah ini. Penilaian tersebut dilakukan sehabis proses internal KPK. Namun, KPK juga siap untuk menghadapi somasi apabila ada yang mempermasalahkan proses tersebut.

"Kalau memang ada pihak-pihak yang keberatan saya kira soal penggeledahan ataupun penyitaan disampaikan dalam hal ini bahan praperadilan," kata Febri di Gedung KPK, Jakarta pada Senin (22/1/2018).

Sidang praperadilan Fredrich Yunadi akan mulai digelar pada hari Senin, 12 Februari 2018 mendatang. Kepastian soal kegiatan ini telah diumumkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Perkara dengan nomor pendaftaran no.9/Pid.Pra/2018/PN Jkt.Jaksel itu didaftarkan pada Kamis, 18 Januari 2018. Persidangan praperadilan ini rencananya akan dipimpin oleh Hakim tunggal H. Ratmoho, SH. MH.

Namun, berdasarkan Febri, KPK belum mendapatkan surat panggilan sidang praperadilan tersebut hingga Senin sore hari ini.

"Tadi sore, sekitar jam 4, saya cek juga belum ada surat dari pengadilan negeri Jakarta Selatan. Mungkin sedang dalam proses," kata Febri.

Febri menambahkan praperadilan merupakan hak tersangka. Ia juga menilai tidak dilema apabila praperadilan akan digelar pada bulan Februari 2018. Dia memastikan KPK akan mempelajari surat panggilan praperadilan begitu sudah menerimanya.

Tim kuasa aturan Fredrich Yunadi telah menjelasan sejumlah alasannya mengajukan somasi praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini.

"Praperadilan ini kita olok-olokan berdasarkan undangan pak Fredrich lantaran ada beberapa hal," kata Sapriyanto Refa, Penasihat aturan Fredrich Yunadi, di PN Jakarta Selatan, Jakarta, ketika dikutip dari Tirto, Kamis pekan lalu.

Alasan pertama lantaran penetapan tersangka Fredrich dinilai tidak sah. Refa mengingatkan, penetapan tersangka harus berdasar minimal dua alat bukti yang cukup.

Baca : 

Kedua, somasi itu mempermasalahkan wacana penyitaan barang-barang milik Fredrich. Refa berdalih, penyitaan harus berdasarkan penetapan ketua pengadilan, dalam hal ini Ketua Pengadilan Tipikor.

Ketiga, somasi itu diajukan lantaran benda yang disita oleh KPK diduga tidak berkaitan dengan masalah merintangi penyidikan masalah korupsi e-KTP yang membelit Fredrich. Refa mengklaim, KPK menyita dokumen masalah yang tidak berafiliasi dengan penyidikan masalah itu.

Keempat, somasi itu mempermasalahkan proses penangkapan Fredrich. Menurut Refa, Fredrich sesungguhnya tak perlu ditangkap alasannya masih sanggup diperiksa kembali sehabis satu kali absen dari panggilan pemeriksaan. Selain itu, kuasa aturan Fredrich juga sudah mengajukan penundaan penundaan pemanggilan lantaran menunggu proses investigasi etik Peradi. (***)

Ilmu Pengetahuan Dinasti Politik Jadi Perhatian Serius Kpk

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengawasi dinasti politik di daerah. Menurut KPK, dinasti politik berpotensi tinggi terjadinya tindak pidana korupsi.

"KPK memperhatikan serius terhadap dinasti politik," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan ketika menyambangi Polres Metro Jakarta Selatan, seeprti dikutip Antara, Jumat (2/3/2018).

 akan mengawasi dinasti politik di tempat Ilmu Pengetahuan Dinasti Politik Makara Perhatian Serius KPK
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan. tirto.id/Andrey Gromico
Basaria menegaskan KPK tidak melarang adanya politik atau kepala tempat "turun- menurun" kalau dilakukan secara transparan dan akuntabel menyerupai yang dilansir dari Tirto.

Menurut Basaria, pada dasarnya apabila orang renta atau anak menjadi kepala tempat atau pejabat negara tidak melaksanakan tindak pidana korupsi.

Basaria menyatakan penyidik KPK akan menindak tegas pejabat negara maupun kepala tempat yang terlibat korupsi dengan menerapkan pasal pembersihan uang untuk memiskinkan koruptor.

Dinasti politik menjadi sorotan publik usai KPK menangkap Walikota Kendari Sulawesi Tenggara Andriatma Dwi Putra bersama bapaknya yang menjadi calon gubernur Sulawesi Tenggara Asrun. Bapak dan anak itu terjaring OTT KPK Rabu (28/2/2018).

Keduanya menjadi tersangka dugaan peserta suap dari pihak swasta untuk pendanaan kampanye pencalonan kepala daerah. Andriatma menggantikan Asrun sebagai Walikota Kendari yang telah bertahta selama dua periode atau 10 tahun.

