Showing posts sorted by date for query sesuai-dengan-fungsinya-komnas-ham. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query sesuai-dengan-fungsinya-komnas-ham. Sort by relevance Show all posts

Ilmu Pengetahuan Tindak Pidana Aturan Ketenagakerjaan

Tindak Pidana Hukum Ketenagakerjaan Penyelesaian perselisihan kekerabatan industrial umumnya menjadi pilihan utama bagi pekerja atau serikat pekerja. Namun tak jarang dalam perselisihan itu mengandung unsur pelanggaran pidana, terutama yang dilakukan pengusaha, ibarat pemberangusan atau menonaktifkan aktifitas serikat pekerja (anti union) dan penggelapan upah.

I. PENDAHULUAN

Yang dimaksud dengan tindak pidana (delik) atau berdasarkan Prof. Moeljatno, S.H., perbuatan pidana adalah perbuatan yang dihentikan oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai bahaya (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar ketentuan tersebut, sedangkan berdasarkan Prof. Wirjono Projodikoro, S.H. yang dimaksud dengan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya sanggup dikenakan eksekusi pidana.

Penyelesaian perselisihan kekerabatan industrial umumnya menjadi pilihan utama bagi pekerja a Ilmu Pengetahuan Tindak Pidana Hukum Ketenagakerjaan
Tindak Pidana Hukum Ketenagakerjaan
Adapun yang dimaksud tidak pidana ketenagakerjaan, ialah pelanggaran terhadap aturan-aturan aturan ketenagakerjaan yang pelakunya sanggup dikenakan eksekusi pidana.

Pada umumnya pekerja lebih menentukan masalah perselisihan yang bernuansa pelanggaran pidana lewat ketukan palu di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terlebih dahulu. Setelah itu gres melaporkan masalah pelanggaran pidananya ke pihak kepolisian. Menurut irit Penulis hal ini ialah cara yang terbalik, meski tak sepenuhnya salah, kasus pelanggaran pidana harus lebih didahulukan ketimbang masalah perselisihan. Sebab itu pekerja harus bisa membedakan antara perselisihan dan pelanggaran pidana ketenagakerjaan.

Untuk itu, irit saya sebelum mengadvokasi suatu kasus, seyogyanya perlu melaksanakan bedah masalah dengan melibatkan akademisi. Tujuannya selain sanggup dipetakan antara perselisihan dan pelanggaran, hasilnya sanggup dijadikan senjata dalam melaksanakan advokasi, sarannya.

Sekedar mengingatkan, paket aturan ketenagakerjaan memang membedakan antara pelanggaran dan perselisihan. Pelanggaran terdapat dalam pasal yang sifatnya memaksa (dwingen recht), contohnya ialah pasal yang melarang pengusaha membayar upah pekerja di bawah upah minimum. Salah satu ciri khas dari pasal pelanggaran ialah adanya bahaya hukuman pidana bagi mereka yang melanggar.

Sementara perselisihan diatur dalam pasal-pasal yang sifatnya mengatur (aanvullent recht), contohnya ialah pasal yang melarang penerapan masa percobaan bagi pekerja kontrak. Memang tak ada bahaya hukuman pidana bagi pelanggarnya. Namun demikian biasanya pasal lain sudah mengatur sanksinya, contohnya ialah batal demi aturan masa percobaan bagi pekerja kontrak.

A. Keuntungan dan Kelemahan

Berperkara di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) ternyata tidak menuntaskan masalah, malahan menambah masalah. Buruh bolak-balik ke PHI tidak saja hanya bersidang, tetapi juga untuk mempertanyakan keberlanjutan kasusnya. Akibatnya buruh selalu dirugikan. Hak-hak yang dituntutnya tidak pernah sanggup diperolehnya. Tidak jarang kasus buruh yang diajukan melalui proses PHI, jadinya gantung begitu saja alasannya proses penyelesaian yang sangat lama. Bertahun-tahun penyelesaian kasus belum diputuskan final (incraacht van gewisde) tentu menyebabkan keputus-asaan.

Melihat realitas penyelesaian melalui PHI di atas, maka sesuai dengan UU Ketenagakerjaan (UUK) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan impian buruh untuk mendapatkan keadilan dan kepastian aturan ialah melalui penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan.

UUK menegaskan bahwa institusi yang mempunyai kewenangan melaksanakan penegakan Tindak Pidana Ketenagakerjaan (penyelidikan dan penyidikan) ialah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan (PPK) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Sesuai Pasal 176 UUK PPK/PPNS mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagkerjaan. Untuk menjaga kompetensi dan independesi inilah maka UUK memutuskan bahwa pengangkatan PPK ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan demikian PPK sanggup independen dari pengaruh-pengaruh kebijakan politik yang berkembang di daerah-daerah (termasuk kabupaten/kota). Kaprikornus PPK sanggup "menolak" kepentingan-kepentingan yang dipesan oleh siapapun pejabat di daerahnya.

Bagi Penulis, mengedepankan penyelesaian masalah pelanggaran lebih penting ketimbang perselisihan. Salah satu manfaatnya ialah kalau mendahulukan penyelesaian lewat proses pelanggaran pidana, putusannya bisa dijadikan bukti berpengaruh dalam penyelesaian kasus perselisihannya lewat jalur PHI.

