Showing posts with label Hukum Bisnis. Show all posts
Showing posts with label Hukum Bisnis. Show all posts

Ilmu Pengetahuan Perbandingan Tubuh Perjuangan Berbentuk Perjuangan Dagang (Ud) Dengan Perseroan Terbatas (Pt)

Hukum Dan Undang Undang Badan perjuangan yakni kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan hemat yang bertujuan mencari keuntungan atau keuntungan. Badan Usaha seringkali disamakan dengan perusahaan, walaupun pada kenyataannya berbeda. Perbedaan utamanya, Badan Usaha yakni forum sementara perusahaan yakni kawasan dimana Badan Usaha itu mengelola faktor-faktor produksi.

Perseroan Terbatas (PT) dalam bahasa Belanda disebut dengan Naamloze Vennootschap yakni suatu badan hukum untuk menjalankan perjuangan yang mempunyai modal terdiri dari saham-saham, yang pemiliknya mempunyai bab sebanyak saham yang dimilikinya. Karena modalnya terdiri dari saham-saham yang sanggup diperjualbelikan, perubahan kepemilikan perusahaan sanggup dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.
Perseroan Terbatas atau dulu yang lebih sering dikenal dengan sebutan N.V (naamlooze vennootschap) ialah suatu bentuk perjuangan yang di tahun-tahun final banyak digunakan pedagang-pedagang, pengusaha-pengusaha dan sebagainya, untuk mencapai maksud dan tujuannya dalam lapangan industry, perdagangan dan sebagainya dan berstatus tubuh aturan (Soemitro, Rochmat, 1993 : 2).

 dan hemat yang bertujuan mencari keuntungan atau keuntungan Ilmu Pengetahuan Perbandingan Badan Usaha Berbentuk Usaha Dagang (UD) Dengan Perseroan Terbatas (PT)
Perbandingan Badan Usaha Berbentuk Usaha Dagang (UD) Dengan Perseroan Terbatas (PT).

Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie S.1847-23) sendiri tidak menawarkan definisi wacana Perseroan Terbatas dan hanyalah mengatur perseroan ini secara terbatas dan sederhana. Hanya ada 20 Pasal dalam KUHD yang khusus mengatur Perseroan Terbatas, yaitu Pasal 36-56.

Perseroan Terbatas yakni suatu komplotan untuk menjalankan usaha bersama yang mempunyai modal terdiri dari saham -saham, dan pemiliknya mempunyai bab sebanyak saham yang dimilikinya. Karena modalnya terdiri dari saham–saham yang sanggup diperjual belikan, maka perubahan ke Pemilikan perusahaan sanggup dilakukan tanpa perlu membubarkan perusahaan.

Perseroan Terbatas (PT) memang mempunyai kelebihan dimana harta kekayaan eksklusif pemegang saham dipisahkan dari harta perusahaan, sehingga dalam hal terjadi kerugian atau kebangkrutan hanya akan melibatkan harta sebatas yang disetorkan dalam bentuk kepemilikan saham. Namun, di sisi lain, tidak sanggup dipungkiri bahwa memang untuk pendirian Usaha Dagang (UD) jauh lebih gampang ketimbang pendirian PT yang mempunyai sejumlah persyaratan.

Pada prinsipnya, untuk setiap pendirian tubuh perjuangan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang juga diubahsuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pendiri. Perusahaan perseorangan yang Anda maksudkan di sini kami asumsikan yakni bentuk perjuangan yang umumnya disebut sebagai Usaha Dagang (“UD”). UD yakni salah satu bentuk tubuh perjuangan yang dimiliki oleh satu orang saja, berbeda dengan Perseroan Terbatas (“PT”) yang mensyaratkan adanya minimal dua orang pemegang saham.

Menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Praktis dan Bijak Mendirikan Badan Usaha (hal. 5), di mata hukum, UD sama dengan pemiliknya, yang artinya, tidak ada pemisahan kekayaan ataupun pemisahan tanggung jawab antara UD dan pemiliknya.

