Ilmu Pengetahuan Cegah Risiko Hukum, Industri Jasa Keuangan Mesti Perketat Gcg

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Sektor jasa keuangan rawan terjadinya kejahatan. Karena itu, penerapan prinsip good corporate governance (GCG) dengan ketat diperlukan sanggup mencegah pelanggaran tersebut.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Erry Riana Hardjapamekas menilai salah satu sektor industri yang paling ketat peraturannya di Indonesia yaitu sektor jasa keuangan. Industri ini berada di bawah pengawasan beberapa forum yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI) dan Bursa Efek Indonesia.

Sektor jasa keuangan rawan terjadinya kejahatan Ilmu Pengetahuan Cegah Risiko Hukum, Industri Jasa Keuangan Mesti Perketat GCG
Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Risk Management dan Good Corporate Governance dalam Rangka Meminimalisir Risiko Hukum dan Kepatuhan pada Industri Keuangan” di Hotel Aryaduta Jakarta,
Selasa (27/2). Foto: CR-26/Hukumonline.
Meski sudah diatur secara ketat, ternyata Erry menilai masih ada celah tindak kejahatan dalam industri jasa keuangan sanggup terjadi. Karena itu, dalam mengantisipasi tindakan kejahatan tersebut, sektor jasa keuangan harus menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) secara ketat.

Menurut Erry, yang juga pernah menjabat sebagai komisaris utama di sekto perbankan, mengimbau penerapan prinsip GCG pada sektor korporasi jangan hanya sekadar formalitas, tetapi perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.

“Jangan melaksanakan GCG dengan terpaksa tapi dilakukan bahagia hati. Jangan menganggap itu sekadar formalitas alasannya yaitu ujungnya GCG itu untuk perbaikan,” kata Erry ketika menjadi pemateri dalam Workshop Hukumonline 2018 bertajuk “Penerapan Risk Management dan Good Corporate Governance dalam Rangka Meminimalisir Risiko Hukum dan Kepatuhan pada Industri Keuangan” di Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta, menyerupai dikutip dari Hukumonline, Selasa (27/2/2018).

Erry menjelaskan pelaporan GCG harus dilakukan industri keuangan kepada OJK setiap selesai tahun. Dalam pelaporan tersebut, terdapat tiga poin yakni perihal transparansi penerapan tata kelola perusahaan, evaluasi sendiri (self assessment), dan rencana tindakan/aksi (action plan). Dalam laporan tersebut menjadi materi evaluasi regulator mengenai baik dan buruknya pengelolaan perusahaan jasa keuangan.

Salah satu penerapan GCG di industri keuangan sudah diatur OJK melalui Peraturan Nomor 55/POJK.03/2016 perihal Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum. Dalam regulasi tersebut menjelaskan tata kelola yang baik yaitu tata cara pengelolaan bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairness).

Dalam kesempatan yang sama, Director of Bank Danamon, Rita Mirasari memberikan perusahaan jasa keuangan harus menerapkan mitigasi dalam menghadapi potensi risiko-risiko yang akan muncul di masa depan. Ia menilai antisipasi tersebut perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya kekeliruan atau fraud.

“Kita harus melihat tren ke depan, contohnya mata uang melemah tetapi exposure kita sangat besar lengan berkuasa dan kita tidak melaksanakan hedging (lindung nilai). Bagaimana memitigasinya dengan policy kita?” kata Rita.

Contoh lain, Rita menceritakan mengenai besarnya kredit macet fraud yang kerap terjadi di industri perbankan, salah satunya kredit fiktif. Menurut Rita, hal tersebut kerap terjadi alasannya yaitu masih lemahnya pengawasan di internal perusahaan tersebut. Kondisi tersebut juga dikhawatirkan berpotensi mengganggu kelangsungan bisnis perusahaan.

Dalam praktiknya, modus tindak pidana perbankan yang dilakukan. Diantaranya, tidak mencatatkan dana yang ditabung oleh nasabah dan permohonan kredit fiktif dengan memakai data nasabah usang yang sudah melunasi kredit dan debitur yang permohonannya tidak disetujui.

OJK mencatat dugaan tindak pidana perbankan paling banyak terjadi di bank perkreditan rakyat (BPR) dibanding bank swasta dan BPR Syariah (BPRS) sepanjang 2014-2016. Berdasarkan data 2016, sebanyak 88 persen dari BPR yang ditutup oleh OJK akhir fraud. Sedangkan BPR Syariah tercatat empat masalah dan bank swasta tercatat tanpa kasus. Baca juga: Pidana Perbankan Banyak Terjadi di BPR

Dalam periode 2016, OJK juga mencatat penyimpangan yang terjadi di BPR dan BPRS, kebanyakan ketika pendanaan yaitu sebanyak 13 masalah dengan nominal Rp 48,483 miliar. Kemudian penyimpangan perkreditan sebanyak 12 masalah dengan nominal Rp 46,969 miliar.

Tindak pidana perbankan di BPR tercatat paling banyak terjadi pada 2014 yaitu sebanyak 50 kasus. Kemudian sempat turun sampai 15 masalah pada 2015 dan meningkat menjadi sebanyak 21 masalah pada 2016.

Baca :


Dalam sektor jasa keuangan, fraud sanggup diartikan sebagai tindakan sengaja melanggar ketentuan internal (sistem dan prosedur) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku demi kepentingan pribadi atau pihak lain yang berpotensi merugikan perusahaan secara material ataupun moril.

Salah satu fraud yang pernah menimpa sektor jasa keuangan nasional yaitu masalah pembobolan rekening nasabah Citibank. Dalam masalah tersebut, pelaku memindahkan uang nasabah ke rekening pribadinya. Pelaku didakwa dengan tindak pidana pembersihan uang dan penggelapan yang dinilai melanggar UU Nomor 8 Tahun 2010 perihal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Nomor 10 Tahun 1998 perihal Perbankan. (***)

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment