Showing posts sorted by relevance for query himpunan-peraturan-ketenagakerjaan. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query himpunan-peraturan-ketenagakerjaan. Sort by date Show all posts

Ilmu Pengetahuan Peraturan Perusahaan Dan Perjanjian Kerja Bersama (Pkb)

Peraturan Perusahaan Dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) - Manusia merupakan mahluk sosial sehingga dalam kesehariannya selalu berafiliasi dengan manusia-manusia yang lain. Karena seringnya terjadi interaksi anatar insan tersebut, maka diharapkan sesuatu yang bersifat mengatur dan mengikat manusia-manusia tersebut untuk selalu mematuhi aturan yang telah ditetapkan. Peraturan dibentuk untuk mengatur insan - insan yang terdapat dalam satu kelompok untuk menghindari perilaku brutal, mau menang sendiri dan lain-lain.

Peraturan Perusahaan Dan Perjanjian Kerja Bersama  Ilmu Pengetahuan Peraturan Perusahaan Dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Peraturan Perusahaan & PKB
Secara umum, peraturan yaitu suatu perjanjian yang telah dibentuk untuk kepentingan umum, ihwal apa saja yang boleh dilakukan dan dilarang dilakukan.

Pengertian peraturan sangat banyak, tergantung dari cara pemikiran diri kita sendiri. Peraturan juga melatih kedisiplinan kita. Makara kalau kita tidak sanggup melaksanakan peraturan, otomatis kita dinilai tidak disiplin. Peraturan merupakan patokan untuk menilai apakah sebuah acara itu dimulai dengan baik. Peraturan merupakan pemikiran semoga insan hidup tertib dan teratur. Jika tidak terdapat peraturan, insan bisa bertindak sewenang-wenang, tanpa kendali, dan sulit diatur.

1. Peraturan Perusahaan

Peraturan perusahaan yaitu peraturan yang dibentuk secara tertulis oleh pengusaha yang memuat ketentuan ihwal syarat kerja serta tata tertib perusahaan. Peraturan Perusahaan dibentuk untuk menjadi pegangan bagi Perusahaan maupun karyawan yang berisikan ihwal hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tujuan memelihara korelasi kerja yang baik dan serasi antara pengusaha dan karyawan, dalam perjuangan bersama meningkatkan kesejahteraan karyawan dan kelansungan perjuangan perusahaan.

Peraturan Perusahaan harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 20 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan mengenai peraturan perusahaan diatur lebih lanjut pada Pasal 108 hingga dengan Pasal 115 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ihwal Ketenagakerjaan (“UU No.13/2003”) dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.16/MEN/XI/2011 ihwal Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (“Permenaker 16/2011”).

Tujuan dan manfaat pembuatan peraturan perusahaan yaitu :
  1. Dengan peraturan perusahaan yang masa berlakunya dua tahun dan setiap dua tahun harus diajukan perstujuannya kepada departemen tenaga kerja;
  2. Dengan adanya peraturan perusahaan minimal akan diperoleh kepastian adanya hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha;
  3. Peraturan perusahaan akan mendorong terbentuknya kesepakatan kerja bersama sesuai dengan maksud permen no. 2 tahun 1978 diatas;
  4. Setelah peraturan disyahkan oleh departemen tenaga kerja maka perusahaan wajib memberitahukan isi peraturan perusahaan; dan
  5. Pada perusahaan yang telah mempunyai kesepakatan kerja bersama tidak sanggup menggantinya dengan peratuean perusahaan.
Pengusaha yang mempekerjakan paling sedikit 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh wajib membuat peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan mulai berlaku sehabis menerima akreditasi dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau Pejabat yang ditunjuk dan peraturan perusahaan berlaku untuk jangka waktu paling usang 2 (dua) tahun serta wajib diperbaharui sehabis habis masa berlakunya.

