Showing posts with label Finansial. Show all posts
Showing posts with label Finansial. Show all posts

Ilmu Pengetahuan Desentralisasi Fiskal Angkat Tugas Tempat Dalam Infrastruktur

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Kebijakan desentralisasi fiskal dengan peningkatan transfer ke daerah dan dana desa yang disertai penurunan belanja kementerian/lembaga telah membuka kesempatan bagi peningkatan tugas daerah dalam infrastruktur.

Namun, terdapat beberapa tantangan, di antaranya peresapan anggaran yang terkendala sehingga menghasilkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) yang tinggi, serta persoalan governance dalam pengadaan proyek yang berisiko untuk berakhir di meja penegak hukum.

 Kebijakan desentralisasi fiskal dengan peningkatan transfer ke daerah dan dana desa yang  Ilmu Pengetahuan Desentralisasi Fiskal Angkat Peran Daerah Dalam Infrastruktur
Pekerja menuntaskan pembangunan fly over di tempat Pancoran, Jakarta, Selasa (6/6). - JIBI/Nurul Hidayat
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menegaskan pemerintah daerah sanggup mengimplementasikan bagan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

“Berbeda dengan pengadaan konvensional, KPBU sanggup mengatasi permasalahan dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas proyek dengan pelibatan tubuh perjuangan yang memungkinkan pembagian risiko proyek, penjaminan ketepatan waktu dan anggaran, serta penjaminan kualitas pelayanan yang dijanjikan dalam kontrak,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam Dialog Perencanaan dan Pendanaan Pembangunan yang dilaksanakan di Gedung Pauh Janggi, Pekanbaru, Riau, Sabtu siang.

Dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis, Sabtu (4/11), Bambang menuturkan pengadaan konvensional berpotensi tidak berkesinambungan sebab perencanaan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan dilakukan secara terpisah serta dilakukan tender tahunan untuk pengoperasian/pemeliharaan.

Pelaksanaan pekerjaan juga sering terlambat sehingga menjadi beban pemerintah (cost overrun). Perencanaan pengadaan seringkali tidak mengkaji aspek hukum, komersial, risiko, dan lingkungan.

Dalam praktiknya, pengadaan konvensional seratus persen berasal dari pemerintah sehingga risiko sepenuhnya ditanggung pemerintah. Alokasi proyek yang dilaksanakan melalui pengadaan konvensional pun niscaya akan sesuai dengan nilai proyek yang dilaksanakan.

Sebab itu bagan KPBU menjamin terjadinya kesinambungan proyek sebab perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan dilakukan satu kesatuan dalam kontrak jangka panjang. KPBU juga mengharuskan tubuh perjuangan untuk melaksanakan upaya terbaik sehingga tidak terjadi keterlambatan konstruksi dan operasi.

Menurutnya, selain menciptakan pemerintah dan swasta mengembangkan risiko, KPBU membuka potensi penyediaan infrastruktur dengan jumlah yang relatif lebih banyak, namun dengan alokasi yang relatif sama. Bagi daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi dan kemampuan implementasi tinggi, KPBU meningkatkan kualitas dan kuantitas proyek infrastruktur.

Untuk daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi namun kemampuan implementasi rendah sehingga SILPA tinggi, KPBU memindahkan risiko konstruksi dan operasi kepada tubuh perjuangan sehingga on schedule, on budget.

Daerah dengan kapasitas fiskal rendah namun mempunyai kemampuan implementasi tinggi sehingga proyek infrastruktur terealisasi namun dengan kuantitas terbatas, juga sanggup mencicipi manfaat KPBU melalui peningkatan jumlah proyek infrastruktur. Bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan kemampuan implementasi rendah sehingga proyek tidak berjalan, KPBU akan membantu merealisasikan proyek yang dibutuhkan.

“Dalam implementasi KPBU, pemerintah juga menyediakan bagan Viability Gap Fund (VGF) melalui Kementerian Keuangan di mana proyek tertentu bisa diberikan VGF sampai maksimal 40% sehingga IRR (Internal Rate of Return) yang tadinya 13% sanggup naik menjadi 14%,” tegasnya.

Adapun obyek KPBU meliputi 19 jenis infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial yang terbagi atas tiga area besar, ibarat dikutip dari Bisnis.com.

Pertama, konektivitas, meliputi transportasi, jalan, ketenagalistrikan, migas dan energi gres terbarukan, konservasi energi, serta telekomunikasi dan informatika.

