Showing posts sorted by date for query mahfud-md-substansi-konstitusi-untuk. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query mahfud-md-substansi-konstitusi-untuk. Sort by relevance Show all posts

Ilmu Pengetahuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Dalam peraturan perundang-undangan, terdapat landasan aturan dalam terbentuknya peraturan perundang-undangan.

Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma aturan dibuat oleh forum negara atau pejabat berwenang dan mengikat secara umum atau ditetapkan oleh forum negara atau pejabat yang berwenang melalui mekanisme yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
 
 terdapat landasan aturan dalam terbentuknya  Ilmu Pengetahuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Peraturan perundang-undangan memuat aturan dan mekanisme kekerabatan antarwarga negara, antara warga negara dan negara, serta antara warga negara dengan pemerintah (pusat dan daerah), dan antarlembaga negara.

Peraturan perundang-undangan nasional yakni suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah suatu negara, menyerupai negara Indonesia. Jadi, peraturan perundang-undangan nasional yakni aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang untuk dipatuhi oleh seluruh warga negara dalam lingkup nasional. Oleh lantaran itu, peraturan perundang-undangan berlaku bagi semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali.

Peraturan perundangan ditujukan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh lantaran itu, semua warga negara wajib menaati peraturan perundang-undangan.

Bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, maka perlu dibuat peraturan yang memuat mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat segala aspek dalam forum yang berwenang untuk membetuk peraturan perundang-undangan. Pasal 22A Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dengna undang-undang. Selanjutnya, dijabarkan dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 12. Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dijelasan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
  • Pembentukan peraturan perundang-undangan yakni pembuatan peraturan perundang-undangan yang meliputi tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, legalisasi atau penetapan, dan pengundangan.
  • Peraturan perundang-undangan yakni peraturan tertulis yang memuat norma aturan yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh forum negara atau pejabat yang berwenang melalui mekanisme yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
  • Program legislasi nasional yang selanjutnya disebut prolegna yakni instrumen perencanaan kegiatan pembentukan peraturan tempat provinsi atau peraturan tempat kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
  • Program legislasi tempat yang disebut dengan progleda yakni instrumen perencanaan kegiatan pembentukan undang-undang yang disusun secara bersiklus terpadu dan sistematis.
  • Pengundangan yakni penempatan peraturan perundang-undangan dalam forum negara Republik Indonesia, gosip negara Republik Indonesia, suplemen gosip negara Republik Indonesia, forum daerah, suplemen lembaran tempat atau gosip daerah.
  • Materi muatan peraturan perundang-undangan yakni materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan jenis, fungsi dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan ini dikeluarkan oleh forum yang berwenang atau legislatif. Dengan demikian, terdapat struktur atau tata perundang-undangan dalam sebuah negara. Pada peraturan perundang-undanga yang dikeluarkan oleh forum yang lebih rendah harus mengacu atau dihentikan bertentangan dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh forum yang lebih tinggi. Contohnya, Peraturan Daerah provinsi yang mengatur wacana pendapatan tempat dihentikan bertentangan dengan UU yang ditetapkan forum perwakilan rakyat di pusat.

Semua peraturan perundang-undangan mempunyai sifat dan ciri-ciri, yaitu sebagai berikut :
  • Peratran perundang-undangan dalam wujud peraturan tertulis,
  • Peraturan perundang-undangan dibentuk, ditetapkan, dan di keluarkan oleh forum negara atau pejabat yang berwenang baik di tingkat sentra maupun didaerah,
  • Peraturan perundang-undangan berisi aturan contoh tingkah laris atau norma hukum,
  • Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum dan menyeluruh.

A. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Perpu adalah abreviasi dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau disingkat Perpu atau Perppu). Perpu yakni Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Perpu ditandatangani oleh Presiden. Setelah diundangkan, Perpu harus diajukan ke dewan perwakilan rakyat dalam persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU wacana Penetapan Perpu Menjadi Undang-Undang. Pembahasan RUU wacana penetapan Perpu menjadi Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. dewan perwakilan rakyat hanya sanggup mendapatkan atau menolak Perpu.

Jika Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU wacana Pencabutan Perpu tersebut, yang sanggup pula mengatur segala akhir dari penolakan tersebut.

Dalam (Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan), yang harus segera diatasi, lantaran pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang relative lama. “noodverordeningsrecht” atau “hak Presiden untuk mengatur kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya, tetapi cukup apabila berdasarkan keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak dan dibutuhkan peraturan yang mempunyai derajat Undang-Undang. Dan PERPU tidak sanggup ditangguhkan hingga dewan perwakilan rakyat melaksanakan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut. Jangka waktu berlakunya PERPU ialah terbatas, lantaran harus dimintakan persetujuan oleh dewan perwakilan rakyat untuk dijadikan Undang-Undang ataukah dicabut.