Namun, kewajiban pembuatan Peraturan Perusahaan tidak berlaku apabila perusahaan telah mempunyai perjanjian kerja bersama. Adapun ketentuan di dalam Peraturan Perusahaan dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta dilarang lebih rendah dari peraturan perundang-undangan terlebih Undang Nomor 13 Tahun 2003 ihwal Ketenagakerjaan. Peraturan Perusahaan harus disahkan oleh pejabat yang berwenang. Yang dimaksud sebagai pejabat yang berwenang yaitu sebagai berikut (“Pejabat”).

Setiap perusahaan yang bergerak dibidang perdagangan jasa dan/atau barang baik nasional maupun multinasional dalam menjalankan administrasi dan operasionalnya sehari-hari yang berkaitan dengan ketenagakerjaan pastinya membutuhkan suatu peraturan perusahaan yang berlaku dan dipatuhi oleh seluruh karyawan semoga sanggup berjalan dengan baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian peraturan perusahaan menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ihwal Ketenagakerjaan adalah peraturan yang dibentuk secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Peraturan perusahaan disusun oleh pengusaha dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang bersangkutan. Penyusunan peraturan perusahaan dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

Peraturan perusahaan bertujuan untuk menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban Pekerja/Buruh, serta antara kewenangan dan kewajiban pengusaha, menawarkan pemikiran bagi pengusaha dan pekerja untuk melaksanakan kiprah kewajibannya masing-masing, membuat korelasi kerja harmonis, kondusif dan dinamis antara pekerja dan pengusaha, dalam perjuangan bersama memajukan dan menjamin kelangsungan perusahaan, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Menurut Pasal 111 UU Ketenegakerjaan, Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat :
  1. hak dan kewajiban pengusaha;
  2. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
  3. syarat kerja;
  4. tata tertib perusahaan; dan
  5. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Peraturan perusahaan dalam waktu paling usang 30 (tiga puluh) hari kerja semenjak naskah peraturan perusahaan diterima harus sudah menerima akreditasi oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Apabila peraturan perusahaan telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja belum mendapatkan akreditasi dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan. Namun, apabila peraturan perusahaan belum memenuhi persyaratan dalam Pasal 111 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan, maka Menteri atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan. Dan dalam waktu paling usang 14 (empat belas) hari kerja semenjak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha, pengusaha wajib memberikan kembali peraturan perusahaan yang telah diperbaiki tersebut kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 113 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktu berlakunya hanya sanggup dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh. Hasil perubahan peraturan perusahaan harus menerima akreditasi dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan, serta menawarkan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.

Pasal 188 UU Ketenagakerjaan mengatur ketentuan hukuman pidana pelanggaran berupa denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) atas pelanggaran Pasal 111 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengenai jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan dan Pasal 114 UU Ketenagakerjaan ihwal kewajiban pengusaha untuk memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan serta menawarkan naskah peraturan perusahaan kepada pekerja/buruh.

Tugas penyusunan Peraturan Perusahaan merupakan tanggung jawab dari Perusahaan. Sebelum disahkan oleh Menteri, penyusunan itu dilakukan oleh Perusahaan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari Karyawan terhadap draf Peraturan Perusahaan. Karena masukan dari Karyawan itu bersifat “saran” dan “pertimbangan”, maka pembuatan Peraturan Perusahaan tidak sanggup diperselisihkan – bila terjadi perbedaan pendapat antara Karyawan dan Perusahaan. Karena sifatnya saran dan pertimbangan, maka Karyawan sanggup juga untuk tidak menawarkan saran dan pertimbangan tersebut meskipun telah diminta oleh Perusahaan.

Pemilihan wakil Karyawan dalam rangka menawarkan saran dan pertimbangannya harus dilakukan dengan tujuan untuk mewakili kepentingan para Karyawan. Pemilihan itu dilakukan secara demokratis, yaitu dipilih oleh Karyawan sendiri terhadap Karyawan yang mewakili setiap unit kerja di dalam Perusahaan. Apabila di dalam Perusahaan telah terbentuk Serikat Pekerja, maka saran dan pertimbangan tersebut diberikan oleh pengurus Serikat Pekerja.