Baca :
Kedua, kemudahan perkotaan, meliputi air minum, pengelolaan limbah setempat, pengelolaan limbah terpusat, pengelolaan sampah, perumahan rakyat, sumber daya alam dan irigasi, dan kemudahan perkotaan lainnya.

Ketiga, kemudahan sosial, meliputi pariwisata, kemudahan pendidikan, forum pemasyarakatan, sarana olahraga, kesenian, dan budaya, pengembangan kawasan, dan kemudahan kesehatan.(***)

Ilmu Pengetahuan Jawaban Dirjen Ahu Terkait Pembayaran Online Di Aplikasi Yap Dicaci Maki Oknum Notaris

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Penggunaan prosedur online tidak hanya bertujuan efisiensi namun juga meningkatkan peringkat EoDB, menekan peluang tindak pidana pembersihan uang, hingga pendataan ulang notaris aktif.

Sejak 2 Januari 2018 para notaris diwajibkan untuk memakai satu sistem online pembayaran PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU). Pembayaran dilakukan dengan rekening khusus yang telah teregistrasi dengan aplikasi YAP.

Beragam respons bermunculan di kalangan notaris. Tak diduga, beberapa oknum notaris menciptakan respons tak santun dengan mencaci maki jajaran Ditjen AHU di media sosial. Atas tudingan ini, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Freddy Harris, menjelaskan bekerjsama ada tiga alasan soal penggunaan sistem online untuk pembayaran PNBP Ditjen AHU yang dipungut dari penggalan honorarium notaris.

 Penggunaan prosedur online tidak hanya bertujuan efisiensi namun juga meningkatkan perin Ilmu Pengetahuan Tanggapan Dirjen AHU Terkait Pembayaran Online di Aplikasi YAP Dicaci Maki Oknum Notaris
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU), Freddy Harris/Hukumonline. Foto: RES

Kepada hukumonline usai program seminar Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI), Jumat (26/1) di Solo. Freddy mengaku sangat menyayangkan respons oknum notaris yang diungkapkan secara “liar” di media sosial. Ia mengaku kaget bahwa sosok terpelajar menyerupai notaris tidak bisa menyaring sikap etik yang layak di muka umum. Padahal keluhuran sikap etik yaitu salah satu yang dijunjung tinggi oleh jabatan notaris.

Adapun tiga alasan penggunanaan system online tersebut adalah; Pertama, Ditjen AHU berupaya maksimal untuk ikut mendongkrak skor Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia, di mana salah satu komponen penilaiannya yaitu durasi pembentukan tubuh aturan perusahaan.

“Ditegur terus nih Ditjen AHU sama tim EoDB, ini notaris masih lelet untuk penyelesaian pembuatan sertifikat PT, masih 3 hari, kita mau jadi 1 hari,” tuturnya ketika dilansir dari Hukumonline.

Setelah ditelusuri, durasi 3 hari itu tersangkut oleh prosedur pembayaran PNBP dari jasa notaris dengan memakai cara tunai ke kasir Bank. “Ternyata gara-gara bayarnya, notaris selesaikan gres sehabis beliau bayar voucher ke Bank, aktanya tertunda hingga besok-besok beliau ke Bank,” lanjutnya.

Setelah pembayaran PNBP tuntas barulah sertifikat pendirian perusahaan yang diminta penghadap bisa diselesaikan di Sistem Administrasi Badan Hukum online milik Ditjen AHU. Untuk mengatasinya, Freddy tetapkan biar pembayaran dilakukan dengan autodebet di rekening personal khusus bagi tiap transaksi pembayaran ke notaris.

Penghadap atau notaris tidak lagi punya pilihan untuk membayar ke kasir bank yang menciptakan penyelesaian sertifikat pendirian perusahaan tertunda. Semua sanggup dilakukan realtime dalam satu hari.

 Penggunaan prosedur online tidak hanya bertujuan efisiensi namun juga meningkatkan perin Ilmu Pengetahuan Tanggapan Dirjen AHU Terkait Pembayaran Online di Aplikasi YAP Dicaci Maki Oknum Notaris
Sumber: Facebook
Kedua, Freddy mengingatkan bahwa ketika ini notaris sering terseret tindak pidana pembersihan uang yang diselundupkan lewat transaksi jasa notaris. Dalam UU No. 8 Tahun 2010 wacana Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), notaris dikategorikan sebagai profesi gate keeper dalam melaporkan setiap transaksi keuangan mencurigakan.

Kewajiban ini dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2015 wacana Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; dan Peraturan Kepala (Perka) PPATK No. 11 Tahun 2016 wacana Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi. Meniru cara perbankan, notaris diwajibkan menerapkan prinsip ‘Mengenali Pengguna Jasa’ (know your customer-KYC).

