Ilmu Pengetahuan Fungsi Internal Peraturan Perundang-Undangan
Fungsi Internal Peraturan Perundang-Undangan Fungsi internal ialah fungsi peraturan perundang-undangan sebagai subsistem hukum terhadap sistem kaidah aturan pada umumnya. Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi :
Fungsi Internal Peraturan Perundang-Undangan |
a. Fungsi Penciptaan Hukum
Fungsi Penciptaan Hukum - Pemikiran tentang hukum dalam beberapa tahun terakhir ini telah banyak mengalami perubahan sebagai akhir dari perubahan besar dalam masyarakat, teknologi dan tekanan-tekanan yang disebabkan pertambahan penduduk. Hukum sebagai kaidah sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku disuatu masyarakat. Bahkan sanggup di katakan bahwa aturan itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum yang baik ialah aturan yang sesuai dengan aturan yang hidup (living law) dalam masyarakat, tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Indonesia sebagai negara aturan yang menganut sistim “civil law”, yang merupakan warisan dari kolonial Belanda sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistim civil law ini, aturan yang tertulis ialah merupakan primadona sebagai sumber hukum.
Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dalam politik aturan lazim didapati suatu kata ungkapan yaitu “hukum sebagai sarana atau aturan sebagai sarana pembaharuan masyarakat“. Ungkapan tersebut terkait dengan konsep Roscoo Pound yang menyebutkan aturan sebagai alat rekayasa sosial (law as tools social of enggineering).
Sudikno Mertokusumo menyatakan, kegiatan kehidupan insan itu sangat luas. Tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Sehingga tidak mungkin tercakup dalam semua peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh karenanya wajar, kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang sanggup meliputi keseluruhan kehidupan manusia. Dengan demikian, dikarenakan hukumnya tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan.
Konsep aturan sebagai sarana pembaharuan masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Muchtar Kusumaatmaja bahwa sumber utama kaidah aturan itu di Indonesia ialah aturan yang tertulis atau undang-undang atau peraturan perundang-undangan.
Penciptaan aturan (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah aturan yang berlaku umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, aturan sanggup pula terbentuk melalui ajaran-ajaran aturan (doktrin) yang diterima dan dipakai dalam pembentukan hukum.
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum. Peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem aturan nasional. Pemakaian peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem aturan nasional lantaran :
- Sistem aturan Indonesia – sebagai akhir sistem aturan Hindia Belanda – lebih menampakkan sistem aturan kontinental yang mengutamakan bentuk sistem aturan tertulis (geschrevenrecht, written law).
- Politik pembangunan aturan nasional mengutamnakan penggunaan peraturan perundang-undangan sebagai Instrumen utama. Bandingkan dengan aturan yurisprudensi dan aturan kebiasaan. Hal ini antara lain lantaran pembangunan aturan nasional yang memakai peraturan perundang-undangan sebagai instrument sanggup disusun secara berencana (dapat direncanakan).
Dalam rangka fungsi hakim guna menemukan dan membuat hukum, ada beberapa metode melaksanakan inovasi aturan itu yaitu :
- Dengan melaksanakan penafsiran analogi,
- Dengan melaksanakan ekspansi dan penghalusan hukum, dan
- Dengan melaksanakan penafsiran a countrario.
Metode ini dipergunakaan dengan memperhatikan keperluan dalam rangka menemukan makna yang sempurna semoga tujuan undang-undang atau peraturan perundang-undangan sanggup tercermin secara tepat, benar, adil serta masuk akal dalam memecahkan suatu insiden hukum.
Menemukan dan membuat aturan harus pula dikonstruksikan sebagai upaya hakim yang harus memutus terhadap suatu masalah yang dihadapkan kepadanya, aturan aturan yang ada tidak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar. Dengan demikian, kiprah hakim dalam menemukan dan membuat aturan diharapkan bilamana terjadi kekosongan hukum. Perluasan ini, sekaligus memberi arti bahwa pengertian aturan tidak semata-mata hanyalah aturan yang tertulis (undang-undang), tetapi juga yurisprudensi dan aturan yang tidak tertulis lainnya.
Selama ini, baik dalam wacana akademik maupun dilapangan praktik hukum, kurang sekali perhatian terhadap peranan hakim sebagai instrumen pembaharu hukum. Seperti dikemukakan diatas, undang-undanglah yang dianggap sebagai instrumen paling utama dalam pembaharuan undang-undang. Oleh karenanya menanamkan pengertian kepada pegawanegeri penegak aturan kita khususnya para hakim, pada umumnya dihentikan dipandang sebagai suatu yang berdiri sendiri. Hal yang sangat penting ialah mengubah orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, tanpa perubahan orientasi dan metode pendidikan tinggi hukum, para sarjana aturan tidak cukup dibekali mengenai peranan besar yang diharapkan.
b. Fungsi Pembaharuan Hukum
Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan aturan (law reform) dibandingkan dengan penggunaan aturan kebiasaan atau aturan yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan sanggup direncanakan, sehingga pembaharuan aturan sanggup pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melaksanakan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan sanggup pula dipergunakan sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi.
Hukum kebiasaan atau aturan susila pada fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat sesudah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang aturan kebiasaan atau aturan adat, peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti aturan kebiasaan atau aturan susila yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan aturan kebiasaan atau aturan susila sangat bermanfaat, lantaran dalam hal-hal tertentu kedua aturan yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.
Apabila diteliti semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan dengan perubahan, bagaimanapun kita mendefenisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan aturan dalam pembangunan ialah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana tenang dan teratur.\
Istilah “pembaharuan hukum” sebetulnya mengandung makna yang luas meliputi sistem hukum. Menurut Friedman, sistem aturan terdiri atas :
- struktur aturan (structure),
- substansi/materi aturan (substance), dan
- budaya aturan (legal culture).
Sehingga, bicara pembaharuan aturan maka pembaharuan yang dimaksudkan ialah pembaharuan sistem aturan secara keseluruhan. Karena luasnya cakupan sistem hukum, maka dalam goresan pena ini, hanya dibatasi pada salah satu elemen aturan yakni substansi/materi hukum. Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah “pembaharuan hukum” tetap dipertahankan yang sebetulnya mengandung makna yang lebih khusus atau sepadan dengan istilah “pembentukan hukum”.
Dalam prosesnya, pembangunan ternyata ikut membawa konsekwensi terjadinya perubahan-perubahan atau pembaharuan pada aspek-aspek sosial lain termasuk didalamnya pranata hukum. Artinya, perubahan yang dilakukan (dalam bentuk pembangunan) dalam perjalanannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan aturan ini mempunyai arti yang positif dalam rangka membuat aturan gres yang sesuai dengan kondisi pembangunan dan nilai-nilai aturan masyarakat.
Pada satu pihak, pembaharuan aturan merupakan upaya untuk merombak struktur aturan usang (struktur aturan pemerintahan penjajah) yang umumnya dianggap bersifat eksploitatif dan diskriminatif. Sedangkan pada pihak lain, pembaharuan aturan dilaksanakan dalam kerangka atau upaya memenuhi tuntutan pembangunan masyarakat.
Bidang aturan diakui mempunyai kiprah yang sangat strategis dalam memacu percepatan pambangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga meliputi pembangunan menengah dan jangka panjang. Meskipun disadari, setiap dikala aturan bisa berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menghendakinya.
Di negara- negara berkembang, pembaharuan aturan merupakan prioritas utama. Oleh lantaran itu, di negara-negara berkembang ini pembaharuan aturan senantiasa mengesankan adanya peranan ganda.
- Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari bulat struktur aturan colonial. Upaya tersebut terdiri atas pengahapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan aturan warisan colonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional.
- Kedua, pembaharuan aturan berperan dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diharapkan dalam rangka mengejar ketertinggalan dan negara-negara maju, dan yang lebih penting ialah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.
Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan aturan yang sudah tidak up to datenamun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyonsong masa mendatang terang peraturan-peraturan aturan tersebut memerlukan revisi dan kalau perlu dirubah total dengan materi yang mencerminkan tanda-tanda dan fenomena masyarakat dikala ini. Masalahnya ialah apakah proses perubahan atau pembaharuan aturan yang berlangsung di Indonesia telah dilakukan sesuai dengan kaedah-kaedah normative dan atau sesuai dengan nilai-nilai aturan dalam masyarakat? Sebagaimana disarankan oleh para hebat hukum. Pertanyaan ini perlu diajukan mengingat fungsi aturan tidak semata-mata sebagai alat kontrol sosial (social control), tetapi juga mempunyai fungsi sebagai sarana rekayasa atau pembaharuan sosial.
Pada masa reformasi pada bulan Mei 1998 yang kemudian membawa perubahan pada banyak sekali tatanan bernegara yang sanagt drastis. Hampir seluruh wajah forum kenegaraan mengalami penyesuaian atau pembiasaan terhadap peruabahan itu. Salah satu di antaranya ialah forum yudikatif yaitu Mahkamah Agung yang dalam sejarahnya kerap mendapat sorotan tajam dari banyak sekali lapisan masyarakat termasuk media (pers).
Sorotan terhadap forum yudikatif (Mahkamah Agung) didasari oleh kenyataan bahwa kinerja forum Mahkamah Agung (MA) serta forum telah menerapkan taktik penegakan aturan yang cenderung bersifat positif instrumentalis. Pada masa kini ini aturan telah menjadi alat yang sangat ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan kegiatan negara.
Banyak kalangan berpandangan bahwa lemahnya kinerja Mahkamah Agung selama ini tidak semata-mata disebabkan oleh kuramg efektifnya court management peradilan, akan tetapi juga akhir imbas sistem pemerintahan terhadap taktik penegakan hukumnya.
Namun di masa reformasi ini, eksistensi Mahkamah Agung yang merupakan peradilan tertinggi dalam melaknakan kekuasaan kehakiman yang merdeka mengalami kemajuan yang signifikan terutama pada level pengaturan hukum. Hal ini ditandai dengan perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 menjadi UU Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan terakhir lahir pula UU Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan kehakiman.
Sebagai akhir dari lahirnya UU Nomor 4 Tahun 2004 wacana Kekuasaan Kehakiman, maka pada tingkat Mahkamah Agung sendiri telah dilakukan perubahan undang-undang dari UU Nomor 14 Tahun 1970 menjadi UU Nomor 5 tahun 2004 wacana Mahkamah Agung.
Eksistensi Mahkamah Agung sebagai forum pengawasan peradilan juga sangat ditentukan oleh hakim-hakim agung yang merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai aturan yang hidup di kalangan rakyat. Sehingga dengan demikian hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, mencicipi dan bisa menyelami perasaan aturan dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam posisi ini hakim agung sanggup memperlihatkan putusan yang sesuai dengan aturan dan rasa keadilan Mahkamah Agung.
Dewasa ini dengan undang-undang yang gres (UU Nomor 4 Tahun 2004 dan UU Nomor 5 tahun 2004) kiprah dan fungsi Mahkamah Agung kembali menjadi sorotan dan ujian, apakah kasus-kasus yang bernuansa politik sanggup diselesaikan dengan mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Harapan seluruh bangsa Indonesia di masa reformasi ini ialah para hakim agung yang bekerja di Mahkamah Agung harus bisa menjawab sikap apriori dan kesangsian masyarakat. Bahwa mereka terpilih menjadi hakim agung lantaran mempunyai kapasitas dan kapabilitas. Salah satu syarat untuk mewujudkan itu ialah bagaimana memberdayakan fungsi pengawasan Mahkamah Agung yang telah diberikan negara kepadanya.
c. Fungsi Integrasi Pluralisme Sistem Hukum
Pada dikala ini, di Indonesia masih berlaku banyak sekali system aturan (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem aturan kontinental (Barat), sistem aturan adat, sistem aturan agama (khususnya lslam) dan sistem aturan nasional”.
Pluralisme sistem aturan yang berlaku sampai dikala ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali banyak sekali sistem aturan tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan banyak sekali sistem aturan – terutama sistem aturan yang hidup sebagai satu kenyataanyang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem aturan nasional ialah dalam rangka mengintegrasikan banyak sekali sistem aturan tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang serasi satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah aturan sepenuhnya bergantung pada kebutuhan aturan masyarakat. Kaidah aturan sanggup berbeda antara banyak sekali kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
d. Fungsi Kepastian Hukum
Kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan aturan (rechtshandeling) dan penegakan aturan (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat memperlihatkan kepastian aturan yang lebih tinggi dan pada aturan kebiasan, aturan adat, atau aturan yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian aturan peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written).
Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu :
- Jelas dalam perumusannya (unambiguous).
- Konsisten dalam perumusannya -baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara kekerabatan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa. Konsisten secara eketern, ialah adanya kekerabatan “harmonisasi” antara banyak sekali peraturan perundang-undangan.
- Penggunaan bahasa yang sempurna dan gampang dimengerti.Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasayang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak berarti bahasa aturan tidak penting. Bahasa aturan baik dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg lantaran merupakan kepingan dan upaya menjamin kepastian hukum. Melupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak niscaya dibandingkan dengan aturan kebiasaan, aturan adat, atau aturan yurisprudensi.
Dalam menegakkan aturan ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu:
- kepastian hukum,
- kemanfaatan, dan
- keadilan.
Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu gampang mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian aturan orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan aturan alhasil kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.
Kepastian aturan ini sanggup diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan terang dalam suatu undang-undang dan akan terang pulah penerapanya. Dengan kata lain kepastian aturan itu berarti sempurna hukumnya, subjeknya dan objeknya serta bahaya hukumanya. Akan tetapi kepastian aturan mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.
Penegakan aturan pada prinsipnya harus sanggup memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan aturan untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak sanggup kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berkhasiat (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berkhasiat bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang sanggup mengisi kekosongan aturan tanpa menghiraukan apakah aturan itu adil atau tidak. Kenyataan sosial ibarat ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara mudah dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa asumsi strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian aturan dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan mekanisme untuk memilih prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik aturan tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi kalau aturan diharapkan bisa berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat aturan sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan aturan masyarakat.
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan aturan yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi ibarat ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran aturan rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, kemudian lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun aturan itu tidak identik dengan keadilan, aturan itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dieksekusi tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, aturan mempunyai kiprah yang suci, yakni memperlihatkan pada setiap orang apa yang berhak ia terima. Anggapan ini menurut etika dan beropini bahwa aturan bertugas hanya membuat adanya keadilan saja (Ethische theorie). Tetapi anggapan semacam ini tidak gampang dipraktekkan, maklum mustahil orang membuat peraturan aturan sendiri bagi tiap-tiap manusia, alasannya ialah apabila itu dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula aturan harus membuat peraturan umum, kaedah aturan tidak diadakan untuk menuntaskan suatu masalah tertentu. Kaedah aturan tidak menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah aturan hanya membuat suatu kualifikasi tertentu. Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan wacana hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim.
e. Fungsi Peraturan Perundang-Undangan Dari Sisi Lain
Secara umum, peraturan perundang-undangan fungsinya ialah “mengatur” sesuatu substansi untuk memecahkan suatu problem yang ada dalam masyarakat. Artinya, peraturan perundang-undangan ialah sebagai instrumen kebijakan (beleids instrument) apapun bentuknya ,apakah bentuknya penetapan, pengesahan, pencabutan, maupun perubahan. Secara khusus fungsi peraturan perundang-undangan dirinci sebagai berikut :
- Memberikan Jaminan Perlindungan bagi hak-hak kemanusiaan;
- Memastikan posisi aturan setiap orang sesuai dengan kedudukan hukumnya masing-masing;
- Sebagai Pembatasan Larangan, perintah tertentu yang harus dipatuhi dalam berperilaku.
Dasar Hukum :
- Undang-undang Dasar 1945.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung.
Referensi :
- Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Makalah,. 1994
- Lubis, M. Solly, Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989.
- Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993.
- Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986.
- https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
- https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
- https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
- https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
- https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
0 komentar:
Post a Comment