Showing posts with label Perlindungan Konsumen. Show all posts
Showing posts with label Perlindungan Konsumen. Show all posts

Ilmu Pengetahuan Mantan Dirut & Manajer Klaim Pt Allinz Kembali Dilaporkan Ke Polisi

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Mantan Direktur Utama PT Allianz Life Indonesia, Joachim Wessling, dan mantan Manajer Klaim Allianz, Yuliana Firmansyah, kembali dilaporkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya.

Laporan ini dilakukan oleh orang yang berbeda, atas nama Mario Sastra Wijaya, dengan kuasa aturan yang sama dengan laporan sebelumnya, yakni Alvin Lim. Dalam laporannya, korban merasa dirugikan alasannya ialah klaim asuransinya tidak dicairkan oleh PT Allianz.
 Mantan Direktur Utama PT Allianz Life Indonesia Ilmu Pengetahuan Mantan Dirut & Manajer Klaim PT Allinz Kembali Dilaporkan ke Polisi
Gedung Allianz Insurance. tirto/andrey gromico
Syarat yang diberikan oleh Allianz untuk mencairkan dana dirasa tidak masuk akal. Pasalnya, dalam proses pencairan klaim asuransi kliennya, pihak Allianz meminta rekam medis pasien. Padahal, berdasar peraturan pemerintah, rekam medis tersebut dihentikan dibagikan kepada sembarang orang, termasuk pada pasien. Hal itu dianggap melanggar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008.

“Atas kerugian material sejumlah Rp25,5 juta, pelapor melaporkan ke Polda Metro Jaya dengan kuasa diberikan kepada LQ Indonesia Lawfirm,” terang kuasa aturan korban, Alvin Lim, Kamis (9/11/2017) di Polda Metro Jaya.

Mario Sastra Wijaya merupakan salah satu dari 13 klien yang diwakili Alvin ketika pengaduan terhadap Joachim dan Yuliana. Upaya ini merupakan reaksi balik dari Alvin alasannya ialah masih ada 11 orang yang belum menerima ganti rugi materiil dari pihak Allianz atas polis asuransi mereka.

“Allianz sebelumnya lepas dari jeratan pidana kasus dengan pelapor Ifranius Algadri dan Indah Goena Nanda. Bukannya introspeksi diri dan berbenah, malah Allianz menyudutkan para pelapor dan mengancam menggugat saya selaku pengacara mereka,” terang Alvin lagi.

Untuk diketahui, pencabutan laporan terhadap kasus Joachim dan Yuliana telah dilakukan melalui surat yang ditandatangani masing-masing pelapor di atas materai Rp6.000 pada Jumat (3/`11) lalu. Setelah itu, pada Senin (6/11), pihak Allianz menyampaikan bahwa mereka sudah menciptakan laporan pidana terhadap para kliennya.

Baca :
Hingga hari ini, identitas klien yang dilaporkan oleh pihak Allianz masih belum diketahui. Laporan ini diterima dalam nomor laporan polisi : LP/5418/XI/2017/PMJ/Dit.Reskrimsus. Yuliana dan Joachim diadukan atas pelanggaran Undang-undang Perlindungan Konsumen dan dituntut kerugian materiil dan imateriil.

Mereka berdua dianggap melanggar Pasal 62 ayat (1) juncto Pasal 8 abjad F, Pasal 10 abjad C, Pasal 18 dan Pasal 63 abjad F Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 perihal Perlindungan Konsumen, demikian dikutip dari Tirto.id.(***)

Ilmu Pengetahuan Saran Bpkn Sebelum Melaksanakan Pembelian Rumah

Hukum Dan Undang Undang  Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen ialah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh lantaran itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan aturan yang berpengaruh bagi pemerintah dan forum proteksi konsumen swadaya masyarakat untuk melaksanakan upaya pemberdayaan konsumen melalui training dan pendidikan konsumen. 

Fungsi dan kiprah Badan Perlindungan Konsumen Nasional dalam mendapatkan pengaduan dari banyak sekali pihak mengenai pelanggaran hak-hak konsumen akan sanggup membantu upaya proteksi konsumen melalui rekomendasi kepada pemerintah mengenai perlunya penyelesaian pelanggaran hak-hak konsumen pada level atas dan pada level bawah akan saling melengkapi dengan rekomendasi Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat atas pengaduan-pengaduan yang perlu segera diselesaikan melalui mekanisme aturan yang berlaku. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka (12): “Badan Perlindungan Konsumen Nasional ialah tubuh yang dibuat untuk membantu upaya pengembangan proteksi konsumen”.

 Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen ialah tingkat kesadaran konsumen akan hakny Ilmu Pengetahuan Saran BPKN Sebelum Melakukan Pembelian Rumah
Ilustrasi. Bentuk-bentuk perumahan Elit yag siap di Jual/www.creohouse.co.id

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) ialah adalah tubuh yang dibuat untuk membantu upaya pengembangan proteksi konsumen. BPKN mempunyai tugas:
  • memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang proteksi konsumen;
  • melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang proteksi konsumen;
  • melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
  • mendorong berkembangnya forum proteksi konsumen swadaya masyarakat;
  • menyebarluaskan gosip melalui media mengenai proteksi konsumen dan memasyarakatkan perilaku keberpihakan kepada konsumen;
  • menerima pengaduan wacana proteksi konsumen dari masyarakat, forum proteksi konsumen swadaya masyarakat, atau Pelaku Usaha; dan Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

Kaprikornus bagi konsumen ingin melaksanakan pembeli terlebih dahulu harus mencermati rekam jejak pengembang, apakah sudah atau belum mengantongi izin kemudian mengecek akta induk tanah ke BPN.

Bisnis di bidang perumahan semakin berkembang pesat, selaras itu penyediaan perumahan bagi masyarakat meningkat. Bagi masyarakat yang ingin membeli rumah, jangan lekas tergiur dengan iklan dan penawaran yang disodorkan pengembang. Sebagai konsumen, masyarakat harus cermat sebelum membeli rumah, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan. Koordinator komisi advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal E Halim, menyebut sedikitnya 2 hal yang perlu diperhatikan masyarakat sebelum membeli rumah baik horizontal (rumah tapak) atau vertikal (rumah susun).

Pertama, mencermati apakah pengembang sudah mengantongi izin terkait ibarat penggunaan lahan, tata ruang, dan IMB. Kedua, mengenai akta induk, lantaran nantinya akta itu akan dipecah sesuai dengan jumlah pembeli. Biasanya, pengembang menyampaikan nomor akta induk kepada konsumen. Konsumen perlu mengecek akta induk itu apakah sudah tercatat di BPN atau belum. Sertifikat ini rawan diagunkan kepada pihak lain tanpa diketahui pembeli.

Rizal mengakui tidak gampang bagi masyarakat untuk mencermati banyak sekali hal tersebut lantaran tidak mengetahui apa saja aturan yang berlaku di bidang perumahan. Persoalan ini yang dihadapi ratusan orang yang membeli 355 unit rumah di salah satu perumahan di kelurahan Kranji, Kecamatan Bekasi Barat. Para pembeli itu telah melaksanakan komitmen kredit pembelian rumah melalui kemudahan KPR dari dua bank BUMN. Ada juga pembeli yang membeli secara tunai kepada PT NK, perusahaan pengembang.

Dalam proses pembayaran kredit itu, para pembeli kaget saat mendapatkan surat dari sebuah bank asal Malaysia. Intinya, para pembeli harus mengosongkan rumah itu lantaran PT NK telah menimbulkan tanah di perumahan itu sebagai jaminan kredit modal kerja, dan pengembang mengalami kemacetan dalam pembayaran.

Rizal menyampaikan BPKN sudah meminta keterangan dari para pihak terkait yaitu bank, pengembang, pembeli, dan OJK. Hasilnya, BPKN menemukan dua bank BUMN yang memfasilitasi pembiayaan kredit perumahan itu tidak sanggup menyampaikan jaminan atau kepastian aturan kepada pembeli mengenai keberadaan akta hak milik atas rumah yang dicicil.


Sebagian besar pemohon KPR tidak mempunyai IMB. Ada itikad tidak baik dari pengembang dalam menjalankan acara usahanya sebagaimana pasal 7-10 UU No. 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen yakni tidak memberi gosip yang benar, jelas, dan jujur pada awal derma kredit. “Ada bahaya pidana paling usang 5 tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar bagi pelaku perjuangan yang melanggar pasal 8-10 UU Perlindungan Konsumen,” kata komisioner BPKN itu dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (25/1).

Selanjutnya, BPKN menemukan dua bank BUMN itu kurang menerapkan prinsip collateral yang merupakan jaminan yang menjadi dasar pihak bank menyampaikan pembiayaan kepada konsumen. Sertifikat atau objek jaminan yang menjadi salah satu unsur penting dalam derma kredit tidak diperhatikan, padahal itu diatur dalam Pasal 2 dan 8 UU No.10 Tahun 1998 wacana Perbankan. Terjadi peralihan akta rumah sekitar 204 akta yang seharusnya berada dalam penguasaan dua bank BUMN itu tapi dikuasai bank lain sehingga mengakibatkan kerugian bagi konsumen.