Hal ini akan bagus, alasannya kalau pidananya terbukti, itu akan mempermulus somasi perselisihannya, tapi kalau somasi perselisihannya mulus belum tentu pidananya akan mulus.

B. Kriminalisasi Pekerja

Pengusaha menjadi terdakwa di persidangan pidana bisa jadi ialah hal yang uar biasa. Lain halnya dengan kriminalisasi pekerja yang seolah menjadi sesuatu yang biasa' karena seringnya media memberitakan pekerja yang menjadi terdakwa. Ketika menjadi terdakwa, biasanya pengusaha sudah mem-PHK pekerja terlebih dulu.

Kita menyayangkan perilaku pengusaha yang sudah mem-PHK pekerja dengan tuduhan kesalahan berat sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan aturan tetap yang menyatakan pekerja bersalah. Kita merujuk pada putusan MK yang menganulir Pasal 158 UU No 13 Tentang Ketenagakerjaan.

Kaprikornus konsekuensinya, kasusnya harus diproses pidana dulu demi menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.

Hal ini menyebabkan pengusaha berada dalam posisi terjepit. Sebab, ini prosesnya usang (polisi, jaksa, pengadilan, pengadilan tinggi, MA, -Red) bisa bertahun-tahun. Akibatnya, pengusaha harus membayar upah karyawan yang melaksanakan pidana tadi bertahun-tahun, sehingga pengusaha akan terbebani.

Meski demikian halnya, SE Menakertrans No. 13/2005 memberi kelonggaran dengan alasan mendesak kalau kekerabatan kerja tak mungkin dilanjutkan lagi. Alasan tersebut diadopsi dari Pasal 1603 KUHPerdata. Untuk itu, Penulis menyarankan pengusaha tetap menempuh jalur penyelesaian lewat PHI. Kaprikornus kalau mau mem-PHK terkait kesalahan berat, pakailah proses penyelesaian kekerabatan industrial, sarannya. 

II. JENIS TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Tindak pidana di bidang ketenagakerjaan terdiri dari 2 (dua) dua jenis, yaitu, tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelangggaran.

A. Tindak Pidana Kejahatan

Tindak Pidana Kejahatan, terdiri dari :
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan, yaitu :
  1. Pelanggaran atas Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2) (larangan pekerja gila tanpa ijin dan perorangan yang mempekerjakan pekerja asing);
  2. Pelanggaran Pasal 68 (larangan mempekerjakan anak);
  3. Pelanggaran Pasal 69 ayat (2) (mempekerjakan anak tanpa ijin orang tuanya);
  4. Pelanggaran atas Pasal 74 UUK (larangan mempekerjakan bawah umur pada pekerjaan terburuk) ;
  5. Pelanggaran Pasal 80 (jaminan kesempatan beribadah yang cukup);
  6. Pelanggaran Pasal 82 (cuti alasannya melahirkan dan keguguran);
  7. Pelanggaran Pasal 90 ayat (1) (pembayaran upah di bawah Upah Minimum)
  8. Pelanggaran atas Pasal 167 ayat (5) UUK (buruh yang diphk alasannya pensiun tetapi pengusaha tidak mau membayar pesangonnya 2 x ketentuan Pasal 156 UUK;
  9. Pelanggaran Pasal 143 (menghalang-halangi kebebasan buruh utk berserikat);
  10. Pelanggaran Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7) (mempekerjakan buruh yang tidak bersalah dalam 6 bulan sebelum kasus pidana diadili dan kewajiban pengusaha membayar uang penghargaan masa kerja bagi buruh yang diphk alasannya diadili dalam kasus pidana);
  11. Pasal 183 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, dikenakan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling usang 5 (lima ) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  12. Pasal 184 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (5), dikenakan hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling usang 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  13. Pasal 185 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling usang 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah);
  • Tindak pidana kejahatan atas pelanggaran hak-hak buruh juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 perihal Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu : Pasal 43 ayat (1) Barang siapa menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling usang 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Segala perbuatan pengusaha yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas diancam dengan aturan pidana (penjara) bervariasi sekurangnya satu (1) tahun dan paling usang lima (lima) tahun. Juga ada bahaya denda sekurang-kurangnya 100 juta rupiah dan 500 juta rupiah.