Berikut di bawah ini beberapa perbedaan antara UD dan PT:

Perbedaan Usaha Dagang dan Perseroan Terbatas

Perbedaan
Usaha Dagang (UD)
Perseroan Terbatas (PT)
Kepemilikan
Perseorangan
Minimal 2 orang pendiri/pemegang saham
Status Badan Hukum
Bukan Badan Hukum
Badan Hukum
Tanggung Jawab
Tidak terbatas, sampai ke harta pribadi
Terbatas, sebatas modal yang disetor/sebatas saham yang dimiliki
Fungsi pemilik dan pengurus
Pemilik, umumnya sekaligus sebagai pihak yang mengurus jalannya usaha
Ada pemisahan fungsi antara pemegang saham dan pengurus/direksi
Modal minimum
Tidak ditentukan
Tidak ditentukan

Modal dasar PT awalnya ditetapkan sebesar Rp 50 juta ini kemudian diubah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 wacana Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas (“PP 29/2016”).

PP 29/2016 mengatur bahwa modal dasar PT harus dituangkan dalam anggaran dasar yang dimuat dalam sertifikat pendirian PT. Besaran modal dasar PT ini ditentukan menurut janji para pendiri Perseroan Terbatas. Ini berarti, tidak ditetapkan lagi modal dasar minimum sebuah PT.

Penjelasan lebih lanjut wacana modal dasar PT sanggup Anda simak Besaran Modal Dasar Pendirian PT dan Rincian Biaya Notarisnya.

Menurut Irma Devita, untuk mendirikan UD, tidak disyaratkan secara mutlak harus dibentuk di hadapan notaris. Namun demikian, kalau bekerjasama (dalam arti bekerja sama) dengan suatu perusahaan besar atau instansi pemerintah, sertifikat pendirian ini biasanya akan dijadikan satu prasyarat. Umumnya, untuk UD hanya perlu mengajukan perizinan berupa:

1.    Izin Domisili Usaha dari Kantor Kelurahan dan Kecamatan kawasan usahanya;
2.    Mengajukan penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”) atas nama diri sendiri;
3.  Mengajukan permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (“SIUP”) perseorangan kepada Dinas Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan Perdagangan setempat. Namun, SIUP ini tidak diwajibkan bagi perjuangan perseorangan sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf c angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 wacana Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 wacana Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan, jadi boleh dibuat, boleh juga tidak.
4.  Jika suatu UD mempunyai SIUP, wajib dilanjutkan dengan registrasi Tanda Daftar Perusahaan (“TDP”) sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 wacana Wajib Daftar Perusahaan.

Sedangkan, untuk mendirikan PT ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 wacana Perseroan Terbatas(“UUPT”) yakni mengenai pendirian PT:

1.    memiliki minimal dua pemegang saham;
2. memiliki modal dasar yang ditentukan menurut janji para pendirinya, yang paling sedikit 25% dari modal dasar tersebut telah ditempatkan dan disetor penuh pada ketika pendirian;
3.    setiap pendiri wajib mengambil bab saham;
4.    didirikan dengan sertifikat notaris dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, dibutuhkan pengurusan izin-izin yang dibutuhkan bagi beroperasinya suatu PT:

1.    Pengesahan tubuh aturan PT dari Menteri Hukum dan HAM
2.    Surat Keterangan Domisili Perusahaan;
3.    NPWP;
4.    SIUP;
5.    TDP;
6.    Izin-izin teknis lainnya dari departemen teknis terkait.  

Jadi, dari perbedaan-perbedaan tersebut di atas nampak bahwa PT memang mempunyai kelebihan dimana harta kekayaan eksklusif pemegang saham dipisahkan dari harta perusahaan, sehingga dalam hal terjadi kerugian atau kebangkrutan hanya akan melibatkan harta sebatas yang disetorkan dalam bentuk kepemilikan saham. Namun, di sisi lain, tidak sanggup dipungkiri bahwa memang untuk pendirian UD jauh lebih gampang ketimbang pendirian PT yang mempunyai syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas. Demikian dilansir dari Hukumonline.