Sebagai upaya untuk menuntaskan dilema itu BPKN meminta dua bank BUMN sebagai forum pembiayaan kredit perumahan Violet Garden itu untuk menghentikan sementara proses penagihan cicilan kepada pembeli hingga ada jaminan para pembeli akan mendapat akta sesudah melunasi pembayaran KPR. Kemudian, kedua bank BUMN dan PT NK diminta segera menuntaskan kewajibannya untuk menyerahkan akta rumah kepada pembeli yang sudah melunasi pembayaran KPR. Selanjutnya,kepada seluruh pembeli yang masih dalam proses cicilan untuk menunda pembayaran angsuran hingga ada jaminan mengenai keberadaan sertifikat.

Ketua BPKN, Ardiansyah Parman, berharap pemangku kepentingan menjalankan peraturan perundang-undangan terkait perumahan dan perbankan dengan baik sehingga tidak merugikan konsumen. Pemerintah dilarang lepas tangan sesudah menerbitkan izin bagi pengembang, tapi melaksanakan pengawasan. Pihak pengembang wajib mematuhi aturan dan mekanisme dalam menjalankan bisnis perumahan.

Dalam rangka proteksi konsumen, Ardiansyah mengingatkan pemerintah untuk mengawasi pengembang dalam melaksanakan isi kesepakatan dalam perjanjian perikatan jual beli. Merujuk Pasal 42 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2011 wacana Perumahan dan Kawasan Permukiman, perjanjian itu harus memenuhi persyaratan kepastian atas beberapa hal ibarat pemilikan tanah, izin mendirikan bangunan induk dan keterbangunan perumahan paling sedikit 20 persen. Begitu pula mengacu klarifikasi Pasal 43 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2011 wacana Rumah Susun.

Unsur Kepastian

Ardiansyah menegaskan proses pemasaran rumah harus menerapkan unsur kepastian. Pasal 8 ayat (1) abjad f UU Perlindungan Konsumen melarang pelaku perjuangan memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi. Ketentuan senada juga diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU Perlindungan konsumen, melarang pelaku perjuangan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seperti menunjukkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Lebih tegas lagi Ardianysah menyebut pasal 10 UU Perlindungan Konsumen, melarang pelaku perjuangan menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau menciptakan pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa. “Pelaku perjuangan yang melanggar ketentuan itu terancam pidana,” tukasnya.

Tak ketinggalan Ardiansyah mengingatkan kepada masyarakat selaku konsumen untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terkait transaksi pembelian rumah. Sedikitnya ada 4 hal yang perlu diperhatikan. Pertama, adanya kepastian lokasi rumah atau sesuai dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota (RTRW) dengan izin lokasi yang dimiliki. Kedua, ada kepastian kepemilikan tanah oleh pengembang dengan membuktikan akta hak atas tanah. Ketiga, mengantongi IMB. Keempat, ada jaminan dari forum pembiayaan akan terlaksananya pembangunan rumah.

Tabel: Jumlah Pengaduan ke BPKN (2013-2017) untuk 5 komoditas.

No   Komoditi                               2013        2014       2015       2016       2017

1.     Perbankan                              151          177         200          94           60

2.     Pembiayaan Konsumen         115          107          90           46           53

3.     Perumahan Properti                8               9            4             24           16

4.     Transportasi                            6               4            2              5             4

5.     Asuransi                                  6               4           2               2             1


Sumber data BPKN.

Perkara perumahan/properti masuk dalam 5 besar pengaduan terbanyak yang diterima BPKN setiap tahun (tabel). Ardiansyah menyebut BPKN akan mengkaji lebih lanjut dilema yang menimpa konsumen di sektor perumahan/properti. Dia yakin masalah yang terjadi di lapangan jumlahnya lebih besar daripada yang diterima BPKN. (Sumber : Hukumonline)

Baca :

Dasar Hukum :
  1. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
  2. Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
  3. Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
  4. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional

Ilmu Pengetahuan Keputusan Aturan Ma Atas Kewenangan Bpsk Mengadili Sengketa Forum Pembiayaan Dan Nasabah

Hukum Dan Undang Undang Apakah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang mengadili sengketa yang timbul antara Lembaga Pembiayaan dengan debitur/nasabah terkait pelaksanaan perjanjian kredit?

Dalam praktik perjanjian pembiayaan konsumen dengan perjanjian fidusia maupun hak tanggungan, tak jarang dikala kreditur melaksanakan penarikan benda yang menjadi jaminan fidusia atau hak tanggungan dikarenakan pihak debitur melaksanakan wanprestasi dengan tidak membayar kewajiban angsuran, pihak debitur mengadukan kreditur ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Yang menjadi pertanyaan hukum, apakah BPSK mempunyai kewenangan untuk menuntaskan sengketa yang semacam itu?

Secara lebih terperinci sanggup diilustrasikan ibarat ini. A mengajukan kredit motor ke perusahaan finance dengan cicilan Rp1 juta per bulan selama 2 tahun. Perusahaan finance (pihak kreditur) tersebut lalu menyetujuinya, dengan perjanjian fidusia, di mana jikalau A wanprestasi melunasi cicilannya 3 bulan berturut-turut maka pihak kreditur akan mengambil motor tersebut dan melelangnya sebagai pelunasan utang. Di bulan kelima s/d kedelapan ternyata A wanprestasi, pihak kreditur lalu menarik motornya dan melelangnya.

 Apakah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang mengadili sengketa yang timbul anta Ilmu Pengetahuan Keputusan Hukum MA atas Kewenangan BPSK Mengadili Sengketa Lembaga Pembiayaan dan Nasabah
Keputusan Hukum MA atas Kewenangan BPSK Mengadili Sengketa Lembaga Pembiayaan dan Nasabah/uob.co.id

Sebelum pelelangan dilakukan, A mengadukan duduk kasus ini ke BPSK setempat. BPSK lalu tetapkan pihak kreditur telah melanggar UU No. 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, membatalkan perjanjian kredit motor tersebut, memerintahkan kreditur untuk mengembalikan motornya kepada A dan memerintahkan A untuk melunasi cicilannya.

Atas permasalahan aturan ini sampai 2012 Mahkamah Agung (MA) pada umumnya berpandangan bahwa BPSK berwenang mengadili sengketa yang timbul akhir wanprestasi dan hukuman jaminan sehubungan dengan perjanjian kredit antara forum pembiayaan dengan debitur. Pandangan ini terlihat dalam beberapa putusannya, No. 438 K/Pdt.Sus/2008 tanggal 22 September 2008 (PT Otto Multi Artha vs M), No. 335 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 6 September 2012 (PT Mandiri Tunas Finance vs S) dan No. 589 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 22 November 2012 (PT Sinarmas Multifinance vs ESS).

Dalam kasus-kasus tersebut Mahkamah Agung memperkuat putusan pengadilan negeri yang menolak keberatan dari pihak kreditur yang mendalilkan bahwa putusan BPSK yang membatalkan perjanjian kredit antara pihak kreditur dan debitur seharusnya batal demi aturan alasannya ialah sengketa yang terjadi bukanlah sengketa yang menjadi kewenangan BPSK.

Bahkan dalam putusan No. 267 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 25 Juli 2012 (Novan Ferdiano vs PT U Finance Indonesia) Mahkamah Agung menilai putusan PN Surakarta No. 149/Pdt.G/BPSK/2011/PN.Ska tanggal 9 November 2011 salah dalam menerapkan hukum, padahal putusan tersebut telah menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang mengadili sengketa yang terjadi tersebut alasannya ialah kekerabatan aturan antara Pemohon Keberatan dengan Termohon Keberatan berdasarkan perjanjian fidusia. Dalam pertimbangannya MA justru menguatkan putusan BPSK dan membatalkan putusan PN Surakarta tersebut.

Namun semenjak final 2013 mulai terjadi perubahan pandangan aturan di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen baik berdasarkan perjanjian fidusia maupun hak tanggungan bukanlah termasuk sengketa konsumen, oleh hasilnya BPSK tidak mempunyai kewenangan untuk mengadilinya.

Sengketa yang timbul dari pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tersebut berdasarkan MA merupakan sengketa perjanjian yang mana hal tersebut merupakan kewenangan dari pengadilan negeri. Hal ini terlihat dalam putusannya No. 27 K/Pdt.Sus/2013 tanggal 23 Maret 2013 (Ny. Yusmaniar vs PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk.). Dalam pertimbangannya majelis kasasi yang diketuai oleh Djafni Djamal, SH., MH dan beranggotakan Soltony Mohdally, SH., MH dan Dr. Nurul Elmiyah, SH, MH menyatakan:
“…hubungan aturan antara Penggugat dan Tergugat, ternyata ialah didasarkan pada perjanjian pembiayaan bersama dengan penyerahan milik secara fiducia, yang menerapkan kekerabatan aturan perdata dan tidak termasuk sengketa konsumen, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 wacana Perlindungan Konsumen, oleh hasilnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Padang, tidak berwenang untuk mengadilinya”.