Bagi Freddy, sangat tidak sempurna mengharuskan notaris menerapkan prinsip KYC layaknya perbankan. Freddy mengakui bahwa semua pejabat negara dan pejabat umum punya kewajiban ikut mencegah TPPU. Hanya saja Freddy tak yakin cara-cara perbankan dan jasa keuangan bisa diterapkan kepada kalangan notaris.

Untuk itu, keharusan mengenali profil penghadap yang dicurigai dialihkan dengan memanfaatkan data pada perbankan. Dalam hal ini Freddy pernah mengusulkan dibuatnya rekening escrow untuk menampung semua transfer pembayaran dari rekening penghadap secara langsung. Usul tersebut kini diwujudkan dengan rekening khusus aplikasi YAP tersebut.

“Jadi dengan didorong transfer pribadi ke rekening YAP, nanti beneficial owner-nya kelihatan,” tegasnya. Jika ada indikasi TPPU, bisa ditelusuri profil penghadap lewat rekening yang digunakannya untuk mentransfer ke rekening YAP notaris.

Soal pemilihan Bank BNI sebagai penyedia layanan YAP, Freddy menyatakan tuduhan yang ditujukan oknum notaris kepadanya soal mendapatkan “jatah” dari BNI terang sangat tidak bertanggungjawab. “Saya difitnah, sudah saya tawarkan semua Bank, tapi BNI yang paling cepat merespons sesuai kebutuhan kami, sudah siap juga sistemnya,” lanjutnya.

Perlu diketahui bahwa sistem pembayaran online dengan aplikasi YAP sebagai layanan autodebet sudah diluncurkan BNI sebelum ada kerjasama dengan Ditjen AHU. Aplikasi ini bukan dibentuk khusus untuk layanan Ditjen AHU. Namun sebab adanya kesesuaian kebutuhan Ditjen AHU dengan layanan yang ditawarkan serta kesanggupan BNI menyediakan 15.000 rekening dalam tenggat waktu sebulan dan koneksi ke sistem AHU dalam 2 minggu, pilihan kerjasama jatuh kepada BNI.

“Kita open kok, tawaran sudah ke aneka macam Bank, yang menyatakan sanggup BNI, ya kita jalan,” jelasnya.

Untuk proyek sistem online lainnya di Ditjen AHU pun Freddy mengaku akan membagi-bagi ke aneka macam Bank lainnya secara terbuka. “BNI sudah menyatakan siap ke kami jikalau ada proyek lainnya, tapi nggak lah nanti dibilang monopoli, saya sudah undang Bank lainnya, kita lihat saja responnya,” imbuhnya.

Alasan ketiga yang dijelaskan Freddy yaitu untuk melaksanakan pendataan ulang para notaris se-Indonesia. Dengan diwajibkan melaksanakan pembayaran PNBP lewat autodebet aplikasi YAP, para notaris tak punya pilihan lain kecuali mengurus pembuatan rekening khusus aplikasi YAP. Rekening ini pun dibentuk terintegrasi sebagai Kartu Tanda Anggota (KTA) INI.

“Tercatat di AHU notaris ada 17.000, yang aktif melaksanakan pembayaran PNBP ada 8000, kini yang mengajukan pembuatan rekening untuk aplikasi YAP ada 16.000, nah kita jadi data lagi kan masih aktif atau nggak,” papar Freddy.

Sudah menjadi diam-diam umum bahwa ada banyak notaris yang sudah tidak lagi aktif menjalankan kiprah jabatannya apalagi menghasilkan PNBP bagi kas negara. Hanya saja, berdasarkan Freddy, tidak ada prosedur aturan yang tersedia ketika ini untuk memberhentikan notaris sebagai pejabat umum selain sebab alasan pensiun, seruan sendiri, atau sebab melanggar perbuatan yang dihentikan UU Jabatan Notaris. Sementara para notaris yang tidak aktif itu tidak diketahui kondisinya dan patut diduga memang tidak memiliki penghadap sehingga tidak menyumbang pemasukan PNBP.

Tuduhan lain yang diterima Freddy yaitu adanya pungutan liar untuk Ditjen AHU lewat autodebet di rekening aplikasi YAP tersebut. “Itu yaitu potongan iuran anggota INI rupanya, silakan tanya Ibu Yualita (Ketua INI) sebab tidak ada urusannya dengan kami,” jelasnya.