Kedudukan Perrpu dalam hirarki peraturan perundang-undangan yakni sederajat dengan Undang-Undang. Demikian pula, materi muatan yang diatur dalam Perpu sama dengan materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kewenangan Presiden untuk membentuk Perpu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, hanya sanggup dilaksanakan apabila terdapat keadaan yang genting atau keadaan yang memaksa. Dengan demikian, Presiden tidak perlu menunggu persetujuan dari dewan perwakilan rakyat untuk membentuk Perrpu.

Namun sehabis Perpu disahkan, Presiden harus mengajukan kembali Perrpu tersebut dalam bentuk rancangan Undang-Undang wacana penetapan Perpu menjadi Undang-Undang kepada DPR. Pengajuan Perpu kepada dewan perwakilan rakyat harus dilakukan dalam persidangan berikutnya sehabis Perpu disahkan oleh Presiden. Yang dimaksud dengan persidangan berikutnya yakni masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang diantaranya hanya terdapat satu masa reses.

Apabila rancangan Undang-Undang wacana Penetapan Perrpu menjadi Undang-Undang ditolak oleh DPR, maka Perrpu tersebut tidak sanggup berlaku lagi. Untuk itu, Presiden harus mengajukan rancangan Undang-Undang wacana pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang juga sanggup memuat pengaturan terhadap segala akhir yang timbul dari penolakan perubahan Peerpu menjadi Undang-Undang.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk memutuskan PERPU yaitu :
  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhanmendesak untuk menuntaskan kasus aturan secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan aturan tersebut tidak sanggup diatasi dengan cara menciptakan Undang-Undang secara mekanisme biasa lantaran akan memerlukan waktu yang cukup usang sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

B. Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) intinya sama dengan fungsi dari undang-undang. Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, Undang-undang dibuat oleh Presiden gotong royong dengan dewan perwakilan rakyat dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya yakni Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“Perpu”) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) :
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak memutuskan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Penetapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 wacana Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”)yang berbunyi :
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) merupakan suatu peraturan yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang. PERPU ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang harus segera diatasi, lantaran pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang relative lama.

Noodverordeningsrecht” atau “hak Presiden untuk mengatur kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya, tetapi cukup apabila berdasarkan keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak dan dibutuhkan peraturan yang mempunyai derajat Undang-Undang. Dan PERPU tidak sanggup ditangguhkan hingga dewan perwakilan rakyat melaksanakan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut.

Jangka waktu berlakunya PERPU ialah terbatas, lantaran harus dimintakan persetujuan oleh dewan perwakilan rakyat untuk dijadikan Undang-Undang ataukah dicabut.

  1. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya,
  2. Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945,
  3. Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya,
  4. Pengaturan di bidang materi konstitusi.
Fungsi Perpu yakni mengatur lebih lanjut sesuatu substansi dalam keadaan hal-ihwal kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, dengan ketentuan sebagai berikut:
  • Perpu harus diajukan ke dewan perwakilan rakyat dalam persidangan yang berikut;
  • DPR sanggup mendapatkan atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan;
  • Jika ditolak dewan perwakilan rakyat Perpu tersebut harus dicabut.
Fungsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) intinya sama dengan fungsi dari undang-undang. Perbedaan keduanya terletak pada Pembuatnya, undang-undang dibuat oleh Presiden gotong royong dengan dewan perwakilan rakyat dalam keadaan normal sedangkan PERPU dibuat oleh Presiden. Perbedaan lainnya yakni Undang-undang dibuat dalam suasana (keadaan) normal, sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dibuat dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Perpu dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

C. Proses Penyususnan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Proses Penyusunan PERPU yakni sebagai berikut :
  1. PERPU harus diajukan ke dewan perwakilan rakyat dalam persidangan yang berikut (persidangan pertama dewan perwakilan rakyat sehabis PERPU ditetapkan oleh Presiden);
  2. Pengajuan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU wacana penetapan PERPU menjadi Undang-Undang;
  3. DPR hanya memperlihatkan persetujuan atau tidak memperlihatkan persetujuan terhadap PERPU;
  4. Dalam hal PERPU menerima persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam rapat paripurna, PERPU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang;
  5. Dalam hal PERPU tidak menerima persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam rapat paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;
  6. Dalam hal PERPU harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dewan perwakilan rakyat atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang wacana Pencabutan PERPU;
  7. RUU wacana Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akhir aturan dari pencabutan PERPU;
  8. RUU wacana Pencabutan PERPU sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang wacana Pencabutan PERPU dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).


D. Tata Cara Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Tata cara pembentukan perpu dalam Pasal 25 disebutkan sebagai berikut :
  • Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan pengajuan ke dewan perwakilan rakyat dalam persidangan berikut.
  • Pengjuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang wacana penetapan perpu menjai undang-undang.
  • Dalam hal perpu ditolak dewan perwakilan rakyat maka perpu tersebut tidak berlaku.
  • Dalam hal perpu ditolak dewan perwakilan rakyat maka Presiden mengajukan RUU wacana pencabutan perpu.

1. Penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Oleh dewan perwakilan rakyat Dan Akibat Hukumnya

Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan salah satu sumber tertib aturan di Indonesia. Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang merupakan hak inisiatif dankewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Presiden yang keberlakuannya mengikat layaknya Undang-Undang. 

Pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang yakni hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang penilaiannya tergantung kepada subyektifitas Presiden. Terkait hal ihwal kegentingan yang memaksa ini, belum ada kriteria dan standar yang terang untuk suatu hal dikatakan kegentingan yang memaksa dalam hal bernegara. Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang dibenarkan oleh Undang-Undang, maka dibutuhkan evaluasi dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk memutuskan PERPU menjadi Undang-Undang. adapun evaluasi dariDewan Perwakilan Rakyat terhadap Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (Perpu) yakni disetujui atau ditolak. 

Permasalahan muncul ketika PERPU ditolak oleh Dewan PerwakilanRakyat. Bagaimana akhir hukumnya atas penolakan PERPU oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mengajukan rancangan Undang-Undang pencabutan PERPU yang sanggup mengatur segala akhir dari penolakan tersebut. Sedangkan pengujian terhadap PERPU (Perpu) dalam konstitusi dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah terang diatur bahwa Dewan Perwakilan Rakyat melaksanakan evaluasi atau melaksanakan pengujian politik (political review) atas PERPU. Apabila disetujui menjadi Undang-Undang, maka Undang-Undang tersebut gres sanggup diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

2. Menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Landasan aturan dari PERPU yakni Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
  1. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak memutuskan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
  2. Peraturan pemerintah itu harus menerima persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
  3. Jika tidak menerima persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Dari ketiga ayat dalam Pasal 22 jelas-jelas disebutkan peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah berdasarkan Pasal 22 ini yakni sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai PERPU bukanlah undang-undang atau sederajat dengan undang-undang. PERPU yakni istilah yang diciptakan kemudian dan tidak terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 22 ayat (2) memakai istilah peraturan pemerintah dan demikian juga dengan ayat (3). Dengan adanya ketentuan yang menyebutkan peraturan pemerintah dalam Pasal 22, maka menjadi terang bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat dua macam peraturan pemerintah, yaitu :
  1. Peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945), dan
  2. Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 ayat (1)).
Karena keduanya yakni sama-sama peraturan pemerintah maka keduanya sudah barang tentu sederajat. Kaprikornus bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu memuat materi muatan yang merupakan materi muatan undang-undang tidak menjadikan PERPU itu setara dengan undang-undang. Baik Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 maupun Pasal 22 Ayat (1) memakai kata “menetapkan” untuk kedua macam peraturan pemerintah itu.

Hal ini terjadi lantaran Presiden yang memutuskan peraturan pemerintah untuk melaksakan undang-undang berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yakni juga Presiden yang sama dengan yang memutuskan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 Ayat (1).

Berhubung Presiden yang memutuskan pertauran pemerintah sebagai pelaksanaan UU yakni presiden dan sama dengan presiden yang memutuskan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang maka derajat dari kedua peraturan pemerintah itu yakni sama. Kaprikornus peraturan pemerintah berdasarkan Pasal 5 Ayat (2) yakni sederajat dengan peraturan pemerintah berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

Memang ada kerancuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menyangkut kedudukan dari PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) aksara b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Dalam Pasal 4 UU ini ditentukan bahwa “Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.” Pasal 4 terlihat menyebutkan bahwa ada uu dan peraturan di bawahnya. Namun dengan Pasal 7 ayat (1) aksara b tersebut ternyata yang dimaksudkannya yakni bahwa PERPU itu sederajat dengan UU.

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Tidak Sederajat Dengan Undang-Undang (UU)

Defenisi dari PERPU disebutkan dalam Pasal 1 angka (4) yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.Pengertian tersebut tidak secara tegas menyebutkan bahwa ia sederajat dengan undang-undang. Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 7 Ayat (1) aksara b yang menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Namun menjadi pertanyaan, jikalau PERPU sederajat dengan UU mengapa masih dibutuhkan persetujuan dewan perwakilan rakyat dan sehabis menerima persetujuan kemudian berkembang menjadi UU. Mestinya, kalau PERPU sederajat maka PERPU itu akan tetap berlaku sebagai PERPU dan tidak dibutuhkan lagi persetujuan DPR. Dalam Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 terang dinyatakan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan dewan perwakilan rakyat untuk masa sidang berikutnya.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan mengelaborasi lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 di dalam Pasal 25, yang berbunyi :
  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
  2. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang wacana penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.
  3. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.
  4. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang wacana pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang sanggup mengatur pula segala akhir dari penolakan tersebut.
Sesuai Pasal 25 ayat (2) tersebut, pengajuan PERPU itu yakni dalam bentuk RUU wacana penetapan PERPU menjadi undang-undang. Ayat (3) memilih lebih lanjut bahwa dalam hal PERPU ditolak maka perpu tersebut tidak berlaku. Hal ini memperlihatkan bahwa dewan perwakilan rakyat lebih tinggi dari Presiden dalam hal keberlakuan lebih lanjut dari PERPU. Jika dewan perwakilan rakyat menyetujui PERPU tersebut maka PERPU itu diangkat menjadi UU. Hal ini terjadi lantaran berdasarkan Pasal 20 ayat (1) dewan perwakilan rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. JIka ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dihubungkan dengan dan Pasal 22 ayat (2) maka akan terlihat bahwa PERPU tersebut tidak setara dengan UU.