Dua orang lainnya yang ikut terkena OTT Kendari ialah mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Kendari Fatmawati Faqih (FF) dan Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara Hasmun Hamzah (HAS).

Pada Kamis (1/3/2018), Asrun, Andriatma, Fatmawati dan Hasmun ditahan selama 20 hari pertama semenjak ditetapkan sebagai tersangka.

KPK menduga Adriatma Dwi Putra dan Asrun mendapatkan suap senilai Rp2,8 miliar dari Hasmun Hamzah yang kerap menerima proyek di Kota Kendari semenjak 2012.

Menurut keterangan KPK, uang suap dari Hazmun tersebut diduga akan dipakai untuk kepentingan kampanye Asrun di Pilgub Sulawesi Tenggara 2018. KPK menyita bukti berupa buku tabungan beserta kendaraan beroda empat yang dipakai untuk membawa uang suap tersebut.

Baca :


Hasmun Hamzah disangka melanggar pasal 5 ayat 1 karakter a atau pasal 5 ayat 1 karakter b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1.

Sementara Asrun, Adriatma Dwi Putra dan Fatmawati Faqih disangka melanggar pasal 12 karakter a atau karakter b atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (***)

Ilmu Pengetahuan E-Ktp, Setya Novanto Jelaskan Soal Uang Rp20 M Untuk Berurusan Dengan Kpk

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Setya Novanto angkat bicara mengenai rekaman perbincangannya bersama Andi Narogong dan Johannes Marliem yang diputar jaksa KPK pada persidangan pekan lalu.

Dalam rekaman itu, Setya Novanto khawatir masalah korupsi dalam proyek e-KTP dibongkar KPK. Sehingga, Novanto ingin menyiapkan uang senilai Rp20 miliar untuk menghadapi masalah aturan di KPK.

 Setya Novanto angkat bicara mengenai rekaman perbincangannya bersama Andi Narogong dan Jo Ilmu Pengetahuan e-KTP, Setya Novanto Jelaskan Soal Uang Rp20 M untuk Berurusan Dengan KPK
Setya Novanto memastikan uang Rp20 miliar itu tidak digunakan untuk menyuap KPK.
Menanggapi hal itu, Novanto memastikan uang Rp20 miliar itu tidak digunakan untuk menyuap KPK. Mantan Ketua dewan perwakilan rakyat RI itu mengklaim, uang itu dipersiapkan untuk membayar pengacara dan manajemen bila dirinya tersangkut dilema hukum.

"Enggak, [uang Rp20 miliar] itu bukan buat KPK. Itu kan masalahnya kalau udah berkaitan dengan hal-hal aturan ‎kan niscaya perlu bayar yang resmi. Ya macam-macam kata pengacara," kata Setya Novanto sebelum menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (26/2/2018).

Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu kembali menegaskan, uang itu dipersiapkan untuk membayar pengacara, dan manajemen apabila dirinya menjalani proses aturan di KPK.

"Enggak ada (kaitan dengan e-KTP). Cuma kalau kena kasus, masalahnya bayar lawyer, manajemen yang berkaitan, yang resmi-resmi dihitung gede banget," terperinci Novanto.
Isi Rekaman Perbincangan Setya Novanto, Andi Narogong dan Johannes Marliem

Dalam persidangan pekan lalu, jaksa sempat memutar rekaman perbincangan antara Setya Novanto, Andi Agustinus alias Andi Narogong dan pengusaha dari perusahaan Biomorf Johannes Marliem.

Perbincangan yang terjadi di kediaman Setya Novanto itu sempat membahas kekhawatiran bila masalah korupsi di proyek e-KTP diungkap KPK. Bahkan Novanto sempat ketakutan alasannya yaitu namanya banyak disebut dan mengendalikan perusahaan untuk ikut bermain dalam proyek e-KTP.

"Itu lawannya Andi, Andi juga. PNRI beliau (Andi) juga, itu beliau juga. Waduh, gue bilangin kali ini jangan sampe kebobolan, nama gue digunakan ke sana-sini," kata Setnov dalam sebuah rekaman yang ditampilkan Jaksa KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 22 Februari 2018.

Kemudian Setnov sempat menyinggung uang senilai Rp20 miliar apabila dirinya berhadapan dengan KPK di masalah korupsi e-KTP.

"Kalau gue dikejar ama KPK, ongkos gue dua puluh miliar," ungkap Setnov dalam rekaman tersebut.

Jaksa KPK pun sempat mengkonfirmasi pernyataan Setya Novanto di dalam rekaman itu kepada Andi Narogong.

Andi, yang menjadi sebagai salah satu saksi yang dihadirkan oleh Jaksa KPK untuk terdakwa Setya Novanto, mengklaim tidak tahu apa yang dimaksud dengan Novanto dalam rekaman tersebut.

Baca :

Dia menduga, pernyataan Setnov terkait uang Rp20 miliar merupakan pembayaran untuk jasa sewa pengacara bila ditangkap oleh KPK.

"Ya, mungkin (uang Rp20 miliar) biaya pengacara kalau hingga tersandung masalah hukum," ungkap Andi kepada Jaksa KPK. (***)

Ilmu Pengetahuan Segera Periksa Kebijaksanaan Tjahjono, Komisi Pemberantasan Korupsi Pelajari Kerugian Negara Kasus Jasindo

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menawarkan konfirmasi terkait tersendatnya proses penyidikan masalah mantan Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), Budi Tjahjono.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, menyatakan ketika ini pihaknya masih mempelajari hasil audit kerugian negara dalam kasus tersebut.

“Perhitungan kerugian keuangan negara sudah diterima KPK. Setelah itu tentu kita harus pelajari lebih lanjut,” kata dia.

 menawarkan konfirmasi terkait tersendatnya proses penyidikan masalah mantan Direktur Utama  Ilmu Pengetahuan Segera Periksa Budi Tjahjono, KPK Pelajari Kerugian Negara Kasus Jasindo
Tersangka Mantan Dirut Jasindo Budi Tjahjono (kanan) (istimewa)/Aktual.
Ia menyampaikan pihaknya akan mencocokan audit tersebut dengan keterangan para saksi yang telah diperiksa KPK. Hasil ini akan jadi materi penyidik ketika mengusut Budi Tjahjono nanti.

“Kebutuhan investigasi lebih lanjut. Itu langkah signifikan dalam penanganan perkara. Karena kita pakai pasal 2 pasal 3,” kata ia ketika dikutip dari Aktual.

Meski demikian Febri belum sanggup memastikan kapan pihaknya akan menghadirkan Budi Tjahjono ke ruang investigasi KPK.

“Nanti kita sampaikan lebih lanjut jadwal pemeriksaan. Tentu akan kita periksa,” kata Febri.

Tercatat sudah hampir satu tahun berjalan masalah ini bergulir semenjak KPK membuka adanya korupsi dalam pembayaran komisi acara fiktif biro Jasindo dalam penutupan asuransi oil and gas pada BP Migas, Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas (KKKS) periode 2010-2012 dan 2012-2014, pada 3 Mei 2017 silam dengan ditetapkannya tersangka Budi Tjahjono.

Kasus ini sendiri tidak sanggup dipandang sebelah mata, setidaknya pada kasus ini nilai kerugian negara yang ditimbulkan menurut perhitungan sementara KPK sebesar Rp15 miliar.

Angka itu didapatkan KPK dari adanya fee fiktif yang diberikan Jasindo kepada para “Broker”. KPK mengira fee itu merupakan pura-pura Budi Tjahjono Cs untuk mengisi kantong-kantong langsung mereka.

Lebih jelasnya masalah itu bermula pada 2009, ketika BP Migas membuka lelang terbuka terkait pengadaan jasa asuransi untuk menutup aset dan proyek di Kontrak KKS. Untuk ikut tender itu, PT Jasindo menunjuk satu orang agen.

Panitia pengadaan tersebut kesudahannya mengumumkan PT Jasindo sebagai pemenang, dan menunjuknya sebagai pemimpin konsorsium dengan keanggotan yang terdiri dari PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia selaku ketua dua konsorsium, PT Asuransi Central Asia, PT Asuransi Sinarmas, PT Asuransi Astra Buana, ASEI, dan PT Adira Dinamika.

BP Migas lalu membuka tender kedua pada 2012. Kali ini, terkait terkait lelang jasa asuransi aset dan proyek BP Migas. PT Jasindo yang memakai jasa agen, kembali menang tender.

Disinilah KPK menemukan bahwa PT Jasindo bekerjsama tak memerlukan agen. Sebab proses tender dilaksanakan secara terbuka. Oleh karenanya KPK menilai bayaran terhadap dua biro yang ditunjuk PT Jasindo tersebut sebagai kerugian keuangan negara.

“BTJ (Budi Tjahjono) selaku direksi diduga melaksanakan perbuatan melawan aturan atau menyalahgunakan wewenang pembayaran acara fiktif asuransi oil and gas BP Migas,” Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/4/2017).

Baca :


Febri melanjutkan, selain itu ada indikasi anutan dana yang diberikan kepada biro juga mengalir kembali ke beberapa pejabat di PT Jasindo. “Fee komisi alasannya dianggap berjasa proses lelang di BP migas namun diduga komisi tersebut juga diduga mengalir ke pejabat di PT Jasindo,” kata dia.

Atas perbuatan itu, Budi Tjahjono disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Ilmu Pengetahuan Komisi Pemberantasan Korupsi Berjanji Dalami Keterlibatan Ketua Fraksi Dpr Di Kasus E-Ktp

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjanji akan mendalami sejumlah fakta yang terungkap dalam persidangan terdakwa mantan Ketua dewan perwakilan rakyat Setya Novanto. Pimpinan KPK menyatakan pihaknya juga akan menelisik tugas para Ketua Fraksi, yang Partainya disebut ikut menikmati gelontoran uang korupsi dari proyek bernilai Rp5,8 triliun tersebut.