Selain UD dan PT, ada bentuk-bentuk perjuangan lain menyerupai Commanditaire Vennootschap(CV) dan firma, yang dijelaskan dalam artikel-artikel berikut:
Jika Anda ingin mendirikan jasa konsultan hukum, konsultan pajak maupun teknik dalam satu atap yang kami asumsikan maksud Anda yakni dalam satu tubuh usaha, bukan hanya dalam satu gedung, alasannya yakni dalam satu gedung dimungkinkan adanya lebih dari satu tubuh perjuangan (misal: di gedung A, ada PT B dan CV C). Pada dasarnya, sah-sah saja kalau Anda ingin mempunyai perjuangan jasa konsultan dalam banyak sekali bidang tersebut, di mana pada umumnya kantor konsultan aturan maupun pajak yakni berbentuk perseorangan, firma atau komplotan perdata, bisa juga berbentuk PT. Sehingga tidak dibatasi bidang apa yang akan dijalankan, kecuali dalam hal bidang perjuangan tersebut melanggar hukum. 

Referensi:
  1. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-perseroan-terbatas-pt
  2. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-perseroan-terbatas-pt
  3. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-perseroan-terbatas-pt
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-perseroan-terbatas-pt
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-perseroan-terbatas-pt
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-perseroan-terbatas-pt
  7. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-perseroan-terbatas-pt
  8. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-perseroan-terbatas-pt

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 wacana Wajib Daftar Perusahaan;
  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 wacana Perseroan Terbatas;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2016 wacana Perubahan Modal Dasar Perseroan Terbatas;
  4. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 wacana Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 wacana Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 wacana Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan, kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/12/2011 Tahun 2011 wacana Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 wacana Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan dan terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07/M-DAG/PER/2/2017 Tahun 2017 wacana Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 wacana Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.01/2014 wacana Akuntan Beregister Negara.

  • Pasal 1 ayat (2) PP 29/2016
  • Pasal 1 ayat (3) PP 29/2016
  • Pasal 7 ayat (1) UUPT
  • Pasal 1 dan Pasal 2 PP 29/2016
  • Pasal 7 ayat (2) UUPT
  • Pasal 7 ayat (1) UUPT
  • Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.01/2014 wacana Akuntan Beregister Negara.

Ilmu Pengetahuan Beneficial-Ownership Regulation Established To Chase Down Taxpayers In Tax-Haven Countries

Hukum Dan Undang Undang The OECD’s Global Forum on Transparency and the Exchange of Information (Global Forum) has mandated that Indonesia should establish a regulation which addresses the corporate obligation to provide information relating to corporations’ beneficial owners. This obligation relates to the Exchange of Information on demand which Indonesia is currently implementing within the financial sector.

According to Minister of Finance, Sri Mulyani, the disclosure of beneficial ownership information is an integral part of the principle Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) framework. The BEPS pushes for information disclosure all over the world, especially within developed countries, in a bid to chase down taxpayers who transfer their tax liabilities to tax-haven countries.

s Global Forum on Transparency and the Exchange of Information  Ilmu Pengetahuan Beneficial-Ownership Regulation Established to Chase down Taxpayers in Tax-Haven Countries
Sri Mulyani, Minister of Finance of the Republic of Indonesia. Photo by: HOL/SGP

“The current global ekspresi dominan is to encourage transparent business practices and good governance across all jurisdictions,” explained Mrs. Mulyani on Monday, 24 July from the House of Representatives building.

In addition, Indonesia, alongside other countries which have committed to the Automatic Exchange of Information (AEoI) mechanism in a bid to combat tax avoidance and evasion and the use of tax havens, will continue to support and participate in the Global Forum movement on taxation interests.

According to Poltak Maruli John Liberty Hutagaol, Director of International Taxation at the Ministry of Finance, the first phase assessment which was completed in 2014 did not include any beneficial-owner related initiative. During that initial phase, the Global Forum was still primarily focused upon formulating requirements relating to access to financial information by tax authorities.