Dengan demikian sanggup kita lihat bahwa PERPU itu bahwasanya tidak sederajat dengan UU dan oleh karenanya tidak sanggup diajukan pengujian ke MK. Bahwa PERPU ditempatkan sederajat dengan UU dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menunjukkan adanya kebertentangan antara UU tersebut dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan hal itu perlu diuji.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Bersifat Provisional

Suatu PERPU bersifat sementara hingga dewan perwakilan rakyat menyetujui dan jikalau menyetujui maka selanjutnya membentuk UU yang memutuskan PERPU sebagai UU. Jika ditolak maka PERPU itu harus tidak berlaku. Persetujuan dewan perwakilan rakyat itu harus diberikan pada masa persidangan berikutnya dari DPR. Dalam Penjelasan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan disebutkan “Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" yakni masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti bahwa sehabis hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka, PERPU itu harus diajukan ke dewan perwakilan rakyat dalam bentuk RUU pada masa sidang berikutnya. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa hanya diantarai satu masa reses.

Jadi waktu antara diundangkannya suatu PERPU dengan pengajuan untuk persetujuan ke dewan perwakilan rakyat tidak terlalu lama. Atau dengan kata lain kesementaraan itu ada batasannya waktunya dan waktu itu begitu singkat. Dalam kondisi sekarang, PERPU No. 4 tahun 2009 yang menjadi problem seyogyanya sudah harus diajukan kepada dewan perwakilan rakyat untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui maka akan jadi UU dan jikalau ditolak maka PERPU itu tidak berlaku lagi.

E. Uji Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Kepada Mahkama Konstitusi  

Tugas dan Wewenang dari Mahkamah Konstusi berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yakni :
  1. Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewewenangan forum Negara yang kewewenangannya diberikan oleh UUD1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan wacana hasil Pemilihan Umum.
  2. Wajib memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wapres berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Wewenang Mahkamah Konstitusi meliputi :
  • Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 19451.
  • Memutus sengketa kewenangan antar forum negara 2. yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
  • Memutus pembubaran partai politik.3.
  • Memutus perselisihan wacana hasil pemilu.
Permasalahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan mekansime pengujian suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) harus diakui cukup sulit untuk dipecahkan. Sebagian para hebat aturan menyampaikan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tak sanggup diuji materi di Mahkama Konstitusi. Bahkan, mantan Ketua MK, Moh. Mahfud MD pernah berujar tegas soal itu. Perpu, kata Mahfud, hanya boleh diuji dengan legislatif review di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bukan judicial review ke MK. Jadi, MK tidak akan menguji materi Perpu. Demikian kata Mahfud. Ini diperkuat oleh ketentuan letterlijk Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebut "MK berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD".

Namun, lantaran ’lisan’ dan argumen sang Ketua itu tak mengikat secara hukum, maka tak ada larangan bagi pihak-pihak yang mengajukan permohonan uji materi Perpu ke MK. Setidaknya, dua Perpu kini sedang ’parkir’ di MK menanti diputus. Keduanya yakni Perpu Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Perpu Nomor 4 tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