“Fakta persidangan itu akan didalami lagi oleh KPK untuk kemudian di analisis sejauh apa sanggup ditindak lanjuti,” ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang ketika dikonfirmasi, Selasa, (27/2).

 berjanji akan mendalami sejumlah fakta yang terungkap dalam persidangan terdakwa mantan K Ilmu Pengetahuan KPK Berjanji Dalami Keterlibatan Ketua Fraksi dewan perwakilan rakyat di Kasus e-KTP
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang ketika mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Jakarta, Selasa (12/9). Komisi III mempertanyakan soal tahapan proses penanganan masalah mulai dari laporan masyarakat sampai ke pengadilan. Selain itu juga mempertanyakan soal ribuan pengaduan masyarakat ke KPK namun tidak semuanya diproses. AKTUAL/Tino Oktaviano
Sebelumnya Muhammad Nazaruddin yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang masalah Novanto mengakui semua Ketua Fraksi ikut kecipratan uang haram dari megakorupsi senilai Rp2,3 triliun tersebut. Dia menyebut besaran fee untuk ketua fraksi tidak sama atau bervariasi.

Tak hanya itu, dalam persidangan itu juga terkuak bahwa proyek KTP-el ini dikuasai oleh tiga partai besar dengan isyarat warna merah, biru dan kuning. Merah sebagai PDI Perjuangan, biru sebagai Partai Demokrat dan kuning sebagai Partai Golkar.

Sebelum Nazaruddin ‘berkicau’, mantan Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang pun mengakui kerap melaporkan perkembangan pembahasan proyek KTP-el kepada Ketua Fraksi PDI Perjuangan.

Pada surat dakwaan jaksa KPK disebutkan jikalau Golkar sat itu turut diperkaya dari KTP-el sebesar Rp150 miliar, Partai Demokrat Rp150 miliar dan PDIP senilai Rp80 miliar. Adapun Ketua Fraksi Golkar ketika itu dijabat oleh Setya Novanto, sementara PDIP yaitu Puan Maharani dan Demokrat dijabat Anas Urbaningrum kemudian digantikan oleh Jafar Hapsah.
Atas hal tersebut, Saut menegaskan akan terus membuatkan masalah ini terlebih negara mengalami kerugian mencapai Rp2,3 triliun dari proyek ini. Bukan tak mungkin, para ketua Fraksi lainnya yang diduga ikut bersekongkol dan turut menikmati hasik korupsi KTP-el, akan dijerat juga oleh KPK.

Baca :


“Kalau ada fakta-fakta yang sanggup kami kembangkan nanti maka hanya duduk masalah waktu saja. Namun jikalau tidak, ya kami harus hati-hati,” pungkas Saut menyerupai yang dilansir dari Aktual.

Diketahui, sejauh ini dari ketiga nama tersebut gres Setya Novanto yang dijerat dan ditahan penegak aturan forum antirasuah tersebut. Namun, semenjak awal penyidikan ini bergulir KPK belum pernah mengusut Puan Maharani selaku Ketua Fraksi PDI Perjuangan padahal Ketua Fraksi lainnya semisal Anas Urbaningrum berulang kali diperiksa dan Jafar Hafsah sendiri telah mengembalikan uang sebesar Rp1 miliar ke KPK. (***)

Ilmu Pengetahuan Komisi Pemberantasan Korupsi Pastikan Sejumlah Calon Akseptor Pilkada Ditetapkan Tersangka

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan beberapa calon penerima Pilkada serentak 2018 akan menjadi tersangka.

"90 persen itu niscaya ditersangkakan untuk beberapa. Bukan 90 persen penerima [Pilkada]," kata Agus di Gedung Merah Putih KPK Kuningan, Jakarta, Selasa (6/3/2018).

Agus mengatakan, KPK juga telah memegang sejumlah data kandidat penerima Pilkada yang akan dijadikan tersangka, termasuk data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

 Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan beberapa calon penerima Pilkada serentak  Ilmu Pengetahuan KPK Pastikan Sejumlah Calon Peserta Pilkada Ditetapkan Tersangka
Ketua KPK Agus Rahardjo bersiap menjelaskan hasil operasi tangkap tangan (OTT) di gedung KPK, Jakarta, Jumat (5/1/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Ia mengaku sudah ada ratusan laporan yang masuk ke KPK untuk ditangani lebih lanjut. “Kalau enggak salah 368 laporan. Hasil analisanya 34. Itu niscaya akan jadi materi kami untuk lalu menindaklanjuti semua kasus yang ada di KPK," kata Agus.

Kendati demikian, Agus masih enggan membeberkan nama-nama kandidat calon kepala kawasan yang akan dijadikan tersangka, sebab masih menunggu janji dengan pimpinan KPK lainnya.