Menutup wawancara dengan hukumonline, Freddy menyerahkan penyikapan atas oknum notaris yang telah bersikap tercela itu kepada Dewan Kehormatan Pusat PP INI. “Saya mau lihat apa keputusan yang akan dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan, nanti kita follow up,” pungkasnya.


Baca :


Anggota Tim KTA Pengurus Pusat INI (PP INI), Aulia Taufani, membenarkan soal adanya oknum notaris yang mencaci maki pihak Kemenkumham secara terbuka di media sosial. Dengan tegas ia menyampaikan bahwa sikap oknum tersebut tidak mewakili sikap notaris anggota INI secara keseluruhan. Apalagi menurutnya, sistem online dengan aplikasi YAP yaitu sebuah kemajuan.

“Ini sudah bagus, dalam rangka mendukung EoDB dan menawarkan perlindungan dari TPPU yang menyeret notaris,” katanya ketika dihubungi secara terpisah.

Soal potongan iuran anggota INI lewat rekening yang sama, Aulia membenarkan hal tersebut. PP INI secara terpisah melaksanakan kerjasama dengan Bank BNI sebagai penyedia rekening untuk melaksanakan autodebet per bulan sebesar jumlah iuran anggota INI. Karena rekening ini terintegrasi dengan KTA, maka kedisiplinan iuran anggota sangat terbantu.

“Betul, itu kerjasama PP INI dengan BNI lewat rekening yang sama, masuknya ke PP INI,” terang Aulia. (***)

Ilmu Pengetahuan Dugaan Kecurangan Rusun Dp 0 Rupiah Berujung Laporan Pencemaran Nama Baik

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Manajemen PT Totalindo Eka Persada, kontraktor pembangunan proyek rusun DP 0 Rupiah melaporkan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat Komite Anti Korupsi Indonesia (LSM KAKI) ke Polda Metro Jaya, Jumat (23/2/2018) atas dugaan pencemaran nama baik.

Totalindo yaitu perusahaan pengembang yang bekerja sama dengan PD Sarana Jaya dalam pembangunan rusun DP 0 Rupiah yang akan dibangun di wilayah Klapa Village, Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

 kontraktor pembangunan proyek rusun DP  Ilmu Pengetahuan Dugaan Kecurangan Rusun DP 0 Rupiah Berujung Laporan Pencemaran Nama Baik
Warga melihat maket ketika mencari informasi unit rumah susun dengan DP 0 Rupiah, di Kantor Informasi Klapa Village, Jakarta, Minggu (21/1). ANTARA FOTO/Galih Pradipta.

Konsultan Hukum Totalindo, Saut Irianto Rajagukguk mengatakan, langkah itu diambil alasannya pernyataan yang dilontarkan LSM KAKI lewat media massa dinilai tidak berdasar. Saut berkata, pihaknya telah mengantongi sejumlah bukti berupa gosip di sejumlah koran dan media online yang mengutip pernyataan KAKI.

"Pernyataan-pernyataan itu menyebut Totalindo sangat buruk, tidak berkualitas, kemudian pemerintah [Pemprov DKI] tertipu dengan keberadaan Totalindo,” kata Saut dalam konferensi pers di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (23/2/2018).

Laporan pihak Totalindo ke Polda Metro Jaya itu didasarkan pada Pasal 27 (3) jo Pasal 45 (3) dan/atau Pasal 27 (4) jo Pasal 45 (4) Undang-Undang 19 tahun 2016 Jo Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 wacana Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Buat kami cukup bukti bahwa ini sudah memenuhi unsur tindakan pencemaran nama baik,” kata Saut menjelaskan terkait pasal yang dirujuk.

Kasus ini bermula dari laporan LSM KAKI ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Rabu (21/2/2018) yang menyebut ada dugaan kecurangan dalam pembangunan rusun DP 0 Rupiah yang menjadi agenda unggulan Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Arifin Nur Cahyono, Ketua Umum KAKI menyatakan, proyek Kerja Sama Operasi (KSO) yang dilakukan Sarana Jaya dengan Totalindo di bawah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) DP 0 Rupiah melanggar aturan alasannya tidak melalui prosedur lelang. Padahal, berdasarkan pihak KAKI, hal itu diwajibkan dalam pasal 99 (1) dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri wacana Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD.

Selain itu, pihak LSM KAKI juga meragukan adanya persekongkolan antara Totalindo dan PD Pasar Jaya dalam kolaborasi operasional tersebut. Usai melapor ke KPPU, Arifin Nur Cahyono bahkan menyebut ada dugaan penyuapan dalam proyek tersebut.
Totalindo Bantah Adanya Kecurangan

Direktur Utama Totalindo, Donald Sihombing menjelaskan mengapa pelaporan perusahaannya ke KPPU disebut sebagai sesuatu yang mengada-ada dan tak berdasar. Menurut dia, pembangunan rusun di Klapa Village tak ada sangkut-pautnya dengan BLUD yang dibuat Pemprov DKI.