1. Koridor Sistem Konstitusi

Tentang Perpu, yang perlu diperhatikan pertama kali sebelum yang lainnya yakni bagaimana Undang-Undang Dasar 1945 mengaturnya. Artinya, menyoal Perpu tentu harus meletakkannya dalam koridor sistem yang dibangun dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ada tiga hal sangat penting yang perlu dicermati dalam hal ini.
  • Pertama, dalam Undang-Undang Dasar 1945, Perpu diatur dalam Pasal 22 yang diletakkan pada Bab VII wacana DPR. Konstruksi yang demikian harus dipahami betul mengingat ketentuan Pasal 22 bersahabat hubungannya dengan kewenangan dewan perwakilan rakyat sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 berisikan tiga hal, yaitu 1). pemberian kewenangan kepada Presiden untuk menciptakan Perpu, 2). Kewenangan itu hanya dipakai apabila terdapat keadaan genting dan memaksa, 3). Perpu harus menerima persetujuan dewan perwakilan rakyat pada persidangan berikutnya.
  • Kedua, Undang-Undang Dasar 1945 membedakan dengan terang Perpu dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dibuat untuk tujuan menjalankan undang-undang. Sementara, Perpu yang diatur dalam Bab dewan perwakilan rakyat materi muatannya menyerupai yang diatur dalam undang-undang, bukan untuk melaksanakan undang-undang. Karenanya, jikalau terjadi kekosongan undang-undang, entah oleh lantaran apa sehingga materi undang-undang itu belum diproses untuk menjadi undang-undang sebagaimana tata cara yang berlaku, maka Pasal 22 menyediakan pranata khusus yaitu memperlihatkan kewenangan kepada Presiden untuk menciptakan Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti Undang-Undang. Dalam hal ini, yang terpenting ialah adanya situasi dan kondisi mendesak yang membutuhkan aturan (undang-undang), sementara proses normal pembuatan undang-undang memerlukan waktu usang sehingga kebutuhan akan aturan yang mendesak itu tak sanggup diatasi. Sederhananya, Perpu diperlu kan apabila memenuhi tiga parameter, yakni : 
  1. Ada keadaan mendesak untuk menuntaskan kasus aturan secara cepat berdasarkan undang-undang,
  2. Terjadi kekosongan aturan lantaran undang-undang yang dibutuhkan untuk itu belum ada,
  3. Kekosongan aturan tidak teratasi jikalau harus menempuh mekanisme legislasi biasa yang perlu waktu usang sedangkan keadaan mendesak perlu cepat mendapatkan kepastian untuk diselesaikan.
  • Ketiga, pengertian kegentingan memaksa dalam Pasal 22 ayat (1) tak sanggup dimaknai hanya dengan mengkaitkannya dengan adanya keadaan ancaman sebagaimana dimaksud Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945. Keadaan ancaman memang sanggup mengakibatkan proses legislasi normal tidak sanggup dilaksanakan, tetapi itu bukan satu-satunya penyebab timbulnya kegentingan memaksa.

2. Dapat Diuji 

Berdasarkan dan berkutat pada sistem konstitusi di atas, Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Dalam keadaan kegentingan memaksa, Presiden berhak memutuskan peraturan pemerintah pengganti undang-undang" harus dimaknai sebagai berikut.
  • Pertama, Peraturan pemerintah pada Pasal itu yakni sebagai pengganti undang-undang. Artinya, materi yang diatur dalam peraturan pemerintah itu seharusnya diatur dalam wadah undang-undang. Tetapi lantaran kegentingan memaksa, Undang-Undang Dasar 1945 memperlihatkan hak kepada Presiden untuk menetapkannya, bukan kepada DPR. Kenapa bukan DPR? Karena apabila diserahkan ke DPR, proses dan mekanisme pengambilan keputusannya akan memakan waktu usang mengingat diperlukannya rapat-rapat dewan perwakilan rakyat dengan aneka macam tingkatan. Sehingga, kebutuhan aturan secara cepat terang tak dimungkinkan.
  • Kedua, frase ”Presiden berhak” pada Pasal 22 ayat (1) mengesankan adanya subyektifitas dan tergantung sepenuhnya pada Presiden dalam hal pembuatan Perpu. Memang, pembuatan Perpu di tangan Presiden yang bergantung pada evaluasi subyektifnya. Namun, itu tidak berarti evaluasi subyektif itu bersifat diktatorial dan tanpa dilandasi hal mendasar. Penilaian subyektif Presiden itu harus didasarkan pada keadaan obyektif berupa terpenuhinya tiga parameter adanya kegentingan memaksa.
Sebagai instrumen mengatasi kebutuhan aturan dalam kegentingan memaksa, maka tentu saja Perpu melahirkan norma hukum. Sebagai norma aturan baru, Perpu akan mengakibatkan :
  1. Status aturan baru,
  2. Hubungan aturan baru,
  3. Akibat aturan baru. Norma aturan lahir semenjak Perpu disahkan.
Hanya saja, nasibnya norma aturan itu sangat bergantung pada DPR, apakah mendapatkan atau menolak norma aturan Perpu. Meski demikian, sebelum dewan perwakilan rakyat beropini untuk menyetujui atau menolak Perpu, norma aturan itu yakni sah dan berlaku mengikat.

Oleh lantaran keberadaannya yang melahirkan norma aturan dengan kekuatan setara undang-undang itulah maka sudah seharusnya Perpu sanggup dimohonkan untuk diuji materi di MK. Singkat cerita, MK mestinya berwenang menguji Perpu terhadap Undang-Undang Dasar 1945 sebelum adanya persetujuan atau penolakan oleh DPR. Untuk Perpu pasca persetujuan dewan perwakilan rakyat tentu saja MK berwenang lantaran Perpu telah menjadi UU.

Terhadap nasib kedua Perpu, memang belum terbaca indikasinya. Yang pasti, putusan atas kasus itu yakni preseden. Tak perlu hingga jauh pada isi putusan MK apakah Perpu bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar 1945, lantaran ketegasan yang dinyatakan dalam putusan bahwa MK berwenang menguji Perpu sudah merupakan ‘pahala’ besar bagi rakyat negeri ini.

3. Hak Subyektif “Terbatas” Presiden

“Keberanian” Presiden SBY mengeluarkan Perpu tidak lepas dari perdebatan wacana subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Penafsiran subyektif Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kondisi ancaman atau tidak normal, Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 memperlihatkan kewenangan kepada presiden untuk melaksanakan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Pasal 12 menyebutkan Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan risikonya keadaan ancaman ditetapkan dengan undang-undang. Undang-Undang Dasar 1945 dengan tergas mengamanatkan adanya undang-undang yang mengatur keadaan ancaman yang ketika ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 wacana Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan ancaman yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini, Presiden hanya sanggup menafsirkan secara obyektif. Dalam aturan tata negara tidak tertulis dikenal dengan doktrinnoodstaatsrecht.

Menurut Harun Al Rasyid (dalam Kleden & Waluyo, Ed., 1981: 76-77 dan 105), dalamnoodstaatsrecht, undang-undang keadaan ancaman selalu ada, pelaksanaan berlakunya keadaan ancaman dituangkan dalam keputusan presiden. Noodstaatsrecht harus dibedakan dari staatsnoodrecht. Menurut kepercayaan staatnoodrecht, jikalau negara dalam keadaan darurat kepala negara boleh bertindak apapun bahkan melanggar undang-undang dasar sekalipun demi untuk menyelamatkan negara. Staatnoodrecht merupakan hak darurat negara, bukan hukum. Di Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang memutuskan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, menurut Prof. Wiryono didasarkan pada kepercayaan staatnoodrecht. Mahfud MD pembenaran dekrit tidak hanya didasarkan pada staatnoodrecht tetapi juga berdasarkan pada prinsip salus populis supreme lex (keselamatan rakyat yakni dasar aturan tertinggi). Akan tetapi, menurutM. Hatta, Prawoto Mangkusasmito (dalam Mahfud MD: 2001: 136) serta Yusril Ihza Mahendra (2001) yang menyetujui pendapat Prof. Logeman, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yakni sebuah revolusi aturan di bidang ketatanegaraan.

Menelisik ke belakang, ketentuan Pasal 22 (dan Pasal 12) merupakan teks orisinil Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak diamandemen. Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 mengambarkan bahwa, Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan supaya supaya keselamatan negara sanggup dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh lantaran itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Indrianto Seno Adji (2002) mengatakan, dalam Hukum Tata Negara dikenal asas aturan darurat untuk kondisi darurat atau abnormale recht voor abnormale tijden. Asas ini kemudian menjadi hak prerogatif presiden menyerupai dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Jimly Ashiddiqie (2006: 80-85), Perpu sebagai emergency legislation yang didasarkan pada alasan inner nootstand (keadaan darurat yang bersifat internal) dalam keadaan :
  1. mendesak dari segi substansi, dan
  2. genting dari segi waktunya.
Sementara itu, Bagir Manan dalam buku Teori dan Politik Konstitusi (2004) mengatakan, hal ihwal kegentingan yang memaksa" merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar kewenangan presiden dalam memutuskan perppu. Apabila tidak sanggup memperlihatkan syarat positif keadaan itu, presiden tidak berwenang memutuskan perppu. Perppu yang ditetapkan tanpa adanya hal ihwal kegentingan maka batal demi aturan (null and void), lantaran melanggar asas legalitas yaitu dibuat tanpa wewenang. Hal ihwal kegentingan yang memaksa juga harus memperlihatkan beberapa syarat adanya krisis, yang mengakibatkan ancaman atau kendala secara positif terhadap kelancaran menjalankan fungsi pemerintahan. Oleh lantaran itu, muatan perppu hanya terbatas pada pelaksanaan (administratiefrechtelijk).

Tentang muatan dan cakupan Perpu sendiri, Jimly Ashiddiqie membenarkan pendapat Bagir Manan, bahwa sifat inner notstand sebagai alasan pokok hanya sanggup dijadikan alasan ditetapkannya Perpu sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan yang memerlukan pemberian payung aturan setingkat undang-undang. Beranjak dari hal-hal tersebut di atas, terang bahwa Presiden mempunyai keterbatasan dalam memakai hak subyektifnya dalam mengeluarkan perpu. Presiden hanya sanggup memakai haknya sepanjang berkaitan dengan kepentingan internal pemerintahan. perlu ditegaskan bahwa ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 wacana hak presiden menafsirankan keadaan darurat dan kegetingan memaksa bukan merupakan hak tanpa batas. Hak mengeluarkan perpu (atau bahkan Dekrit) tanpa batas akan menjadikan bangsa Indonesia berjalan mundur.