B. Tindak Pidana Pelanggaran

Tindak Pidana Pelanggaran, terdiri dari :
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu :
  1. Pelanggaran Pasal 35 ayat (2) UUK (kewajiban pelaksana penempatan tenaga kerja memberi proteksi semenjak rekruitment hingga penempatan tenaga kerja);
  2. Pelanggaran Pasal 35 ayat (3) UUK (perlindungan oleh pemberi kerja atas kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan mental dan fisik);
  3. Pelanggaran Pasal 37 ayat (2) UUK (lembaga penempatan tenaga kerja tanpa ijin tertulis dari Menteri/pejabat yg ditunjuk);
  4. Pelanggaran Pasal 44 ayat (1) UUK (pemberi tenaga kerja gila wajib menaati standart dan kompetensi yang berlaku);
  5. Pelanggaran Pasal 45 ayat (1) UUK (tenaga kerja WNI sebagai pendamping tenaga kerja asing);
  6. Pelanggaran Pasal 67 ayat (1) UUK (pembayaran pesangon bagi buruh yang pensiun);
  7. Pelanggaran Pasal 71 ayat (2) UUK (syarat-syarat mempekerjakan anak);
  8. Pelanggaran Pasal 76 UUK (perlindungan bagi buruh perempuan);
  9. Pelanggaran Pasal 78 ayat (2) UUK (wajib bayar upah pada jama kerja jembur);
  10. Pelanggaran Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) UUK (waktu istirahat bagi buruh);
  11. Pelanggaran Pasal 85 ayat (3) UUK (pembayaran upah lembur pada hari libur resmi);
  12. Pelanggaran Pasal 144 UUK (mengganti buruh yang mogok dengan buruh yan baru);
  13. Pelanggaran atas Pasal 14 ayat (2) UUK (perijinan bagi forum training kerja swasta);
  14. Pelanggaran Pasal 38 ayat (2) UUK (biaya penempatan tenaga kerja oleh swasta);
  15. Pelanggaran Pasal 63 ayat (1) UUK (PKWT secara lisan, pengusaha wajib menciptakan surat pengangkatan);
  16. Pelanggaran atas Pasal 78 ayat (1) UUK (syarat-syarat mempekerjakan buruh di luar jam kerja);
  17. Pelanggaran Pasal 108 ayat (1) UUK (wajib menciptakan peraturan perusahaan dengan 10 orang buruh);
  18. Pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UUK (masa berlaku Peraturan 2 tahun dan wajib diperbaharui);
  19. Pelanggaran Pasal 114 UUK (peraturan perusahaan wajib dijelaskan kepada buruh dan perubahannya);
  20. Pelanggaran Pasal 148 UUK (syarat-syarat lock out ).
  21. Pelanggaran Pasal 93 ayat (2) UUK (pembayaran upah alasannya sakit/karena kiprah negara/pengusaha tdk mau mempekerjakan buruh sesuai perjanjian/hak istirahat buruh/tugas melaksanakan fungsi serikat);
  22. Pelanggaran Pasal 137 UUK (hak mogok);
  23. Pelangaran Pasal 138 ayat (1) UUK (menghalangi maksud serikat buruh untuk mogok kerja);
  24. Pasal 186 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 338 ayat (1), dikenakan hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling usang 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah);
  25. Pasal 187 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), fsn Pasal 144, dikenakan hukuman pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling usang 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah);
  26. Pasal 188 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148., dikenakan hukuman pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (lseratus ratus juta rupiah).
  • Pelanggaran di bidang ketenagakerjaan juga diatur pada UU No. 3 tahun 1992 perihal Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
  • PelanggaranUU No. 21 tahun 2000 perihal Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Segala perbuatan pengusaha yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas diancam dengan bahaya eksekusi kurungan sekurang-kurangnya 1 bulan dan paling usang 4 bulan. Juga diancam dengan eksekusi denda sekurang-kurangnya 10 juta rupiah dan sebanyak-banyaknya 100 juta rupiah.

III. CARA MENEGAKKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 176 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diamanahkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Untuk itu apabila terjadi tindak pidana ketenagakerjaan, maka yang harus dilakukan ialah melaporkan kepada Pegawai Pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang lingkup kiprah dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Adapun Proses penangan kasus di bidang ketenagakerjaan secara garis besar, sanggup diuraikan sebaai berikut :
  1. PELAPOR melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenagakerja;
  2. Atas dasar laporan PELAPOR tersebut, PEGAWAI PENGAWAS, melaksanakan serangkaian aktivitas pengawasan/pemeriksaan terhadap adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan;
  3. Setelah dilakukan investigasi ternyata ditemukan adanya tidak pidana ketenagakerjaan, maka PEGAWAI PENGAWAS menawarkan Nota Pembinaan;
  4. Apabila sehabis diberi Nota pembinaan ternyata tidak dilaksankan, maka PENGAWAI PENGAWAS menyerahkan perkaranya kepada PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL untuk dilakukan penyidikan;
  5. PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada PENYIDIK POLRI;
  6. Setelah PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL telah selesai melaksanakan penyidikan, kemudian dibentuk Berkas Perkaranya;
  7. Setelah selesai pemberkasan PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL melimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum melalui PENYIDIK POLRI;
  8. Setelah Jaksa Penuntut Umum mendapatkan Berkas Perkara dan menyatakan sudah lengkap, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan kepada Pengadilan Negeri untuk disidangkan. 

IV. KEWENANGAN PPK/PPNS

Kewenangan PPK sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) secara khusus ialah melaksanakan penyidikan di bidang ketenagakerjaan (sama dengan kewenangan dari Penyidik Pejabat POLRI) sebagaimana diatur pada pasal 182 (2) UUK, yaitu :
  1. Melakukan investigasi atas kebenaran laporan serta keterangan perihal tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  2. Melakukan investigasi terhadap orang yang diduga melaksanakan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  3. Meminta keterangan dan materi bukti dari orang atau tubuh aturan sehubungan dengan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  4. Melakukan investigasi atau penyitaan materi atau barang bukti dalam pekara tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  5. Melakukan investigasi atas surat dan/atau dokumen lain perihal tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
  6. Meminta pinjaman tenaga andal dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas penyidikan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan: dan
  7. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang menandakan perihal adanya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan.
Menjalankan kewenangan tersebut tentulah tidak mudah, alasannya yang diawasi ialah pengusaha yang mempunyai kekayaan (uang). Sehingga dengan kekayaan yang dimiliki pengusaha sanggup mensugesti aneka macam pihak demi kepentingannya. Sudah menjadi diam-diam umum, bahwa selama ini pengusaha mengeluarkan biaya siluman demi kelancaran usahanya baik secara terpaksa maupun dengan sukarela.

Oleh alasannya itu dalam menjalankan kiprah dan fungsinya PPK/PPNS harus mempunyai komitment yang berpengaruh dan konsistensi melaksanakan tugas-tugas pengawasannya. Kekecewaan terhadap praktek PHI akhir-akhir ini akan memaksa buruh mencari alternatif untuk menemukan keadilan dan kepastian aturan khususnya mengenai pelanggaran hak-hak buruh sebagaimana diatur oleh UU.

Paran PPK/PPNS tak perlu kuatir atas hal ini, alasannya serikat-serikat buruh pastilah mendukung kerja PPK/PPNS untuk menegakkan pelaksanaan hak-hak buruh yang diabaikan oleh pengusaha selama ini. Begitu banyak pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi selama ini, contohnya : upah dibawah UMP/UMK, buruh tidak didaftarkan menjadi penerima Jamsostek, penggelapan dana jamsostek, dll, tetapi hingga kini sangat jarang (bisa dikatakan tak pernah ada) pengusaha yang diperiksa dan diadili di pengadilan. Tumpuan impian ini tentulah tidak berlebihan kalau ditujukan kepada PPK/PPNS.

V. PERLU KOORDINASI PPK/PPNS DENGAN SERIKAT BURUH

Pengaturan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran di bidang ketenagakerjaan tersebut ialah merupakan suatu peluang bagi kalangan buruh untuk memperjuangkan hak-hak dari kaum buruh. Oleh alasannya itu penggagas buruh jangan terfokus pada penyelesaian ala PPHI, tetapi setiap pelanggaran hak-hak buruh harus didorong melalui jalur pidana yaitu PPK/PPNS ataupun pribadi kepada Polisi Republik Indonesia selaku penyidik tindak pidana sesuai dengan KUHAP (UU No. 8 tahun 1981).

Memang pengaturan tindak pidana dalam UU tersebut belum mengatur semua kejahatan - kejahatan yang terjadi terhadap buruh, ibarat : penerapan outsourcing, kontrak, borongan dan harian lepas secara berlebihan (tidak sesuai dengan UU).

Tetapi apa yang menjadi kewenangan dari PPK/PPNS tersebut, kalau dimaksimalkan akan sanggup menawarkan shock therapy bagi pengusaha untuk menghargai aturan dan buruh sebagai tulang punggung perekonomian suatu bangsa.

Pada prakteknya pelaksanaan kiprah PPK/PPNS tidak mudah. Banyak situasi internal pemerintahan yang menyebabkan kiprah PPK tidak sanggup berjalan. Misalnya : lemahnya dukungan pemerintah mengenai akomodasi dan rendahnya tingkat profesionalisme dan militansi PPK dalam berhadapan dengan pengusaha (sumber : notulensi pendidikan dan training bagi PPNS se Sumut kolaborasi KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 - 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja PPK/PPNS .

Di samping itu dalam melaksanakan tugasnya, PPK diperlukan mau bekerja sama atau meminta informasi dan data-data secara rutin (reguler) kepada pengurus-pengurus serikat buruh tingkat kabupaten/kota termasuk serikat buruh pada tingkat perusahaan. Informasi dan data-data dari serikat-serikat buruh tentu akan menjadi informasi yang sangat penting perihal ada atau tidak adanya pelanggaran hak-hak buruh di perusahaan-perusahaan.

Tugas pengawasan dan penyidikan atas pelanggaran hak-hak dari buruh di perusahaan-perusahaan yang dilakukan oleh PPK tentu akan semakin efektif kalau PPK bisa membangun koordinasi dan kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.

Harapan buruh kepada PPK ketika ini sangat besar untuk berani bertindak tegas kepada pengusaha-pengusaha pembangkang yang selalu melanggar / melawan ketentuan UU. UU menyampaikan pengusaha sanggup dipenjara alasannya melanggar UU, bukan hanya buruh yang sanggup dipenjara. Semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum.

VI. PROSES PERSIDANGAN

 A. Proses Persidangan

Proses persidangan dalam kasus pidana, secara garis besar ialah sebagai berikut :
  1. Sidang Pertama (Pembacaan Dakwaan). Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaannya.
  2. Sidang Kedua (Eksepsi Atas Dakwaan). Terdakwa / Penasehat Hukum Terdakwa membacakan eksepsi/nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
  3. Sidang Ketiga (Tanggapan Atas Eksepsi).
  4. Jaksa Penuntut Umum membacakan jawaban atas eksepsi terdakwa/penasehat aturan terdakwa.
  5. Putusan Sela. Majelis Hakim membacakan Putusan Sela atas eksepsi terdakwa/ penasehat aturan terdakwa.
  6. Pemeriksaan Saksi/Ahli. Dalam persidangan ini diperiksa baik saksi/ahli Verbalisem yang diajukan Jaksa Penuntut Umum maupun saksi adecharge yang diajukan oleh Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
  7. Tuntutan. Jaksa Penuntut Umum membacakan tututan pidana.
  8. Pembelaan. Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan pledooi/ pembelaan atas tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum.
  9. Repliek. Jaksa Penuntut Umum membacakan repliek atas pledooi/ pembelaan Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa.
  10. Dupliek. Terdakwa/Penasehat Hukum Terdakwa membacakan dupliek atas repliek Jaksa Penuntut Umum.
  11. Putusan. Majelis Hakim membacakan putusan hakim.