Donald berkata, BLUD hanya sebagai mediator yang menunjukkan dan menyalurkan kepada calon konsumen, bukan dalam penyediaan hunian. Di samping itu, kata dia, BLUD yang disebut oleh KAKI juga belum terbentuk sehingga tidak ada ketentuan dalam Permendagri yang dilanggar.

“Saya murung lihat di koran, [media] online. Kami dibilang kontraktor enggak bermutu. Kami ini, kan, perusahaan terbuka. Kasihan kami punya investor dengan adanya gosip ini. Karyawan kami 2.000 dikali 2. Ada 4.000 [orang] yang menggantungkan hidup ke Totalindo,” kata Donald ketika jumpa pers.

Donald juga mengklaim bahwa tak ada ketentuan yang dilanggar dalam perjanjian kolaborasi operasional antara perusahaan yang dipimpinnya dengan PD Sarana Jaya. Totalindo, kata dia, mengikuti proses dan ketentuan yang tercantum dalam surat nomor 1092/-1.712 wacana rencana pengembangan lahan proyek di Pondok Kelapa Jakarta Timur, yang dipublikasikan di situsweb Sarana Jaya.

Pada 20 Desember 2017, perusahaannya mengirimkan surat kepada Sarana Jaya dan menyatakan berminat bergabung ke dalam proyek. Tak usang kemudian, surat itu berbalas seruan presentasi profile company dari Sarana Jaya. Setelah cocok, kata dia, kedua perusahaan ini setuju bekerja sama dalam pembangunan empat tower apartemen komersial di Klapa Village.

Awal tahun 2018, kata Donald, perjanjian KSO pun diteken oleh kedua perusahaan dengan pembagian investasi sebesar 75 persen oleh Sarana Jaya dan 25 persen oleh Totalindo. Tugas pertama mereka, kata Donald, membangun satu tower rusun yang akan dijual dalam agenda DP 0 rupiah.

“Tidak ada dana APBD. Murni business to business dan tidak terkait dengan rumah susun maupun dinas perumahan," kata Donald.

Penjelasan serupa juga disampaikan Direktur Pengembang PD Pembangunan Sarana Jaya, Denan Kaligis. Ia mengatakan, dasar aturan KSO yang digunakan perusahaannya yaitu Surat Ketetapan Gubernur Nomor 39 tahun 2002 wacana Ketentuan Pelaksanaan Kerja Sama Perusahaan Daerah Propinsi DKI Jakarta.

“Proses pemilihan kolaborasi ini dengan ketentuan berlaku dan secara terbuka,” kata Denan.

Sementara alasan terpilihnya Totalindo, karena tidak ada perusahaan lain yang mengajukan surat dan berminat dalam pengembangan proyek Klapa Village. “18 Desember, yang masuk hanya dari Totalindo satu. Jadi, Totalindo yang mengambil alih proyek itu,” kata Denan menambahkan.

Baca :

Menanggapi bantahan Totalindo dan pelaporan lembaganya ke Polda Metro Jaya, Ketua Umum KAKI, Arifin tak mau ambil pusing. Ia mengatakan, laporan atas dugaan pencemaran nama baik itu yaitu hak Totalindo sebagai perusahaan.

“Ya biarin saja, itu hak mereka,” kata Arifin singkat ketika dilansir dari Tirto.

Soal pencemaran nama baik, Arifin mengklaim, hal tersebut tidak akan terbukti. Alasannya, kata Arifin, track record jelek Totalindo sudah banyak tersebar di media massa. Namun demikian, Arfisin enggan menyebutkan judul gosip dan media mana yang ia maksud.

“Kami sudah ada buktinya kok. Di media-media itu juga sudah banyak beritanya. Baca saja,” kata dia. (***)

Ilmu Pengetahuan Cegah Risiko Hukum, Industri Jasa Keuangan Mesti Perketat Gcg

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Sektor jasa keuangan rawan terjadinya kejahatan. Karena itu, penerapan prinsip good corporate governance (GCG) dengan ketat diperlukan sanggup mencegah pelanggaran tersebut.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Erry Riana Hardjapamekas menilai salah satu sektor industri yang paling ketat peraturannya di Indonesia yaitu sektor jasa keuangan. Industri ini berada di bawah pengawasan beberapa forum yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Bursa Efek Indonesia.