Mahkamah Konstitusi berhak dan berwenang untuk melaksanakan pengujian Perputerhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kesimpulan tersebut dilatar belakangi oleh sudut perspektif dalam menginterprestasikan aturan secara subyektif.Sebagai negara hukum, sedianya tidak hanya bersandarkan pada konsep hukumtertulis sebagaimana diketahui Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji Perpudengan alasan tidak ditemukan pengaturan dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun jugamemperhatikan sumber aturan lainnya menyerupai asas-asas hukum, prinsip Hak Asasi Manusia dan kepentingan sebagian besar masyarakat. Dengan memperhatikan pluralisme sumber aturan tersebut, suatu produk konstitusi sanggup senantiasa bertahan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.Diperlukannya pengujian adalalah untuk :
  1. Menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);
  2. Menghindari kekakuan hukum; dan
  3. Menghindari kerugian yang sanggup berdampak luas pada masyarakat.


Dasar Hukum :

  1. Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
  3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan
  4. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
  5. Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009

Referensi :

  1. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan-Jenis,Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, 2011,hlm. 45-48, 65-66 dan 76-78.
  2. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-undang-undang
  3. Abdul Hamid Saleh Atamimi, “UUD 1945-TAP MPR- Undang-Undang”, dalam Padmo Wahjono, “Masalah Ketatanegaraan (himpunan tulisan)”,Ghalia Indonesia,1984,hlm.131.
  4. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM), Konstitusi Press, 2006, hlm. 32.
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-undang-undang
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-undang-undangl
  7. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-undang-undang

Ilmu Pengetahuan Mahfud Md: Substansi Konstitusi Untuk Lindungi Ham

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, menyampaikan konstitusi mempunyai dua substansi yang salah satunya yakni derma hak asasi manusia.

“Substansi dari konstitusi itu ada dua yaitu derma terhadap hak asasi insan dan sistem pemerintahan,” kata Mahfud di Bogor, Selasa (27/2).

Mahfud menjelaskan hal itu ketika menawarkan paparan dalam program Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Wartawan Indonesia yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi berhubungan dengan Dewan Pers.

 Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD Ilmu Pengetahuan Mahfud MD: Substansi Konstitusi Untuk Lindungi HAM
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
“Sistem pemerintahan sebagai substansi dari konstitusi, dibuat untuk melindungi hak asasi manusia,” terang Mahfud.

Sistem pemerintahan dijelaskan Mahfud berfungsi untuk menawarkan batasan pada kekuasaan terutama terkait dengan lingkup dan waktu dari kekuasaan tersebut.

Oleh alasannya yakni itu konstitusi disebut sebagai induk aturan di sebuah negara, lantaran seluruh problem aturan di Indonesia akan dikembalikan kepada konstitusi, terang Mahfud.

“Karena substansinya yakni hak asasi insan dan sistem pemerintahan, maka konstitusi ini menjadi aturan tertinggi atau induk hukum,” tambah Mahfud.

Baca :


Mahfud menjelaskan konstitusi di Indonesia juga tidak sanggup dilepaskan dari demokrasi, mengingat demokrasi yakni bab dari hak asasi manusia.

“Konstitusi itu simbol dari kedaulatan rakyat, ia menyeimbangkan antara demokrasi dan nomokrasi,” kata Mahfud ketika dikutip dari Aktual. (***)

Ilmu Pengetahuan Acta Resmi Laporkan Pertemuan Psi-Presiden Joko Widodo Ke Ombudsman

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) resmi melaporkan pertemuan pengurus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Kamis (1/3) kepada Ombudsman RI, Senin (5/3).

Wakil Ketua ACTA, Ali Lubis yang memimpin laporan itu ke Ombudsman RI, menilai pertemuan itu diduga terjadi maladministrasi.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, secara umum maldministrasi ialah sebuah sikap atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, memakai wewenang untuk tujuan lain dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara.

 resmi melaporkan pertemuan pengurus Partai Solidaritas Indonesia  Ilmu Pengetahuan ACTA Resmi Laporkan Pertemuan PSI-Presiden Jokowi ke Ombudsman
Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) memberikan bukti pelaporan yang resmi melaporkan pertemuan pengurus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara,
pada Kamis (1/3) kepada Ombudsman RI, Senin (5/3).
Mereka menganggap pertemuan yang dilakukan pengurus PSI dengan Presiden Jokowi itu melanggar pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 wacana Ombudsman. Fokus pelaporan mereka yakni pada insiden pertemuan.

“Istana ialah sentra pengendalian pelayanan publik di seluruh Indonesia, sementara Presiden ialah penyelenggara negara, sehingga terang merupakan maladministrasi. Fokus kita ialah pertemuannya,” katanya.

Namun demikian, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Ombudsman RI terkait jenis pelaporannya.

“Kami akan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Ombudsman. Nanti pihak Ombudsman yang memilih apakah yang melaksanakan maladministrasi ini penyelenggara negaranya atau partainya. Tapi yang niscaya penyelenggara negaranya. Nanti Ombudsman yang akan memilih itu,” kata Ali ketika dikutip dari Aktual.

Barang bukti yang diajukan ke Ombudsman, yakni berupa gosip di media massa wacana pertemuan itu.

“Kami berharap Ombudsman dapat bergerak cepat merespon laporan kami ini sebagaimana halnya Ombudsman merespon dugaan maldiministrasi pada kasus-kasus lain menyerupai masalah Pasar Tanah Abang dan lain-lain,” katanya.