B. Upaya Hukum

  • Upaya Hukum biasa :
  1. Pemeriksaan Tingkat Banding Pengadilan Tinggi; dan
  2. Kasasi Tingkat Kasasi Mahkamah Agung.
  • Upaya aturan luar biasa :
  1. Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum; dan
  2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. 

Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
  3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
  4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
  5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP).
  6. Surat Edara (SE) Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor : SE-13/MEN/SJ-H/I/2005 Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Uji Materil UU No. 13 Tentang Ketenagakerjaan.

Referensi : 

  1. Cole, Roland A. Industrial Safrty Techniques. Sydney : West Publishing Corporation PTY Ltd,1975’ 
  2. Hammer, Willie. Product Safely Management and Engineering. Englewood Cilffs, N.J. : Prentice-Hall Inc. 1980
  3. Iman Soepomo, 1985, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta.
  4. G. Karta Sapoetra, dan R.G. Widianingsih, 1992, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung.
  5. Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
  6. Zainal Asikin, Agusfian Wahab, Lalu Husni, Zaeni Asyhedie, 2004, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
  7. Notulensi pendidikan dan training bagi PPNS se Sumut kolaborasi KOMNAS HAM dan KPS di Hotel Garuda Plaza Medan tgl 30 - 31 Juli 2007). Untuk itu, pemerintah perlu serius mendukung dan membenahi kinerja PPK/PPNS

Ilmu Pengetahuan Sesuai Dengan Fungsinya, Komnas Ham Minta Pelanggaran Ham Berat Tak Masuk Kuhp

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta)  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merupakan sebuah forum Negara yang dibuat pada tahun 1993 dengan Keputusan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 wacana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kemudian pada tahun 1999, keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia didasarkan pada Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 wacana Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 wacana Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mempunyai tujuan sebagai berikut:
  1. mengembangkan kondisi yang aman bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, Undang Undang Dasar 1945 dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM;
  2. meningkatkan dukungan & penegakan HAM untuk berkembangnya pribadi insan Indonesia seutuhnya & kemampuannya untuk berpartisipasi dalam aneka macam bidang kehidupan.

 merupakan sebuah forum Negara yang dibuat pada tahun  Ilmu Pengetahuan  Sesuai Dengan Fungsinya, Komnas HAM Minta Pelanggaran HAM Berat Tak Masuk KUHP
Pelanggaran HAM berat bila dimasukkan dalam kitab undang-undang hukum pidana akan menjadi tindak pidana umum, bukan tindak pidana khusus.
Untuk mencapai tujuannya yang tercantum didalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 wacana Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melakukan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi wacana HAM.

Untuk melakukan fungsi Komnas HAM dalam hal pengkajian dan penelitian, Komnas HAM mempunyai kiprah dan wewenang sebagai berikut:
  1. pengkajian & penelitian aneka macam instrumen internasional HAM dengan tujuan untuk memperlihatkan saran saran wacana kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
  2. pengkajian & penelitian aneka macam peraturan perundang seruan untuk memperlihatkan rekomendasi wacana pembentukan, perubahan & pencabutan peraturan perundang seruan yang berkaitan dengan HAM;
  3. penerbitan hasil pengkajian & penelitian;
  4. studi kepustakaan, studi lapangan & studi banding ke negara lain mengenai HAM;
  5. pembahasan aneka macam problem yang berkaitan dgn perlindungan, penegakan & pemajuan HAM;
  6. kerjasama pengkajian & penelitian dengan organisasi, forum / pihak lain nya, baik pada tingkat nasional, regional, ataupun tingkat internasional dalam bidang HAM.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta kepada panitia kerja (panja) RUU kitab undang-undang hukum pidana untuk tidak memasukkan Pasal pelanggaran HAM berat dalam KUHP.

"Pidana khusus tak perlu diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana kaena akan membatasi banyak hal dan budi hukumnya berlainan," kata Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam kepada Tirto, Kamis (8/2/2018).

Menurut Anam, pelanggaran HAM berat bila dimasukkan dalam kitab undang-undang hukum pidana akan menjadikannya sebagai tindak pidana umum, bukan tindak pidana khusus. Padahal, kedua jenis tindak pidana tersebut mempunyai batas busuk yang berlainan dalam penindakannya.

"Dalam aturan biasa [kedaluwarsa] 20 tahun. Dalam konteks pelanggaran HAM berat itu enggak ada angkanya," kata Anam.

Anam mencontohkan masalah pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Pol Pot yang penindakannya tidak busuk meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia dan pengadilan terhadapnya terus berjalan.

Karena, berdasarkan Anam, menindak pelanggaran HAM berat tidak hanya soal jeratan eksekusi bagi pelaku, melainkan juga ada proses pencarian keadilan bagi korban.

"Disebut pelanggaran HAM berat sebab ada nilai dasar insan secara kodrati yang dilanggar oleh orang lain, oleh kekuasaan macam-macam, yang seharusnya tidak diperbolehkan. Makanya disebut melanggar, bukan dikatakan kejahatan," kata Anam.