However, standards are now changing and the Global Forum has revised the relevant terms of reference, adding beneficial-ownership regulations that participating countries, including Indonesia, must fully comply with during the second phase of the assessment. According to Mr. Hutagaol, the Global Forum will assess all of the regulations that apply to beneficial ownership, and these consist not only of regulations which address taxation, but also other areas which are relevant to the issue of beneficial ownership. Hence, fulfilment of the relevant regulations will not only concern the Directorate General of Taxation (Direktorat Jendral Pajak – DJP) and the Ministry of Finance, but ultimately all ministries and their related institutions.

“So, in order to successfully tackle this second round of assessment, the government has to be united. We have to help each other to show assessors that Indonesia is committed to taxation transparency as a country and is not a tax haven,” explained Mr. Hutagaol.

Yunus Husein, Chairman of the Draft Presidential Regulation Drafting Team also spoke to Hukumonline about this issue and explained that the drafting process for this new regulatory framework was completed last May.

Mr. Husein added that several ministries and related institutions had also been invited to express their views about the harmonization process with other regulations. This process resulted in the Draft Presidential Regulation on The Application of the Know-Your-Beneficial-Owner Principle by Corporations for the Prevention and Eradication of the Criminal Acts of Money Laundering and Terrorism Financing, which now only requires approval to be granted by the President.

"I do not know whether it has already been signed or not, however the discussion and harmonization processes have now been completed. Representatives from the DJP have also been involved due to their connection with the issue of taxation,” Mr. Yunus told Hukumonline on Friday, 14 July.

According to Mr. Hutagaol, the discourse on beneficial ownership emerged thanks to cooperation between the Global Forum and the Financial Action Task Force (FATF). The Global Forum has set itself the goal of encouraging information disclosure for taxation purposes in order to ensure that taxpayers around the world abide by the applicable tax rules which relate to the identities of registered taxpayers. Meanwhile, the FATF is aiming to encourage countries to fight money laundering and terrorism financing. These two institutions ultimately decided to collaborate to encourage disclosures of information relating to beneficial ownership, as well as to break down barriers between themselves.

Mr. Hutagaol is hopeful that the government will soon be able to finalize the new legal instruments which relate to beneficial ownership, as in October of this year (2017), the Global Forum will undertake its assessment. If the results of this assessment are bad, then Indonesia may well find itself ostracized by the international community due to its inability to force transparency from tax evaders or undertake aggressive tax planning.

Read :
"If things do not improve, then we will be ranked as a non-cooperative jurisdiction by international institutions such as the Global Forum, FATF and the European Union. The highest rating is compliant and as a country we should be aiming to at least achieve a ranking of one level under compliant, namely largely compliant. Hopefully we will be classified as having a compliant rating,” Mr. Hutagaol predicted.

In addition to being ostracized by the international community, Indonesia will also miss out on the opportunity to request reciprocal Exchanges of Information based on demands made by other countries or partner jurisdictions if its ranking is poor. Source: Hukumonline (***)

Ilmu Pengetahuan Keputusan Aturan Ma Atas Kewenangan Bpsk Mengadili Sengketa Forum Pembiayaan Dan Nasabah

Hukum Dan Undang Undang Apakah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang mengadili sengketa yang timbul antara Lembaga Pembiayaan dengan debitur/nasabah terkait pelaksanaan perjanjian kredit?

Dalam praktik perjanjian pembiayaan konsumen dengan perjanjian fidusia maupun hak tanggungan, tak jarang dikala kreditur melaksanakan penarikan benda yang menjadi jaminan fidusia atau hak tanggungan dikarenakan pihak debitur melaksanakan wanprestasi dengan tidak membayar kewajiban angsuran, pihak debitur mengadukan kreditur ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang menjadi pertanyaan hukum, apakah BPSK mempunyai kewenangan untuk menuntaskan sengketa yang semacam itu?