Sebelumnya, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung mengatakan, pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Kamis (1/3) di Istana Kepresidenan hanya sebatas silaturahim.

“Tentunya ini dalam rangka silaturahim, tidak ada bahan yang sifatnya khusus alasannya ialah niscaya Presiden memahami bahwa Istana bukan untuk acara bersifat politik praktis,” ujar Pramono ketika berada di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Sabtu (3/3).

Baca :


Pramono memberikan hal tersebut, menanggapi adanya kritik para tokoh maupun pengamat yang menyebut pertemuan itu akan menyebabkan kecurigaan pihak-pihak tertentu.

Menurut dia, pertemuan itu masuk akal dilakukan antara Presiden dengan pengurus partai politik, namun tentunya dengan batasan-batasan tertentu.

“Bahwa silaturahim sebagai Presiden tetap diperbolehkan,” katanya. (***)

Ilmu Pengetahuan Jago Yang Dihadirkan Fredrich: Korupsi Bukan Kejahatan Luar Biasa

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Ahli perundang-undangan Ahmad Yani dihadirkan terdakwa Fredrich Yunadi dalam persidangan lanjutan masalah dugaan perintangan penyidikan masalah korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto.

Dalam persidangan, Ahmad mengatakan, masalah korupsi tidak termasuk kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime layaknya masalah terorisme dan narkoba.

undangan Ahmad Yani dihadirkan terdakwa Fredrich Yunadi dalam persidangan lanjutan masalah d Ilmu Pengetahuan Ahli yang Dihadirkan Fredrich: Korupsi Bukan Kejahatan Luar Biasa
Terdakwa masalah merintangi penyidikan masalah KTP Elektronik, Fredrich Yunadi menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
"Sesungguhnya pandangan aku korupsi itu sendiri juga tidak termasuk tindak pidana luar biasa," kata Ahmad di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/5/2018).

Selain itu, Ahmad juga mengatakan, pasal 21 UU Tipikor atau pasal obstruction of justice (perbuatan menghalang-halangi proses penegakan hukum) yang disangkakan untuk Fredrich bukanlah tindak pidana korupsi utama.

Dalam kesempatan itu, Ahmad juga mempersoalkan masalah politikus Partai Hanura, Miryam S. Haryani yang divonis menunjukkan keterangan palsu terkait masalah korupsi e-KTP. Menurut Ahmad, masalah menunjukkan keterangan palsu sanggup masuk dalam pidana umum.

"Saya melihat bahwa ia [Miryam] bukan tipikor. masalah yang didakwakan pertama menunjukkan keterangan palsu, alasannya ia menunjukkan keterangan palsu maka ia masuknya peradilan umum," kata Ahmad.

Mendengar pernyataan tersebut, jaksa KPK Roy eksklusif mengonfirmasi mengenai isi undang-undang KPK yang menyatakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Selain itu, Jaksa juga mempertanyakan posisi Ahmad ketika menjadi anggota dewan perwakilan rakyat Komisi III, sebuah komisi yang mengurus forum hukum, salah satunya KPK.

Menurut Ahmad, KPK dibuat alasannya penegak aturan belum optimal dalam memberantas korupsi. Selain itu, kata dia, posisi KPK juga hanya berfokus pada supervisi daripada penindakan korupsi.

"Oleh alasannya itu diletakkan betul, sadar betul pembentukan UU pada waktu itu meletakkan betul fungsi KPK pada aksara a dalam hal ini melaksanakan koordinasi. Kenapa ia diletakkan pada aksara a alasannya sudah ada institusi penegak aturan yang lain," kata Ahmad ketika dikutip dari Tirto.

Jaksa lalu bertanya, apakah pandangan Ahmad sama dengan pandangan semua pembentuk undang-undang.

"[itu] pandangan aku [pribadi]," kata Ahmad.

Dalam masalah ini, Fredrich Yunadi didakwa dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara eksklusif atau tidak eksklusif penyidikan, penuntutan dan investigasi di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam kasus korupsi.

Dia didakwa bersama dengan Dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo telah melaksanakan rekayasa medis terhadap Setya Novanto ketika bencana kecelakaan. Kala itu, Fredrich berstatus sebagai pengacara Novanto.

Dalam dakwaan, Fredrich disebut sebagai orang yang berinisiatif untuk meminta derma kepada Bimanesh semoga Setnov sanggup dirawat di RS Medika Permata Hijau.

Pemilik kantor Yunadi and Associates itu mendatangi kediaman Bimanesh di Apartemen Botanica Tower 3/3A Jalan Teuku Nyak Arief Nomor 8 Simprug, Jakarta Selatan untuk memastikan semoga Setya Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau.

Baca :

Bimanesh menyetujui ajakan Fredrich dan mengondisikan proses perawatan sampai rekam medis Novanto.

Atas perbuatannya Fredrich dan Bimanesh didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 perihal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. (***)