Untuk memperoleh saran dan pertimbangan dari wakil Karyawan, pertama-tama Perusahaan harus memberikan naskah rancangan Peraturan Perusahaan itu kepada wakil Karyawan – atau Serikat Pekerja. Saran dan pertimbangan tersebut harus sudah diterima kembali oleh Perusahaan dalam waktu 14 hari kerja semenjak tanggal diterimanya naskah rancangan Peraturan Perusahaan oleh wakil Karyawan. Jika dalam waktu 14 hari kerja itu wakil Karyawan tidak menawarkan saran dan pertimbangannya, maka Perusahaan sudah sanggup mengajukan akreditasi Peraturan Perusahaan itu tanpa saran dan pertimbangan dari Karyawan – dengan disertai bukti bahwa Perusahaan telah meminta saran dan pertimbangan dari wakil Karyawan namun Karyawan tidak memberikannya.

2. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Perjanjian kerja dalam bahasa Belanda yaitu Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata menawarkan pengertian sebagai berikut :
Perjanjian kerja yaitu suatu perjanjian dimana pihak ke-1 (satu)/buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melaksanakan pekerjaan dengan mendapatkan upah”.
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 menawarkan pengertian yakni :
Perjanjian kerja yaitu suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”.

Perjanjian Kerja yaitu Suatu perjanjian yang dibentuk antara pekerja secara perorangan dengan pengusaha yang pada pada dasarnya memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.Untuk mengetahui hak dan kewajiban secara niscaya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan ketenangan kerja maka perlu adanya suatu pedoman/aturan dalam pelaksanaan korelasi kerja.

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yaitu suatu kesepakatan secara tertulis dengan memakai bahasa Indonesia yang dibentuk secara bersama – sama antara pengusaha atau beberapa pengusaha dengan organisasi serikat pekerja/gabungan organisasi serikat pekerja yang sudah terdaftar pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan.

Organisasi serikat pekerja ini minimal mempunyai anggota 50 % lebih dari seluruh Karyawan yang ada di perusahaan. Persyaratan ini harus dipenuhi alasannya yaitu kalau kurang maka sanggup berkoalisi dengan organisasi serikat pekerja hingga mencapai 50 % lebih atau sanggup juga meminta santunan dari karyawan lainnya.

Dalam hal suatu perusahaan terdapat lebih dari 1 serikat pekerja/buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh yaitu serikat pekerja/buruh yang mempunyai anggota lebih dari 50 % dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

Adapun dasar dibuatnya perjanjian Kerja Bersama ini merujuk pada Undang – undang No. 18 Tahun 1956 yang diratifikasi dari Konvensi No. 98 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengenai berlakunya dasar - dasar dari hak untuk berorganisasi dan berunding bersama, Kemudian oleh pemerintah dikeluarkan :

Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang diatur mulai dari pasal 115 hingga dengan 135 ;
  1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep/48/Men/IV/2004 ihwal Tata Cara
  2. Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;
  3. Kep.48/MEN/IV/2004, ihwal Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
Fungsi Perjanjian Kerja Bersama yaitu sarana untuk memuat dan menuangkan kesepakatan gres yang didasari atas kesepakatan antara serikat pekerja/buruh dengan pengusaha yang disebut Lex Special artinya sebuah prodak yang tidak diatur dalam Undang – undang maka beliau akan menjadi normatif bila mana sudah disepakati dan dituangkan dalam PKB serta telah diketahui oleh Dinas yang terkait dan mengikat kedua belah pihak untuk dilaksanakan.