Dalam sambutannya di Rakernis Bareskrim Mabes Polisi Republik Indonesia di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Selasa (6/3) tadi, Agus Rahardjo juga menyebut 90 persen dari beberapa kandidat calon kepala kawasan akan menjadi tersangka di KPK.

Baca :


"90 persen dari beberapa penerima ya. Bukan dari semua penerima pilkada. Hanya beberapa saja, menyerupai petahana atau yang anggota keluarganya ikut maju," kata Agus Rahardjo dikala dilansir dari Tirto.

Meski tidak menyebut berapa banyak total calon kepala kawasan yang akan menjadi tersangka di KPK. Namun, Agus menguraikan, sebagian besar calon ikut bertarung di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

"Lebih banyak di Pilkada di Jawa dan Sumatera. Ada sebagian di Kalimantan," ungkap Agus. (***)

Ilmu Pengetahuan Rekaman Telepon Oka Masagung-Setnov: Ada Kata Cepek Dan Nama Baru

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Pengusaha Made Oka Masagung mengklaim tidak mengetahui maksud istilah "cepek" yang terungkap dari rekaman pembicaraannya dengan Setya Novanto.

Klaim Oka Masagung itu muncul ketika beliau bersaksi di persidangan lanjutan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto, di PN Jakarta Pusat, pada Senin (22/1/2018).

 Pengusaha Made Oka Masagung mengklaim tidak mengetahui maksud istilah  Ilmu Pengetahuan Rekaman Telepon Oka Masagung-Setnov: Ada Kata Cepek dan Nama Baru
Pengusaha Made Oka Masagung bersiap menjalani investigasi di gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/12/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Pada persidangan ini, Jaksa KPK memutar rekaman hasil sadapan pembicaraan Made Oka Masagung dengan Setya Novanto pada 19 April 2012. Materi perbincangan keduanya menggambarkan mereka akan melaksanakan pertemuan di suatu lokasi bersama seseorang lainnya.

Berikut ini, transkip lengkap pembicaraan Setya Novanto dan Oka Masagung via telepon.

Setya Novanto : Gimana, jadi ya?
Made Oka : Kaprikornus dong, jam 10.
Setya Novanto : Oo.. Gue udah nyampek nih.
Made Oka : Aahh sudah nyampek?
Setya Novanto : Iya.
Made Oka : Gua udah bilangin Imam jam 10 juga.
Setya Novanto : oo iya iya...
Made Oka : Ntar.. bila besok...kalau dapat lebih pagi gimana? Gua lagi nyangkut nih
Setya Novanto : Dimana?
Made Oka : Mesti ajak beliau makan siang.. oo macet di Kuningan.
Setya Novanto : Oo.. bila emang dapat maju enggak apa apa.
Made Oka : Oke... Eehh gua mesti jemput tamunya sekarang
Setya Novanto : Oo yawis. Siapa sih itu bas?
Made Oka : Itu namanya si Jay, beliau itu ee....
Setya Novanto : Oo yang lu omong itu? Ya ya ya ya..
Made Oka. : Iya, yang bawa bawa duit buat kita, cepek...
Setya Novanto : Ya ya ya ya...
Made Oka : Ha....
Setya Novanto : Untuk investasi ya ya...oke oke
Made Oka : sepakat !

Saat dikonfirmasi oleh Jaksa KPK soal bahan perbincangan ini, Made Oka Masagung mengakui dirinya melaksanakan pembicaraan dengan Novanto. Akan tetapi, anehnya, Oka Masagung mengklaim tidak mengenal nama Jay yang dimaksud dalam pembicaraan itu. Made pun mengaku tidak tahu maksud istilah “cepek” dalam perbincangan antara dirinya dengan Novanto tersebut.

"Enggak mengerti, untuk apa," kata Made Oka Masagung ketika diberitakan oleh Tirto.

Sebagai informasi, Made Oka Masagung merupakan salah satu pengusaha yang diduga ikut berperan dalam kasus korupsi e-KTP. Ia diduga berperan menyamarkan pertolongan uang kepada Novanto.

Baca :
Dalam surat dakwaan disebutkan, pertolongan jatah e-KTP ke Setya Novanto dari Dirut PT Biomorf Mauritius, Johanes Marliem, disamarkan dengan cara mengirimkan invoice (surat tagihan) ke dua perusahaan. Akibatnya, pengiriman uang itu seakan-akan ialah untuk pengeluaran perusahaan, bukan diberikan kepada Setya Novanto.

PT Biomorf Mauritius mengirimkan invoice pembayaran software ke PT Quadra Solutions dalam dua tahap, dengan total pembayaran 7 juta dolar AS.

Uang tersebut lantas dikirim dan disebar ke rekening perusahaan milik Made Oka Masagung di Singapura, yaitu Delta Energy PTE Ltd dan OEM Investment Capital. Selain itu, uang sebesar 2,6 juta dolar AS juga dikirim melalui Irvanto yang merupakan keponakan Novanto.

Pada persidangan ini, Jaksa KPK telah mendakwa Setya Novanto melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang undang nomor 20 tahun 2001 perihal pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (***)

Ilmu Pengetahuan Komisi I Dpr Jelaskan Soal Anggaran Paspampres Di Program Daerah

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Anggota Komisi I dewan perwakilan rakyat dari fraksi PDIP Effendi Simbolon menjelaskan, selama ini ada biaya pengamanan yang dianggarkan lebih dari biasanya untuk Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) ketika Presiden Joko Widodo ataupun Wapres Jusuf Kalla berkunjung ke wilayah-wilayah di luar Jakarta. Menurutnya, anggaran tersebut biasanya dibahas dalam rapat panitia.

Kasus soal anggaran Paspampres ini mencuat dikala eks Dirjen Hubla Antonius Tonny Budiono bersaksi dalam persidangan Senin kemarin (18/12/2017). Di sidang itu, Tonny mengaku menggunakan sebagian duit suap untuk membiayai operasional Paspampres di dikala ada kunjungan Presiden Joko Widodo dalam pelantikan proyek yang ditangani oleh Ditjen Hubla.
 Anggota Komisi I dewan perwakilan rakyat dari fraksi PDIP Effendi Simbolon menjelaskan Ilmu Pengetahuan Komisi I dewan perwakilan rakyat Jelaskan Soal Anggaran Paspampres di Acara Daerah
Personil Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) melaksanakan investigasi pengamanan kepada setiap kendaraan yang akan memasuki daerah KTT Indian Ocean Rim Association (IORA) ke-20 Tahun 2017 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Senin (6/3). ANTARA FOTO/IORA SUMMIT 2017/Widodo S. Jusuf.
Effendi mengaku sering mendengar adanya hal-hal ibarat itu. Namun, ia menyatakan tindakan tersebut tidak sanggup diketahui kebenarannya sebab belum ada bukti yang cukup. Jika berkaca pada integritas Paspampres selama ini, maka Effendi yakin mereka tidak meminta biaya operasional.

"Kalau [Paspampres] meminta, saya kira enggak ya, tapi jikalau dalam rapat-rapat niscaya kan muncul anggaran-anggaran untuk pengamanan, apalagi dana presiden ke daerah tinggi kan anggarannya," tegas Effendi kepada Tirto, Selasa (19/12/2017).

Menurut dia, anggaran Paspampres kerapkali tidak mencukupi. Itulah yang terkadang menciptakan daerah atau empunya hajat mau menaikan biaya keamanan untuk diberikan kepada Paspampres.

"Seringkali juga menggunakan anggaran-anggaran pajak dari daerah itu. Memang itu harus ditertibkan sebab ya kepentingan kita kan mereka tetap juga sesuai kiprah pokoknya, tapi jangan keterbatasan anggaran, lantas mereka mencari sana-sini dengan membuka peluang gratifikasi dari pihak-pihak yang punya hajat," katanya lagi.

Menurut dia, hingga dikala ini belum ada laporan masuk dari masyarakat atau pemerintah daerah setempat terkait hal itu. Effendi beropini bahwa besar kemungkinan mereka tidak mengadu sebab santunan uang atau biaya pengamanan yang besar tersebut terbilang wajar.

"Namanya yang punya hajat kan enggak ada masalah. Namanya punya hajat ya membisu aja. Apalagi uang nenek moyangnya (instansi terkait)," katanya lagi.

Baca :
Untuk penanganan berikutnya, Effendi mengaku akan mendorong pemanggilan Komandan Paspampres Mayor Jenderal Marsekal Tentara Nasional Indonesia Suhartono di rapat Komisi I berikutnya. Pemanggilan tersebut dirasa butuh untuk meluruskan kesalahan yang terjadi selama ini perihal santunan biaya operasional dari instansi terkait pada Paspampres.

"Kami akan panggil Danpampresnya. Akan kami lakukan evaluasi," tandasnya lagi ibarat dikutip dari Tirto.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto menyatakan selama mengundang Presiden Jokowi, pihak PDIP selaku penyelenggara program tak pernah memberi biaya operasional berupa uang kepada Paspampres.

Meski pihak Paspampres mendapat perlakuan khusus berupa bangku, makan, dan minum, tapi tidak pernah mendapat uang tunai. "Enggak pernah mas," katanya. "Semuanya disediakan oleh panitia, standar sesuai tamu." (***)

Ilmu Pengetahuan Komisi Pemberantasan Korupsi Akan Hadirkan Setya Novanto Di Persidangan Fredrich Yunadi

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menghadirkan kembali sejumlah saksi fakta dalam persidangan Fredrich Yunadi, Senin (21/5/2018), termasuk Setya Novanto (Setnov) untuk dimintai keterangan.