Lagi pula, kata Anam, pemerintah tidak akan bisa menangangi pelanggaran HAM berat kalau masuk dalam KUHP. Karena, pelanggaran HAM berat itu juga mencakup pelanggaran atas HAM dalam seluruh aspek kehidupan insan yang dilakukan secara sistemik.

"Memang mau kemudian semua dimaknai melanggar HAM berat? Mau ditangkap semua atas pelanggaran HAM berat? Enggak, kan?" kata Anam.

Maka, dalam hal ini, Anam mengusulkan sebaiknya pemerintah dan dewan perwakilan rakyat mendorong revisi atas UU No. 26 Tahun 2000 wacana pengadilanHAM yang ketika ini menurutnya masih kurang tepat sebab belum memasukkan empat poin statuta Roma di dalamnya.

"Harusnya semangat untuk mendiskusikan pelanggaran HAM berat itu ialah semangat merevisi UU 26 Tahun 2000. Bukan menimbulkan pasal tersebut masuk ke KUHP. Makara UU-nya khusus dan diatur secara komprehensif," kata Anam.

Dengan begitu, kata Anam, yang akan masuk tidak hanya pasal-pasal pokok saja. Melainkan juga pasal-pasal lain yang masuk dalam penindakan HAM berat juga bisa masuk.

Selain itu, kata Anam, masuknya pelanggaran HAM berat di kitab undang-undang hukum pidana akan menciptakan Komnas HAM kehilangan fungsi penindakan. Karena, menurutnya, nomenklatur penindakan kitab undang-undang hukum pidana ialah kepolisian.

"Kalau di UU 26 Tahun 2000, penyidikan dan penindakan oleh Komnas HAM pribadi ke kejaksaan," kata Anam ketika dikutip dari Tirto.

Adapun pernyataan ini disampaikan Anam sebagai respons atas usulan pemerintah kepada dewan perwakilan rakyat untuk memasukkan pelanggaran HAM berat sebagai salah satu pasal di kitab undang-undang hukum pidana gres ketika rapat tim perumus RUU KUHP, Senin (5/2/2018) lalu.

Pemerintah menganggap perlu ada pasal pelanggaran HAM berat sebagai bentuk implikasi statuta Roma mengenai pelanggaran HAM berat, yakni untuk tindakan genosida, agresi, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Baca :

Terpisah, anggota Panja RUU KUHP, Taufiqulhadi menyatakan semua usulan pemerintah tersebut akan dimasukkan dalam KUHP. "Semuanya masuk," kata Taufiqulhadi di kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (8/2/2018).

Menurutnya, masuknya seluruh usulan pemerintah memperlihatkan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi dan berideologikan Pancasila telah mengadopsi statuta Roma.

"Enggak perlu pasal khusus. Justru mereka [Komnas HAM] itu harusnya mendorong supaya tidak dipisahkan. Jangan curiga begitulah," kata Taufiqulhadi. (***)

Ilmu Pengetahuan 23 Calon Hakim Agung Lolos Seleksi Kualitas Komisi Yudisial

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Komisi Yudisial (KY) meluluskan 23 calon hakim agung (CHA) dari 69 penerima seleksi kualitas CHA Periode II Tahun 2017-2018. Penetapan kelulusan seleksi kualitas tersebut ditetapkan dalam Rapat Pleno KY, Rabu (28/2/2018) di Gedung KY, Jakarta Pusat.

"CHA yang lolos terdiri dari 18 orang dari jalur karier dan 5 orang dari jalur nonkarier," demikian berdasarkan Juru Bicara KY Farid Wajdi, dalam keterangan pers yang dilansir dari Tirto, Rabu (28/2/2018).

 penerima seleksi kualitas CHA Periode II Tahun  Ilmu Pengetahuan 23 Calon Hakim Agung Lolos Seleksi Kualitas Komisi Yudisial
Calon Hakim Agung Hidayat Yodi Martono, M Yunus Wahab dan Manao bersiap dikala mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/9/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Berdasarkan kamar yang dipilih, sebanyak 6 orang lolos seleksi di kamar Agama, 7 orang lolos seleksi di kamar Perdata, 7 orang lolos seleksi di kamar Pidana, dan 3 orang lolos seleksi di kamar Militer. Namun, tidak ada CHA yang lolos seleksi kualitas di kamar Tata Usaha Negara.

Sementara berdasarkan kategori jenis kelamin, sebanyak 21 orang calon merupakan pria dan 2 orang wanita yang lolos. Dilihat dari profesi CHA yang lulus seleksi kualitas, sebanyak 18 orang hakim karir, 3 orang akademisi, dan 2 orang berprofesi lainnya.

Berdasarkan kategori strata pendidikan, sebanyak 11 orang bergelar master (S2) dan 12 orang bergelar doktor (S3).

Dalam melaksanakan evaluasi seleksi kualitas, KY menilai karya profesi masing-masing penerima yang identitasnya telah disamarkan terlebih dahulu.

Selain itu juga dilakukan evaluasi terhadap studi kasus Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan hasil karya tulis di tempat, penyelesaian studi kasus aturan dan tes objektif. Kemudian nilai dari masing-masing tes itu dikumulasikan. Untuk memilih kelulusan, maka ditetapkan batas nilai minimum kelulusan.

Peserta yang nilainya memenuhi batas nilai minimum, maka dinyatakan lulus seleksi kualitas.