Tujuan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama :
  1. Mempertegas dan memperjelas hak – hak dan kewajiban pekeja dan pengusaha;
  2. Memperteguh dan membuat korelasi industrial yang serasi dalam perusahaan;
  3. Menetapkan secara bersama syarat – syarat kerja keadaan industrial yang harmonis; dan
  4. Menentukan korelasi ketenagakerjaan yang belum diatur dalam peraturan perundang –undangan.
  1. Baik pekerja maupun pengusaha akan lebih memahami ihwal hak dan kewajiban masing – masing;
  2. Mengurangi timbulnya perselisihan korelasi industrial atau korelasi ketenagakerjaan sehingga sanggup menjamin kelancaran proses produksi dan peningkatan usaha;
  3. Membantu ketenangan kerja pekerja serta mendorong semangat dan kegaitan bekerja yang lebih tekun dan rajin; dan
  4. Pengusaha sanggup menganggarkan biaya tenaga kerja (labour cost) yang perlu dicadangkan atau diubahsuaikan dengan masa berlakunya PKB.
Perundingan Kerja Bersama dimulai dengan menyepakati Tata Tertib Perundingan yang sekurang - kurangnya memuat :
  1. Tujuan pembuatan tata tertib;
  2. Susunan tim perundingan;
  3. Lamanya masa perundingan;
  4. Materi perundingan;
  5. Tempat perundingan;
  6. Tata cara perundingan;
  7. Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan;
  8. Sahnya perundingan; dan
  9. Biaya perundingan.
Biaya negosiasi pembuatan perjanjian kerja bersama menjadi beban pengusaha, kecuali disepakati lain oleh kedua belah pihak.

Tata Tertib Perundingan sangat penting ditetapkan alasannya yaitu hal ini menyangkut :
  1. Masalah hak dan kewajiban tim negosiasi masing – masing pihak (khususnya mengenai keringanan bagi tim perunding dari pihak serikat pekerja);
  2. Masalah legalitas tim perunding dari masing – masing pihak (khususnya menyangkut keabsahan status selaku tim perunding serta kewenangannya untuk mengambil keputusan);
  3. Masalah kewenangan ihwal siapa pembuat keputusan (decision maker) dari masing – masing tim perunding;
  4. Masalah tata cara akreditasi materi perundingan;
  5. Jadwal/waktu perundingan; dan
  6. Fasilitas bagi tim perunding selama negosiasi berjalan.
Tata Cara dalam Perundingan :
  • Baik tim perunding dari serikat pekerja maupun tim perunding dari perusahaan harus memutuskan seorang juru bicara.
  • Juru bicara dalam tim negosiasi tidak harus ketua tim negosiasi akan tetapi orang yang benar – benar dianggap mampu/menguasai budpekerti perundingan.
  • Setiap materi/konsep PKB yang akan dibahas harus disampaikan oleh juru bicara tim perundingan.
  • Setiap materi/konsep yang akan dibahas selanjutnya dicatat dalam risalah negosiasi yang dilakukan oleh notulis.
  • Materi/konsep PKB yang telah dibahas selanjutnya dicatat dalam risalah negosiasi yang dilakukan oleh notulis.
  • Materi/konsep PKB yang belum disepakati sanggup dipending/tunda untuk selanjutnya dibahas kembali sehabis seluruh konsep PKB selesai dirundingkan.
  • Dalam hal ternyata ada materi/konsep yang tidak sanggup disepakati maka sanggup melaporkan kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan, antara lain :
  1. Instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjan di Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama hanya meliputi satu Kabupaten/Kota;
  2. Instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjan di Provinsi, apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama lebih dari satu Kabupaten/Kota di satu Provinsi;
  3. Ditjen Pembina Hubungan Industrial pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya perjanjian kerja bersama lebih dari satu provinsi. Yang penyelesaiannya melalui mediasi dan akan dikeluarkan ajnuran oleh perantara tersebut, para pihak atau salah satu pihak tidak mendapatkan usulan perantara maka atas kesepakatan para pihak perantara melaporkan kepada Menteri untuk memutuskan langkah – langkah penyelesaian, kemudian menteri sanggup menunjuk pejabat untuk melaksanakan penyelesaian pembuatan PKB dan apabila tidak juga mencapai kesepakatan maka salah satu pihak sanggup mengajukan somasi ke Pengadilan Hubungan Industrial didaerah aturan tempat pekerja/buruh bekerja.
  • Setelah seluruh isi konsep PKB dirundingkan dan disepakati maka isi konsep PKB tersebut disalin kembali menurut yang telah disepakati untuk selanjutnya dilakukan penanda tanganan secara keseluruhan oleh kedua belah pihak.
  • Penandatangan PKB oleh serikat pekerja/buruh dilakukan oleh Ketua dan Sekretaris pengurus serikat pekerja/buruh dan dari pihak perusahaan dilakukan oleh Presiden direktur/Direktur utama perusahaan tersebut.
Setelah perjanjian kerja bersama disepakati dan ditandatangani oleh pengusaha dan wakil pekerja dalam hal ini oleh pengurus serikat pekerja (minimal ketua dan sekretaris) maka selanjutnya didaftarkan pada instansi pada instansi yang bertangung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan maksud :
  1. Sebagai alat monitoring dan penilaian pengaturan syarat – syarat kerja yang dilaksanakan di perusahaan;
  2. Sebagai tumpuan utama kalau terjadi perselisihan pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama.
Kerangka isi Perjanjian Kerja Bersama antara lain :
  • Mukadimah
  • Umum :
  1. Istilah – istilah,
  2. Pihak – pihak yang mengadakan kesepakatan,
  3. Luasnya kesepakatan,
  4. Kewajiban pihak – pihak yang mengadakan kesepakatan.
  • Pengakuan, Jaminan dan Fasilitas bagi Serikat Pekerja/Buruh
  1. Pengakuan hak – hak pengusaha dan Serikat Pekerja/BuruhJaminan bagi Serikat Pekerja/Buruh,
  2. Fasilitas bagi Serikat Pekerja/Buruh,
  3. Lembaga kolaborasi bipartit,
  4. Pendidikan dan penyuluhan korelasi industrial.
  • Hubungan Kerja
  1. Penerimaan pekerja baru,
  2. Masa percobaan,
  3. Surat keputusan pengangkatan,
  4. Golongan dan jabatan pekerja,
  5. Kesempatan berkarir,
  6. Pendidikan dan pembinaan kerja,
  7. Mutasi dan prosedurnya,
  8. Penilaian prestasi kerja,
  9. Promosi,
  10. Tenaga kerja asing.
  • Waktu kerja, istilah kerja dan lembur
  1. Hari kerja,
  2. Jam kerja, istirahat dan shift kerja,
  3. Lembur,
  4. Perhitungan upah lembur.
  • Pembebasan dari kewajiban bekerja
  1. Istirahat mingguan,
  2. Hari libur resmi,
  3. Cuti tahunan,
  4. Cuti besar,
  5. Cuti haid,
  6. Cuti hamil,
  7. Cuti sakit,
  8. Ijin meninggalkan pekerjaan dengan upah,
  9. Ijin meninggalkan pekerjaan tanpa upah.
  • Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
  1. Prinsip – prinsip K3,
  2. Hygienis perusahaan dan kesehatan,
  3. Pakaian kerja dan sepatu kerja,
  4. Peralatan kerja,
  5. Alat pelindung diri,
  6. Panitia pembina keselamatan kesehatan kerja.
  • Pengupahan
  1. Pengertian upah,
  2. Prinsip dasar dan sasaran,
  3. Dasar penetapan upah,
  4. Komponen upah,
  5. Waktu pemberian upah,
  6. Administrasi upah,
  7. Tunjangan jabatan,
  8. Tunjangan keluarga,
  9. Tunjangan keahlian,
  10. Tunjangan keahlian,
  11. Tunjangan perumahan,
  12. Tunjangan tempat kerja yang membahayakan keselamatan,
  13. Uang makan,
  14. Uang transport,
  15. Premi hadir,
  16. Premi shift,
  17. Premi produksi/bonus,
  18. Premi perjalanan dinas,
  19. \Tunjangan hari raya,
  20. Jasa produksi/bonus,
  21. Tunjangan masa kerja,
  22. Upah minimum,
  23. Skala upah,
  24. Penyesuaian upah,
  25. Kenaikan upah atas dasar premi,
  26. Kenaikan upah alasannya yaitu promosi, dan
  27. Pajak penghasilan.
  • Pengobatan dan perawatan
  1. Poliklinik perusahaan,
  2. Pengobatan diluar poliklinik,
  3. Perawatan dirumah sakit,
  4. Biaya bersalin,
  5. Pembelian beling mata,
  6. Pengobatan pada dokter spesialis,
  7. Keluarga berencana,
  8. Konsultasi psikologis & tes talenta anak.
  • Jaminan sosial
  1. Jaminan kecelakaan kerja,
  2. Jaminan kematian,
  3. Jaminan hari tuaDana pensiun
  • Kesejahteraan
  • Tata tertib kerja
  1. Kewajiban dasar pekerja,
  2. Larangan – larangan,
  3. Pelanggaran yang sanggup menyebabkan pemutusan korelasi kerja (PHK),
  4. Sanksi atas pelanggaran tata tertib kerja.
  • Pemutusan korelasi kerja
  • Penyelesaian keluh kesah pekerja : Tata cara penyelesaian keluh kesah.
  • Pelaksanaan dan penutup
  • Tanda tangan para pihak.
Syarat – syarat berlakunya antara lain :
  1. Satu perusahaan hanya sanggup dibentuk satu Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkuan;
  2. Apabila perusahan mempunyai cabang, maka dibentuk Perjanjian Kerja Bersama (PKB) induk yang berlaku disemua cabang perusahaan serta sanggup dibentuk PKB turunan yang berlaku di masing – masing cabang perusahaan;
  3. PKB induk memuat ketentuan – ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan sedang PKB turunan yang dibentuk cabang memuat pelaksanaan PKB induk yang diubahsuaikan dengan kondisi cabang perusahaan masing – masing;
  4. Dalam hal beberapa perusahaan tergabung dalam satu grup dan masing – masing mempunyai tubuh aturan sendiri, maka PKB dibentuk dan dirundingkan oleh masing – masing perusahaan.
Setelah ditandatangani oleh para pihak maka dilakukan Pendaftaran dengan dilampiri naskah perjanjian kerja bersama yang dibentuk rangkap tiga bermaterai cukup yang telah ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja/buruh. Setelah mendapatkan surat keputusan registrasi perjanjian kerja bersama , maka pengusaha dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dan memberitahukan pada seluruh pekerja/buruh ihwal isi perjanjian tersebut atau kalau ada beserta perubahannya.