Secara lebih terperinci sanggup diilustrasikan ibarat ini. A mengajukan kredit motor ke perusahaan finance dengan cicilan Rp1 juta per bulan selama 2 tahun. Perusahaan finance (pihak kreditur) tersebut lalu menyetujuinya, dengan perjanjian fidusia, di mana jikalau A wanprestasi melunasi cicilannya 3 bulan berturut-turut maka pihak kreditur akan mengambil motor tersebut dan melelangnya sebagai pelunasan utang. Di bulan kelima s/d kedelapan ternyata A wanprestasi, pihak kreditur lalu menarik motornya dan melelangnya.

 Apakah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang mengadili sengketa yang timbul anta Ilmu Pengetahuan Keputusan Hukum MA atas Kewenangan BPSK Mengadili Sengketa Lembaga Pembiayaan dan Nasabah
Keputusan Hukum MA atas Kewenangan BPSK Mengadili Sengketa Lembaga Pembiayaan dan Nasabah/uob.co.id

Sebelum pelelangan dilakukan, A mengadukan duduk kasus ini ke BPSK setempat. BPSK lalu tetapkan pihak kreditur telah melanggar UU No. 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, membatalkan perjanjian kredit motor tersebut, memerintahkan kreditur untuk mengembalikan motornya kepada A dan memerintahkan A untuk melunasi cicilannya.

Atas permasalahan aturan ini sampai 2012 Mahkamah Agung (MA) pada umumnya berpandangan bahwa BPSK berwenang mengadili sengketa yang timbul akhir wanprestasi dan hukuman jaminan sehubungan dengan perjanjian kredit antara forum pembiayaan dengan debitur. Pandangan ini terlihat dalam beberapa putusannya, No. 438 K/Pdt.Sus/2008 tanggal 22 September 2008 (PT Otto Multi Artha vs M), No. 335 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 6 September 2012 (PT Mandiri Tunas Finance vs S) dan No. 589 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 22 November 2012 (PT Sinarmas Multifinance vs ESS).

Dalam kasus-kasus tersebut Mahkamah Agung memperkuat putusan pengadilan negeri yang menolak keberatan dari pihak kreditur yang mendalilkan bahwa putusan BPSK yang membatalkan perjanjian kredit antara pihak kreditur dan debitur seharusnya batal demi aturan alasannya ialah sengketa yang terjadi bukanlah sengketa yang menjadi kewenangan BPSK.

Bahkan dalam putusan No. 267 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 Juli 2012 (Novan Ferdiano vs PT U Finance Indonesia) Mahkamah Agung menilai putusan PN Surakarta No. 149/Pdt.G/BPSK/2011/PN.Ska tanggal 9 November 2011 salah dalam menerapkan hukum, padahal putusan tersebut telah menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang mengadili sengketa yang terjadi tersebut alasannya ialah kekerabatan aturan antara Pemohon Keberatan dengan Termohon Keberatan berdasarkan perjanjian fidusia. Dalam pertimbangannya MA justru menguatkan putusan BPSK dan membatalkan putusan PN Surakarta tersebut.

Namun semenjak final 2013 mulai terjadi perubahan pandangan aturan di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen baik berdasarkan perjanjian fidusia maupun hak tanggungan bukanlah termasuk sengketa konsumen, oleh hasilnya BPSK tidak mempunyai kewenangan untuk mengadilinya.

Sengketa yang timbul dari pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tersebut berdasarkan MA merupakan sengketa perjanjian yang mana hal tersebut merupakan kewenangan dari pengadilan negeri. Hal ini terlihat dalam putusannya No. 27 K/Pdt.Sus/2013 tanggal 23 Maret 2013 (Ny. Yusmaniar vs PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk.). Dalam pertimbangannya majelis kasasi yang diketuai oleh Djafni Djamal, SH., MH dan beranggotakan Soltony Mohdally, SH., MH dan Dr. Nurul Elmiyah, SH, MH menyatakan:
“…hubungan aturan antara Penggugat dan Tergugat, ternyata ialah didasarkan pada perjanjian pembiayaan bersama dengan penyerahan milik secara fiducia, yang menerapkan kekerabatan aturan perdata dan tidak termasuk sengketa konsumen, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, oleh hasilnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Padang, tidak berwenang untuk mengadilinya”.

