Ilmu Pengetahuan Aturan : Upaya Menghapus Pasal Penistaan Agama
Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Pasal-pasal penistaan agama sudah memakan banyak korban. Pasal ini bukan hanya mengkriminalkan orang-orang yang dianggap menista agama, tapi juga menimbulkan efek domino yang mengerikan: penganiayaan dan perburuan kelompok minoritas. Seperti terjadi pada orang Syiah dan Ahmadiyah.
Suatu hari, X, seorang sarjana yang kuliah delapan tahun di luar negeri, pulang ke Indonesia. Ia mendadak kaget ketika menemui kemarahan muslim Indonesia di mana saja: “Dalam khotbah Jum'at yang didengarnya seminggu sekali. Dalam majalah Islam dan pidato para mubaligh dan da'i.”
Cerpen yang bercerita ihwal Nabi Muhammad yang turun dari nirwana ke bumi itu menyinggung perasaan umat Islam Indonesia. Jassin dituntut dengan pasal penistaan agama. Penulisnya sendiri tak turut diseret ke tahanan lantaran Jassin melindunginya dengan tak mengungkap identitasnya.
Cerita X di atas dikutip dari esai Abdurrahman Wahid di Tempo, 28 Juni 1982 yang judulnya kemudian menjadi ungkapan ikonik: “Tuhan Tidak Perlu Dibela.”
Tak hanya menuliskan pendapatnya lewat esai, Gus Dur juga bersikap soal pasal penistaan agama. Ia pernah mengajukan uji bahan terhadap UU Nomor 1 ihwal Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, bersama Musdah Mulia, Dawam Raharjo, dan Maman Imanul Haq. Namun, permohonan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi yang ketika itu dipimpin Mahfud MD.
Gus Dur menilai UU itu tidak sesuai dengan Pancasila dan cenderung disalahfungsikan sebagai senjata politik. Selain dianggap tidak perlu lantaran mengganggu kebebasan berpendapat, UU ini juga sudah banyak memakan korban. Jassin hanyalah pembuka.
Di Indonesia ada banyak korban, dan banyak orang serta kelompok yang peduli dan mengajukan uji bahan menyerupai Gus Dur, dan gagal juga. Sebut saja Tajul Muluk, pemimpin Syiah Sampang dan sejumlah LSM macam Masyarakat Setara, dan Demos.
Dari data yang dimiliki Andreas Harsono, peneliti pada Human Rights Watch (HRW), UU itu telah menjerat delapan orang pada masa Soeharto, dan bertambah banyak di rezim SBY sampai mencapai 130-an kasus. Ia juga masih terus memakan korban di kala Jokowi. Basuki Tjahja Purnama, Gubernur Nonaktif DKI Jakarta, juga salah satu yang terjepret pasal karet ini.
Itu sebabnya, pada 21 November kemarin HRW mendesak Presiden Jokowi untuk “mencabut aturan ini dan yang serupa dari Undang-Undang.” HRW menilai pasal penistaan agama di Indonesia telah melanggar hak asasi insan dan konstitusi Indonesia. Selain itu, pasal ini telah digunakan untuk mengkriminalkan kelompok agama minoritas dan agama tradisional. Misalnya, pengusiran yang dilakukan kepada 7 ribu anggota Gafatar atau sebelumnya Ahmadiyah.
Dari Internasional, pasal penistaan di Indonesia yang banyak makan korban tak hanya jadi perhatian HRW. Persatuan Bangsa-Bangsa juga pernah beberapa kali menyurati pemerintah Indonesia untuk mencabut perundangan yang terkait penistaan agama.
Masalah pasal penistaan agama ini rupanya tak hanya terjadi di Indonesia. Di Pakistan, 2012 lalu, seorang gadis 14 tahun ditahan dua ahad dan terancam dieksekusi mati atas tuduhan memperabukan lembaran Al-Quran. Di India, seorang laki-laki dikenai tuduhan penistaan agama lantaran menyangsikan keajaiban patung Kristus di Mumbai.
Di Yunani, seorang laki-laki ditahan dan kena pasal penistaan agama sehabis mengunggah screenshotsebuah laman Facebook lain yang menyindir Nasrani Ortodoks Monk. Desember 2015 lalu, Sudan bahkan mengeksekusi mati 25 laki-laki yang murtad dari agamanya.
Pada 2014 saja, Pew Research mencatat ada 26 persen negara di dunia punya pasal penistaan agama, sementara 13 persen lainnya mengatur kemurtadan. Angka tertinggi tiba dari Afrika dan Timur Tengah. Di sana, 18 dari 20 negara (90 persen) punya pasal penistaan agama, dan sebanyak 14 negara (70 persen) punya UU Kemurtadan. (***)