"Sesuai dengan permohonan tim PH [penasihat hukum], ada SN (Setya Novanto), ada Alia (dokter RS Medika Permata Hijau), Michael (dokter RS Medika Permata Hijau), Hafil (Direktur Rumah Sakit Medika Permata Hijau), Nana Triatna (perawat RS Medika Permata Hijau), dan Indri Astuti (perawat RS Medika Permata Hijau), sama Abdul Aziz, (satpam RS Medika Permata Hijau)," kata Jaksa KPK Takdir Suhan usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Jumat (18/5/2018).

 berencana menghadirkan kembali sejumlah saksi fakta dalam persidangan Fredrich Yunadi Ilmu Pengetahuan KPK Akan Hadirkan Setya Novanto di Persidangan Fredrich Yunadi
Terdakwa masalah merintangi penyidikan masalah KTP Elektronik, Fredrich Yunadi menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Takdir mengaku sudah mengirim surat pemanggilan semenjak Kamis (17/5/2018). Namun, ia tidak tahu apakah para saksi akan memenuhi panggilan atau tidak. Mereka hanya memanggil sesuai seruan majelis hakim.

Fredrich didakwa dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara pribadi atau tidak pribadi penyidikan, penuntutan dan investigasi di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam kasus korupsi.

Ia didakwa bersama dengan Dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo, telah melaksanakan rekayasa medis terhadap Setnov dikala insiden kecelakaan November 2017 lalu.

Dalam dakwaan, Fredrich disebut sebagai orang yang berinisiatif untuk meminta pemberian kepada Bimanesh, semoga Setnov sanggup dirawat di RS Medika Permata Hijau.

Pemilik kantor Yunadi and Associates itu menemui Bimanesh dengan mendatangi kediamannya di Apartemen Botanica Tower 3/3A Jalan Teuku Nyak Arief Nomor 8 Simprug, Jakarta Selatan.

Baca :

Kedatangan tersebut untuk memastikan semoga Setya Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau. Bimanesh pun menyetujui seruan Fredrich dan mengondisikan proses perawatan sampai rekam medis Novanto.

Atas perbuatannya Fredrich dan Bimanesh didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (Tirto)

Ilmu Pengetahuan Auditor Utama Bpk Divonis Tujuh Tahun Penjara Dari Tuntutan Jpu 15 Tahun

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan pidana penjara selama tujuh tahun kepada mantan Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rochmadi Saptogiri. Putusan ini lebih rendah tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 15 tahun penjara.

Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Rochmadi Saptogiri divonis tujuh tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider empat bulan kurungan alasannya terbukti mendapatkan suap dan tindak pidana pembersihan uang pasif.

 Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi  Ilmu Pengetahuan Auditor Utama BPK Divonis Tujuh Tahun Penjara Dari Tuntutan JPU 15 Tahun
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Eko Putro Sandjojo, ketika menjadi saksi kasus suap auditor BPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (20/9/2017). Mendes Eko Putro Sandjojo bersaksi untuk dua anak anak buahnya yang terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK, yakni Inspektur Jenderal nonaktif Kementerian Desa dan PDTT Sugito, dan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan Kementerian Desa, Jarot Budi Prabowo. AKTUAL/Munzir
“Mengadili, menyatakan terdakwa Rochmadi Saptogiri tidak terbukti sah dan meyakinkan dalam penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pembersihan uang sebagaimana dakwaan kumulatif kedua dan ketiga membebaskan kumlatif kedua dan ketiga. Menyatakan terdakwa Rochmadi Saptogiri terbukti bersalah melaksanakan korupsi secara gotong royong dalam dakwaan kesatu pertama dan tindak pidana pembersihan uang dalam dakwaan kumulatif ke-4,” kata Ketua Majelis Hakim Ibnu Basuki Wibowo dalam sidang pembacaan putusan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (5/3).

Vonis yang dijatuhkan oleh hakim Ibnu Basuki Widodo, Siti Basariah, Sigit Hendra Binaji, Sofialdi dan Hastopo itu jauh lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut semoga Rochmadi divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp200 juta.

“Dipidana penjara selama tujuh tahun dan denda Rp300juta, bila tidak dibayar diganti kurungan empat bulan,” tambah hakim Ibnu.

Dalam dakwaan pertama, Rochmadi dinilai terbukti mendapatkan suap Rp240 juta dari Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito dengan perantaraan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Itjen Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo semoga Kemendes PDTT menerima Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016.

Uang suap berasal dari para Sesditjen, Sesbadan, Sesitjen serta Karo Keuangan dan BMN. Sugito meminta adanya “atensi atau perhatian” dari seluruh Unit Kerja Eselon I (UKE 1) kepada Tim Pemeriksa BPK berupa tunjangan uang dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp200 jut- Rp300 juta.

“Apa pun bentuk dan tujuan tunjangan uang itu bertentangan dengan kiprah dan kewajiban terdakwa untuk tidak melaksanakan korupsi, kongkalikong dan nepotisme,” tambah anggota majelis hakim Hastopo.