Sektor jasa keuangan rawan terjadinya kejahatan Ilmu Pengetahuan Cegah Risiko Hukum, Industri Jasa Keuangan Mesti Perketat GCG
Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Risk Management dan Good Corporate Governance dalam Rangka Meminimalisir Risiko Hukum dan Kepatuhan pada Industri Keuangan” di Hotel Aryaduta Jakarta,
Selasa (27/2). Foto: CR-26/Hukumonline.
Meski sudah diatur secara ketat, ternyata Erry menilai masih ada celah tindak kejahatan dalam industri jasa keuangan sanggup terjadi. Karena itu, dalam mengantisipasi tindakan kejahatan tersebut, sektor jasa keuangan harus menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) secara ketat.

Menurut Erry, yang juga pernah menjabat sebagai komisaris utama di sekto perbankan, mengimbau penerapan prinsip GCG pada sektor korporasi jangan hanya sekadar formalitas, tetapi perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.

“Jangan melaksanakan GCG dengan terpaksa tapi dilakukan bahagia hati. Jangan menganggap itu sekadar formalitas alasannya yaitu ujungnya GCG itu untuk perbaikan,” kata Erry ketika menjadi pemateri dalam Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Risk Management dan Good Corporate Governance dalam Rangka Meminimalisir Risiko Hukum dan Kepatuhan pada Industri Keuangan” di Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta, menyerupai dikutip dari Hukumonline, Selasa (27/2/2018).

Erry menjelaskan pelaporan GCG harus dilakukan industri keuangan kepada OJK setiap selesai tahun. Dalam pelaporan tersebut, terdapat tiga poin yakni perihal transparansi penerapan tata kelola perusahaan, evaluasi sendiri (self assessment), dan rencana tindakan/aksi (action plan). Dalam laporan tersebut menjadi materi evaluasi regulator mengenai baik dan buruknya pengelolaan perusahaan jasa keuangan.

Salah satu penerapan GCG di industri keuangan sudah diatur OJK melalui Peraturan Nomor 55/POJK.03/2016 perihal Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum. Dalam regulasi tersebut menjelaskan tata kelola yang baik yaitu tata cara pengelolaan bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairness).

Dalam kesempatan yang sama, Director of Bank Danamon, Rita Mirasari memberikan perusahaan jasa keuangan harus menerapkan mitigasi dalam menghadapi potensi risiko-risiko yang akan muncul di masa depan. Ia menilai antisipasi tersebut perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kekeliruan atau fraud.

“Kita harus melihat tren ke depan, contohnya mata uang melemah tetapi exposure kita sangat besar lengan berkuasa dan kita tidak melaksanakan hedging (lindung nilai). Bagaimana memitigasinya dengan policy kita?” kata Rita.

Contoh lain, Rita menceritakan mengenai besarnya kredit macet fraud yang kerap terjadi di industri perbankan, salah satunya kredit fiktif. Menurut Rita, hal tersebut kerap terjadi alasannya yaitu masih lemahnya pengawasan di internal perusahaan tersebut. Kondisi tersebut juga dikhawatirkan berpotensi mengganggu kelangsungan bisnis perusahaan.

Dalam praktiknya, modus tindak pidana perbankan yang dilakukan. Diantaranya, tidak mencatatkan dana yang ditabung oleh nasabah dan permohonan kredit fiktif dengan memakai data nasabah usang yang sudah melunasi kredit dan debitur yang permohonannya tidak disetujui.

OJK mencatat dugaan tindak pidana perbankan paling banyak terjadi di bank perkreditan rakyat (BPR) dibanding bank swasta dan BPR Syariah (BPRS) sepanjang 2014-2016. Berdasarkan data 2016, sebanyak 88 persen dari BPR yang ditutup oleh OJK akhir fraud. Sedangkan BPR Syariah tercatat empat masalah dan bank swasta tercatat tanpa kasus. Baca juga: Pidana Perbankan Banyak Terjadi di BPR

Dalam periode 2016, OJK juga mencatat penyimpangan yang terjadi di BPR dan BPRS, kebanyakan ketika pendanaan yaitu sebanyak 13 masalah dengan nominal Rp 48,483 miliar. Kemudian penyimpangan perkreditan sebanyak 12 masalah dengan nominal Rp 46,969 miliar.

Tindak pidana perbankan di BPR tercatat paling banyak terjadi pada 2014 yaitu sebanyak 50 kasus. Kemudian sempat turun sampai 15 masalah pada 2015 dan meningkat menjadi sebanyak 21 masalah pada 2016.