Putusan ini sebetulnya bukanlah putusan yang pertama di mana MA menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang mengadili sengketa yang didasarkan pada perjanjian fidusia maupun hak tanggungan. Sebelumnya pada tahun 2011 Mahkamah Agung pernah memutus hal yang serupa, yaitu dalam Putusan No. 477 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 25 Agustus 2011 (Haasri vs PT Astra Sedaya Finance) dan Putusan No. 566 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 14 November 2012 namun belum diikuti sepenuhnya oleh majelis hakim lainnya di MA, sebagaimana terlihat dari masih adanya 2 putusan MA di tahun 2012 sebagaimana di atas.

Dari penelusuran yang saya lakukan setidaknya ditemukan 22 buah putusan MA pasca Putusan 27 K/Pdt.Sus/2013 tersebut yang secara prinsipil sejalan dengan putusan tersebut, sementara tak ditemukan satu pun putusan MA yang bertentangan dengan perilaku aturan tersebut.

Daftar Putusan Mahkamah Agung yang Menyatakan BPSK Tidak Berwenang Mengadili Sengketa yang Timbul Dari Pelaksanaan Perjanjian Fidusia/Hak Tanggungan:
No.
Putusan Mahkamah Agung
Tanggal Putusan
1.
355 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
21-Okt-14
2.
472 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
17-Feb-15
3.
572 K/Pdt.Sus-BPSK/2014
18-Nov-14
4.
25 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
27-Mar-15
5.
341 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
18-Jun-15
6.
481 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
28-Agt-15
7.
549 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
22-Okt-15
8.
770 K/Pdt.Sus-BPSK/2015
22-Des-15
9.
56 PK/Pdt.Sus-BPSK/2016
15-Jun-16
10.
64 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
18-Jun-16
11.
188 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Mei-16
12.
189 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
03-Agt-16
13.
311 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
18-Agt-16
14.
350 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
28-Jun-16
15.
352 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
25-Jul-16
16.
397 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
08-Sep-16
17.
506 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
14-Sep-16
18.
592 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Agt-16
19.
593 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Agt-16
20.
594 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Agt-16
21.
620 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
31-Agt-16
22.
913 K/Pdt.Sus-BPSK/2016
27-Okt-16

Namun demikian, walaupun pada prinsipnya putusan-putusan MA di atas pertanda perilaku aturan yang konsisten bahwa BPSK tidak berwenang menuntaskan sengketa yang timbul dari pelaksanaan perjanjian pembiayaan kredit dengan jaminan fiducia atau hak tanggungan, ternyata masih terdapat beberapa perbedaan khususnya mengenai apa amar putusan yang harus dijatuhkan pengadilan.


Dalam beberapa putusan keberatan atas putusan BPSK, tak jarang selain MA menyatakan dalam amarnya menyatakan BPSK tidak berwenang mengadili sengketa a quo, MA juga menyatakan membatalkan putusan BPSK tersebut. Hal ini contohnya terlihat dalam Putusan No. 27 K/Pdt.Sus/2013, 770 K/Pdt.Sus-BPSK/2015.

Baca :

Namun dalam beberapa putusan lainnya yang membatalkan putusan pengadilan negeri, MA di tingkat kasasi hanya memutus bahwa BPSK tidak berwenang, tanpa diikuti penghapusan terhadap putusan BPSK terkait. Hal ini terlihat contohnya dalam Putusan No. 306 K/Pdt.Sus-BPSK/2013, 188 K/Pdt.Sus-BPSK/2016, 189 K/Pdt.Sus-BPSK/2016, 56 PK/Pdt.Sus-BPSK/2016 dan sejumlah putusan lainnya.

Terlepas dari perumusan amar putusan sebagaimana di atas, konsistensi perilaku MA atas permasalahan aturan ini sanggup menjadi contoh bagi BPSK maupun para hakim di pengadilan negeri, bahwa BPSK ke depan seharusnya tidak lagi menuntaskan sengketa terkait pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen ini, dan menyarankan pihak debitur untuk mengajukan somasi perdata ke pengadilan negeri saja. (***)

By: Arsil, Pemerhati Hukum (Hukumonline).