Putusan ini sebetulnya bukanlah putusan yang pertama di mana MA menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang mengadili sengketa yang didasarkan pada perjanjian fidusia maupun hak tanggungan. Sebelumnya pada tahun 2011 Mahkamah Agung pernah memutus hal yang serupa, yaitu dalam Putusan No. 477 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 25 Agustus 2011 (Haasri vs PT Astra Sedaya Finance) dan Putusan No. 566 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 14 November 2012 namun belum diikuti sepenuhnya oleh majelis hakim lainnya di MA, sebagaimana terlihat dari masih adanya 2 putusan MA di tahun 2012 sebagaimana di atas.

Dari penelusuran yang saya lakukan setidaknya ditemukan 22 buah putusan MA pasca Putusan 27 K/Pdt.Sus/2013 tersebut yang secara prinsipil sejalan dengan putusan tersebut, sementara tak ditemukan satu pun putusan MA yang bertentangan dengan perilaku aturan tersebut.

Daftar Putusan Mahkamah Agung yang Menyatakan BPSK Tidak Berwenang Mengadili Sengketa yang Timbul Dari Pelaksanaan Perjanjian Fidusia/Hak Tanggungan:
No.
Putusan Mahkamah Agung
Tanggal Putusan
1.
355 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
21-Okt-14
2.
472 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
17-Feb-15
3.
572 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
18-Nov-14
4.
25 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
27-Mar-15
5.
341 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
18-Jun-15
6.
481 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
28-Agt-15
7.
549 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
22-Okt-15
8.
770 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
22-Des-15
9.
56 PK/Pdt.Sus-BPSK/2016
15-Jun-16
10.
64 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
18-Jun-16
11.
188 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Mei-16
12.
189 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
03-Agt-16
13.
311 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
18-Agt-16
14.
350 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
28-Jun-16
15.
352 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
25-Jul-16
16.
397 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
08-Sep-16
17.
506 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
14-Sep-16
18.
592 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Agt-16
19.
593 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Agt-16
20.
594 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Agt-16
21.
620 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Agt-16
22.
913 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
27-Okt-16

Namun demikian, walaupun pada prinsipnya putusan-putusan MA di atas pertanda perilaku aturan yang konsisten bahwa BPSK tidak berwenang menuntaskan sengketa yang timbul dari pelaksanaan perjanjian pembiayaan kredit dengan jaminan fiducia atau hak tanggungan, ternyata masih terdapat beberapa perbedaan khususnya mengenai apa amar putusan yang harus dijatuhkan pengadilan.


Dalam beberapa putusan keberatan atas putusan BPSK, tak jarang selain MA menyatakan dalam amarnya menyatakan BPSK tidak berwenang mengadili sengketa a quo, MA juga menyatakan membatalkan putusan BPSK tersebut. Hal ini contohnya terlihat dalam Putusan No. 27 K/Pdt.Sus/2013, 770 K/Pdt.Sus-BPSK/2015.

Baca :

Namun dalam beberapa putusan lainnya yang membatalkan putusan pengadilan negeri, MA di tingkat kasasi hanya memutus bahwa BPSK tidak berwenang, tanpa diikuti penghapusan terhadap putusan BPSK terkait. Hal ini terlihat contohnya dalam Putusan No. 306 K/Pdt.Sus-BPSK/2013, 188 K/Pdt.Sus-BPSK/2016, 189 K/Pdt.Sus-BPSK/2016, 56 PK/Pdt.Sus-BPSK/2016 dan sejumlah putusan lainnya.

Terlepas dari perumusan amar putusan sebagaimana di atas, konsistensi perilaku MA atas permasalahan aturan ini sanggup menjadi contoh bagi BPSK maupun para hakim di pengadilan negeri, bahwa BPSK ke depan seharusnya tidak lagi menuntaskan sengketa terkait pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen ini, dan menyarankan pihak debitur untuk mengajukan somasi perdata ke pengadilan negeri saja. (***)

By: Arsil, Pemerhati Hukum (Hukumonline).