Pengumuman hasil seleksi kualitas CHA sanggup dilihat di website KY yakni mulai 28 Februari 2018, dan disampaikan surat pemberitahuan kepada pengusul CHA. Selanjutnya, bagi CHA yang memenuhi lolos seleksi kualitas berhak mengikuti Tahap III, yakni seleksi kesehatan dan kepribadian.

Tes kesehatan akan dilaksanakan pada 2-3 April 2018 di RSPAD Gatot Subroto. Untuk assessment kompetensi dan kepribadian akan dilaksanakan pada 4-5 April 2018. Materi yang diujikan pada seleksi kepribadian meliputi: assessment kompetensi dan kepribadian, rekam jejak, dan masukan dari masyarakat.

"Dalam rangka penelusuran rekam jejak, KY bekerja sama dengan KPK dan PPATK terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) serta anutan dana yang tidak masuk akal dari CHA," kata Farid. Untuk itu, KY mengharapkan partisipasi masyarakat (dengan identitas yang jelas) semoga menunjukkan informasi atau pendapat secara tertulis perihal integritas, kapasitas, perilaku, dan aksara CHA yang dinyatakan lolos seleksi kualitas.

Baca :


Informasi atau pendapat tertulis dibutuhkan diterima Tim Seleksi Calon Hakim Agung Republik Indonesia paling lambat Kamis (29/3/2018) pukul 16.00 WIB, di alamat e-mail: rekrutmen@komisiyudisial.go.id atau alamat Komisi Yudisial Republik Indonesia (Tim Seleksi CHA), Jl. Kramat Raya No. 57, Telp: (021) 3905876-77/31903661 Fax: (021) 31903661, Jakarta Pusat (10450).

Seleksi ini dilakukan untuk mengisi kekosongan delapan jabatan hakim agung di MA yang terdiri dari: 1 orang di kamar Agama, 3 orang di kamar Perdata, 1 orang di kamar Pidana, 2 orang di kamar Militer dan 1 orang kamar Tata Usaha Negara (yang mempunyai keahlian aturan perpajakan). (***)

Ilmu Pengetahuan Mahfud Md: Substansi Konstitusi Untuk Lindungi Ham

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, menyampaikan konstitusi mempunyai dua substansi yang salah satunya yakni derma hak asasi manusia.

“Substansi dari konstitusi itu ada dua yaitu derma terhadap hak asasi insan dan sistem pemerintahan,” kata Mahfud di Bogor, Selasa (27/2).

Mahfud menjelaskan hal itu ketika menawarkan paparan dalam program Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Wartawan Indonesia yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi berhubungan dengan Dewan Pers.

 Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD Ilmu Pengetahuan Mahfud MD: Substansi Konstitusi Untuk Lindungi HAM
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
“Sistem pemerintahan sebagai substansi dari konstitusi, dibuat untuk melindungi hak asasi manusia,” terang Mahfud.

Sistem pemerintahan dijelaskan Mahfud berfungsi untuk menawarkan batasan pada kekuasaan terutama terkait dengan lingkup dan waktu dari kekuasaan tersebut.

Oleh alasannya yakni itu konstitusi disebut sebagai induk aturan di sebuah negara, lantaran seluruh problem aturan di Indonesia akan dikembalikan kepada konstitusi, terang Mahfud.

“Karena substansinya yakni hak asasi insan dan sistem pemerintahan, maka konstitusi ini menjadi aturan tertinggi atau induk hukum,” tambah Mahfud.

Baca :


Mahfud menjelaskan konstitusi di Indonesia juga tidak sanggup dilepaskan dari demokrasi, mengingat demokrasi yakni bab dari hak asasi manusia.

“Konstitusi itu simbol dari kedaulatan rakyat, ia menyeimbangkan antara demokrasi dan nomokrasi,” kata Mahfud ketika dikutip dari Aktual. (***)

Ilmu Pengetahuan Acta Resmi Laporkan Pertemuan Psi-Presiden Joko Widodo Ke Ombudsman

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) resmi melaporkan pertemuan pengurus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Kamis (1/3) kepada Ombudsman RI, Senin (5/3).

Wakil Ketua ACTA, Ali Lubis yang memimpin laporan itu ke Ombudsman RI, menilai pertemuan itu diduga terjadi maladministrasi.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, secara umum maldministrasi ialah sebuah sikap atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, memakai wewenang untuk tujuan lain dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara.

 resmi melaporkan pertemuan pengurus Partai Solidaritas Indonesia  Ilmu Pengetahuan ACTA Resmi Laporkan Pertemuan PSI-Presiden Jokowi ke Ombudsman
Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) memberikan bukti pelaporan yang resmi melaporkan pertemuan pengurus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara,
pada Kamis (1/3) kepada Ombudsman RI, Senin (5/3).
Mereka menganggap pertemuan yang dilakukan pengurus PSI dengan Presiden Jokowi itu melanggar pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 wacana Ombudsman. Fokus pelaporan mereka yakni pada insiden pertemuan.

“Istana ialah sentra pengendalian pelayanan publik di seluruh Indonesia, sementara Presiden ialah penyelenggara negara, sehingga terang merupakan maladministrasi. Fokus kita ialah pertemuannya,” katanya.

Namun demikian, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Ombudsman RI terkait jenis pelaporannya.

“Kami akan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Ombudsman. Nanti pihak Ombudsman yang memilih apakah yang melaksanakan maladministrasi ini penyelenggara negaranya atau partainya. Tapi yang niscaya penyelenggara negaranya. Nanti Ombudsman yang akan memilih itu,” kata Ali ketika dikutip dari Aktual.

Barang bukti yang diajukan ke Ombudsman, yakni berupa gosip di media massa wacana pertemuan itu.

“Kami berharap Ombudsman dapat bergerak cepat merespon laporan kami ini sebagaimana halnya Ombudsman merespon dugaan maldiministrasi pada kasus-kasus lain menyerupai masalah Pasar Tanah Abang dan lain-lain,” katanya.

Sebelumnya, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung mengatakan, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Kamis (1/3) di Istana Kepresidenan hanya sebatas silaturahim.

“Tentunya ini dalam rangka silaturahim, tidak ada bahan yang sifatnya khusus alasannya ialah niscaya Presiden memahami bahwa Istana bukan untuk acara bersifat politik praktis,” ujar Pramono ketika berada di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Sabtu (3/3).

Baca :


Pramono memberikan hal tersebut, menanggapi adanya kritik para tokoh maupun pengamat yang menyebut pertemuan itu akan menyebabkan kecurigaan pihak-pihak tertentu.

Menurut dia, pertemuan itu masuk akal dilakukan antara Presiden dengan pengurus partai politik, namun tentunya dengan batasan-batasan tertentu.

“Bahwa silaturahim sebagai Presiden tetap diperbolehkan,” katanya. (***)

Ilmu Pengetahuan Jago Yang Dihadirkan Fredrich: Korupsi Bukan Kejahatan Luar Biasa

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Ahli perundang-undangan Ahmad Yani dihadirkan terdakwa Fredrich Yunadi dalam persidangan lanjutan masalah dugaan perintangan penyidikan masalah korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto.

Dalam persidangan, Ahmad mengatakan, masalah korupsi tidak termasuk kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime layaknya masalah terorisme dan narkoba.

undangan Ahmad Yani dihadirkan terdakwa Fredrich Yunadi dalam persidangan lanjutan masalah d Ilmu Pengetahuan Ahli yang Dihadirkan Fredrich: Korupsi Bukan Kejahatan Luar Biasa
Terdakwa masalah merintangi penyidikan masalah KTP Elektronik, Fredrich Yunadi menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
"Sesungguhnya pandangan aku korupsi itu sendiri juga tidak termasuk tindak pidana luar biasa," kata Ahmad di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/5/2018).

Selain itu, Ahmad juga mengatakan, pasal 21 UU Tipikor atau pasal obstruction of justice (perbuatan menghalang-halangi proses penegakan hukum) yang disangkakan untuk Fredrich bukanlah tindak pidana korupsi utama.

Dalam kesempatan itu, Ahmad juga mempersoalkan masalah politikus Partai Hanura, Miryam S. Haryani yang divonis menunjukkan keterangan palsu terkait masalah korupsi e-KTP. Menurut Ahmad, masalah menunjukkan keterangan palsu sanggup masuk dalam pidana umum.

"Saya melihat bahwa ia [Miryam] bukan tipikor. masalah yang didakwakan pertama menunjukkan keterangan palsu, alasannya ia menunjukkan keterangan palsu maka ia masuknya peradilan umum," kata Ahmad.

Mendengar pernyataan tersebut, jaksa KPK Roy eksklusif mengonfirmasi mengenai isi undang-undang KPK yang menyatakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Selain itu, Jaksa juga mempertanyakan posisi Ahmad ketika menjadi anggota dewan perwakilan rakyat Komisi III, sebuah komisi yang mengurus forum hukum, salah satunya KPK.

Menurut Ahmad, KPK dibuat alasannya penegak aturan belum optimal dalam memberantas korupsi. Selain itu, kata dia, posisi KPK juga hanya berfokus pada supervisi daripada penindakan korupsi.

"Oleh alasannya itu diletakkan betul, sadar betul pembentukan UU pada waktu itu meletakkan betul fungsi KPK pada aksara a dalam hal ini melaksanakan koordinasi. Kenapa ia diletakkan pada aksara a alasannya sudah ada institusi penegak aturan yang lain," kata Ahmad ketika dikutip dari Tirto.

Jaksa lalu bertanya, apakah pandangan Ahmad sama dengan pandangan semua pembentuk undang-undang.

"[itu] pandangan aku [pribadi]," kata Ahmad.

Dalam masalah ini, Fredrich Yunadi didakwa dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara eksklusif atau tidak eksklusif penyidikan, penuntutan dan investigasi di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam kasus korupsi.

Dia didakwa bersama dengan Dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo telah melaksanakan rekayasa medis terhadap Setya Novanto ketika bencana kecelakaan. Kala itu, Fredrich berstatus sebagai pengacara Novanto.

Dalam dakwaan, Fredrich disebut sebagai orang yang berinisiatif untuk meminta derma kepada Bimanesh semoga Setnov sanggup dirawat di RS Medika Permata Hijau.

Pemilik kantor Yunadi and Associates itu mendatangi kediaman Bimanesh di Apartemen Botanica Tower 3/3A Jalan Teuku Nyak Arief Nomor 8 Simprug, Jakarta Selatan untuk memastikan semoga Setya Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau.

Baca :

Bimanesh menyetujui ajakan Fredrich dan mengondisikan proses perawatan sampai rekam medis Novanto.

Atas perbuatannya Fredrich dan Bimanesh didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (***)