Baca :


Dalam sektor jasa keuangan, fraud sanggup diartikan sebagai tindakan sengaja melanggar ketentuan internal (sistem dan prosedur) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi kepentingan pribadi atau pihak lain yang berpotensi merugikan perusahaan secara material ataupun moril.

Salah satu fraud yang pernah menimpa sektor jasa keuangan nasional yaitu masalah pembobolan rekening nasabah Citibank. Dalam masalah tersebut, pelaku memindahkan uang nasabah ke rekening pribadinya. Pelaku didakwa dengan tindak pidana pembersihan uang dan penggelapan yang dinilai melanggar UU Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Nomor 10 Tahun 1998 perihal Perbankan. (***)

Ilmu Pengetahuan Duduk Perkara Aturan Kredit Motor: Laps Atau Bpsk Kalau Terjadi Sengketa?

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Selain BPSK, sengketa konsumen dengan forum keuangan sanggup diselesaikan melalui forum penyelesaian sengketa lain yang disetujui OJK.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Batu Bara menjadi forum penyelesaian sengketa yang banyak dikeluhkan oleh pelaku usaha. Pasalnya, forum ini dinilai melewati kewenangannya dalam menangani sengketa konsumen, khususnya sengketa yang terjadi di sektor jasa keuangan.

Berdasarkan data dari OJK, sengketa yang ditangani BPSK seluruh Indonesia (32 kabupaten/kota), sebanyak 48% kasus ditangani oleh BPSK Batubara. Bahkan, BPSK Batu Bara juga kerap menangani sengketa yang terjadi di luar domisili. Ketika hukumonlinemenelepon kontak resmi BPSK ini, seseorang di ujung telepon BPSK Batu Bara tak beroperasi lagi alasannya yaitu sudah dibekukan pemerintah.

 sengketa konsumen dengan forum keuangan sanggup diselesaikan melalui forum penyelesaian  Ilmu Pengetahuan Masalah Hukum Kredit Motor: LAPS atau BPSK Jika Terjadi Sengketa?
Ilustrasi penyelesaian sengketa antara dua pihak. Ilustrator: HGW/Hukumonline.
OJK kemudian angkat bicara atas kasus tersebut. Manurut OJK, bahwa BPSK sanggup melaksanakan penyelesaian sengketa sesuai dengan wilayah kerja BPSK dan mematuhi UU Perlindungan Konsumen dan Keputusan Menperindag No.350/MPP/KEP/12/2001 yang diantaranya mempersyaratkan persetujuan konsumen dengan forum jasa keuangan untuk menuntaskan sengketa di luar yang sudah diperjanjikan di awal dikala tanda tangan perjanjian (kredit, kartu kredit, KTA, pembiayaan/leasing, polis) atau formulir pemanfaatan produk maupun layanan keuangan (tabungan, deposito).

Tetapi sepertinya syarat tersebut tidak sepenuhnya terpenuhi. Pelaku perjuangan yang merasa dirugikan atas putusan BPSK mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung (MA). Hasilnya, banyak putusan BPSK yang dibatalkan oleh MA. Pertimbangan hukumnya yaitu alasannya yaitu BPSK dinilai tidak mempunyai wewenang untuk menuntaskan sengketa di ranah jasa keuangan alasannya yaitu perjanjian yang dilakukan yaitu perjanjian biasa.

Sebagai forum yang membawahi sektor jasa keuangan baik perbankan maupun non bank, OJK mengeluarkan aturan penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi. Penyelesaian sengketa diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 Tahun 2013 ihwal Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Pasal 40-46 mengatur ihwal sengketa konsumen.

Tujuh pasal tersebut mengatur bahwa OJK mempunyai kewenangan untuk memfasilitasi sengketa yang terjadi antara konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK). OJK mempunyai forum tersendiri untuk menuntaskan sengketa konsumen yang dikenal dengan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS).

Lebih lanjut, kepada konsumen keuangan yang mengalami permasalahan dengan forum jasa keuangan diatur bahwa pertama kali pengaduan disampaikan ke forum jasa keuangan. OJK mewajibkan forum tersebut menangani pengaduan tersebut. Jika tidak sepakat maka konsumen sanggup mengadukan ke OJK atau Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di sektor jasa keuangan yang sama kewenangan dengan BPSK yang diatur oleh UU Perlindungan Konsumen. Ada 6 LAPS di sektor jasa keuangan yaitu BMAI (asuransi), BAPMI (Pasar Modal), LAPSPI (Perbankan), BMPPVI (Pembiayaan, Pegadaian, Modal Ventura) BMDP ( Dana Pensiun), BMPPI (Pers.Penjaminan).

Menanggai putusan MA, Arief Lambri selaku praktisi Hukum di salah satu perusahaan pembiyaan menilai hingga dikala ini belum ada kejelasan apakah sengketa yang terjadi antara konsumen dan LJK sanggup diselesaikan ke BPSK. Jika merujuk ke perjanjian kredit, penyelesaian sengketa biasanya sudah disepakati, apakah melalui forum penyelesaian sengketa atau pengadilan. “Pilihan aturan yang dikatakan dalam perjanjian harus diselesaikan melalui apa? Apakah mediasi atau melalui pengadilan?,” katanya.

Sebagai forum yang diawasi oleh OJK, perusahaan leasing mempunyai aturan sendiri bila terjadi dispute, yakni melalui LAPS. Bahkan OJK juga mensyaratkan bila para pihak ingin menuntaskan melalui BMPPVI, sebelumnya harus ada upaya penyelesaian dari kedua belah pihak terlebih dahulu. Jika ternyata tak ditemukan solusi, lanjutnya, maka sengketa sanggup diselesaikan ke arbitrase atau pengadilan. “Jadi katakanlah tidak ada kepuasan, harus diselesaikan dulu antara keduanya. Tidak sanggup pribadi dibawa ke LAPS atau BPSK,” tambahnya menyerupai dilansir dari Hukumonline

Tetapi dengan adanya LAPS, lanjutnya, maka konsumen dan perusahaan pembiayaan harus memaksimalkan forum tersebut dalam menuntaskan sengketa konsumen. Jalur ini sanggup dijadikan alternatif pertama bila terjadi sengketa atara konsumen dan LJK.

Koordinator Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menambahkan bahwa perjanjian antara konsumen dan LJK memang dikategorikan sebagai perjanjian biasa. Meski dikategorikan sebagai perjanjian biasa, namun tidak menghilangkan hak konsumen untuk menuntaskan sengketa ke BPSK.

Bagi Sudaryatmo, BPSK haruslah menjadi pilihan utama dalam sengketa yang terjadi mengingat biaya yang murah dan cepat ketimbang harus berperkara di pengadilan. “Ya sanggup (diselesaikan di BPSK), sejauh ini tetap ada BPSK yang cukup progresif menuntaskan sengketa konsumen dengan leasing,” katanya kepada hukumonline.

Berdasarkan catatan YLKI, komposisi pengaduan yang masuk sebanyak 60 persen yaitu sektor perbankan. Sedangkan 40 persen sisanya yaitu asuransi dan leasing.

Lalu bagaimana sebetulnya kiprah BPSK dalam menangani sengketa konsumen di sektor keuangan? Apakah keberadaan LAPS benar-benar menghapus kewenangan BPSK untuk sengketa konsumen di sektor jasa keuangan?

Anggota Komisi XI dewan perwakilan rakyat Hendrawan Supratikno memperlihatkan pendapat atas posisi abu-abu BPSK. Menurut politisi PDIP ini, sengketa yang terjadi di sektor keuangan sudah diatur dalam POJK. POJK tersebut, lanjutnya, memperlihatkan akomodasi penyelesaian sengketa di sektor keuangan. Meski demikian, lanjutnya, keberadaan LAPS tersebut tidak ‘membunuh’ kewenangan BPSK untuk menangani kasus sektor jasa keuangan. Hanya saja, LAPS yang disediakan oleh OJK lebih bersifat spesifik dan lebih efisien ketimbang BPSK. “Bisa juga (di BPSK) tapi OJK sudah ada peraturannya. OJK sudah memperlihatkan penyelesaian sesuai sektor, contohnya asuransi ada forum sendiri, leasing juga,” katanya kepada hukumonline, Senin (26/2).

Baca :


Mengingat kiprah dan kewenangan OJK yang mengawasi sektor jasa keuangan serta spesifikasi penyelesaian sengketa yang sudah disediakan, maka idealnya dispute yang terjadi di sektor jasa keuangan sudah selayaknya diselesaikan di LAPS.

“OJK juga sudah berhubungan dengan penegak hukum. Ini untuk efisiensi. Tidak menutup kemungkinan (BPSK menyelesaikan) tetapi nasabah ‘kan pengen cepat selesai, dan OJK lebih spesifik. Yang mengawasi yang melindungi konsumen keuangan yaitu OJK, berarti ada ketentuan yang lebih spesifik lex seorang jago dan sebaiknya konsumen lebih baik mengikuti yang spesifik,” pungkasnya. (***)