Uang diserahkan dalam dua tahap yaitu sebesar Rp200 juta pada 10 Mei 2017 oleh Jarot melalui Ali Sadli. Sedangkan tunjangan selanjutnya pada 26 Mei 2017 sebesar Rp40 juta melalui Jarot yang juga menyampaikannya kepada Ali Sadli.

Sehingga dakwaan pertama Rochmadi terbukti yaitu dari pasal 12 ayat 1 abjad a jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 ke-1 KUHP.

Perbuatan lain Rochmadi yang terbukti ialah dakwaan keempat yaitu dari pasal 5 UU 8 tahun 2010 wacana Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengenai mendapatkan atau menguasai harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Harta tersebut ialah 1 unit kendaraan beroda empat Honda Odyssey warna white orchid pearl tersebut ialah berasal dari perolehan yang tidak sanggup dipertanggungajwabkan secara sah yaitu dari hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan Ali Sadli yang menyimpang dari profil penghasilan Ali semenjak 2014 hingga 2017.

“SIM disamarkan dengan KTP Andika Ariyanto yang fotonya menyerupai dengan wajah terdakwa menambah praduga penyamaran identitas terdakwa. Tidak logis alasannya kendaraan beroda empat sudah berhari-hari di rumah terdakwa dan pengembalian kendaraan beroda empat bertepatan dengan OTT terdakwa, dan kendaraan beroda empat bukan dikembalikan ke Ali Sadli tapi ke show room padahal kendaraan beroda empat dari Ali Sadli yang diperoleh tidak secara sah,” kata anggota majelis hakim Sigit Herman Binaji.

Mobil tersebut pun oleh majelis hakim diperintahkan dirampas oleh negara.

Tidak terbukti Sedangkan perbuatan Rochmadi yang tidak terbukti ialah mendapatkan gratifikasi uang Rp600 juta ditambah 90 ribu dolar AS yang seluruhnya senilai Rp1,723 miliar yang kemudian dipakai untuk pembayaran sebuah1 bidang tanah kavling seluash 329 meter persegi di Kebayoran Essence Blok KE No I-15 Bintaro Tangerang.

“Dari uang 90 ribu dolar AS dan Rp600 juta yang jikalau diuangkan Rp1,73 miliar kemudian digenapkan Rp3,5 miliar untuk membeli tanah kavling di Kebayoran Essence bila dihubungkan dengan profil keuangan 2009-2015 total Rp3,5 miliar sudah sesuai dengan penghasilan yang sah,” tambah hakim Sigit menyerupai dilansir dari Aktual.

Menurut hakim, Rochmadi sanggup menandakan uang yang ia peroleh dari penghasilan lain meski tidak dilaporkan ke dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2009-2015.

“Ada perbedaan LHKPN perhitungan terdakwa dengan yang didakwakan penuntut umum berdasarkan catatan Kepala Bagian Perbendaharaan BPK Sri Rahayu Pantjaningrum sebesar Rp1,06 miliar. Penghasilan terdakwa lebih besar yang berasal dari acara operasional, bunga bagi hasil tabungan dan deposito, sewa tanah dan rumah dari luar BPK, gaji narasumber, penjualan aset kendaraan beroda empat Aerio, rumah di parung, bagi hasil kolaborasi rotan penjualan logam mulia dan watu mulia yang tidak dihitung sebagai penghasilan. Hakim berkesimpulan terdakwa telah sanggup menandakan terdakwa tidak mendapatkan gratifikasi yang didakwakan JPU, unsur gratifikasi tidak terpenuhi” ungkap hakim Sigit.

Dakwaan ketiga juga dinilai tidak terbukti yaitu tindak pidana pembersihan uang aktif dengan membeli satu bidang tanah seluas 329 meter persegi di Kebayoran Essence Tangerang Selatan seharga Rp3,5 miliar selanjutnya pada 2016 dibangun di atas tanah tersebut dengan biaya sekitar Rp1,1 miliar yang berdasarkan JPU berasal dari penerimaan gratifikasi.

“Untuk pembeli tanah kavling bukan dari tindak pidana tapi berasal dari penghasilan yang sah, jadi unsur harta yang patut diduga sebagai tindak pidana tidak terpenuhi, maka unsur selanjutnya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut, dan terdakwa dibebaskan dari dakwaan penuntut umum tersebut,” ungkap hakim Sigit.

Baca :


Artinya, harta Rochmadi berupa satu bidang tanah seluas 329 meter persegi di Kebayoran Essence yang di atasnya sudah dibangun satu bangunan yang ketika ini dalam penyitaan KPK juga dikembalikan kepada Rochmadi.

Uang yang dikembalikan termasuk uang di brankas ruang kerja Rochmadi sebesar Rp1,154 miliar dan 3000 dolar AS dikurangi Rp200 juta yang dinilai terbukti merupakan hasil korpsi.

Atas putusan itu, Rochmadi menyatakan pikir-pikir dan jaksa KPK menyatakan banding.

“Kami sangat menghormati putusan majelis tapi kami pribadi menyatakan banding,” kata jaksa Takdir Suhan. (***)