Dalam Pasal 123 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan  menyatakan masa berlaku PKB paling usang 2 (dua) tahun dan sanggup diperpanjang paling usang 1 (satu) tahun menurut kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat pekerja. Perundingan pembuatan PKB berikutnya sanggup dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang sedang berlaku. Apabila negosiasi tidak mencapai kesepakatan, maka PKB yang sedang berlaku, akan tetap berlaku untuk paling usang 1 (satu) tahun ke depan.

Dasar Hukum :

  1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
  2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.16/MEN/XI/2011 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama,
  3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,
  4. Kep.48/MEN/IV/2004, Tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama,

Referensi :

  1. Asyhadie Zaeni, SH.,M.Hum.2008.Hukum Kerja. Jakarta. Raja Grafindo Persada,
  2. Lalu,S.H,M.Hum.2008.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Jakarta.
  3. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=himpunan-peraturan-ketenagakerjaan
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=himpunan-peraturan-ketenagakerjaan
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=himpunan-peraturan-ketenagakerjaan
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=himpunan-peraturan-ketenagakerjaan

Ilmu Pengetahuan Pengertian Aturan Ketenagakerjaan



Pengertian Hukum Ketenagakerjaan - Hukum tenaga kerja sangat tergantung pada aturan konkret masing-masing negara. Oleh alasannya ialah itu tidak mengherankan kalau definisi aturan ketenagakerjaan yang dikemukakan oleh para jago aturan juga berlainan, juga yang menyangkut keluasannya.


Hukum merupakan sekumpulan peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pihak yang berwenang, dengan tujuan mengatur kehidupan bermasyarakat dan terdapat sanksi. Ketenagakerjaan ialah segala hal yang bekerjasama dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan setelah masa kerja. Dengan demikian, yang dimaksud dengan aturan ketenagakerjaan ialah seluruh peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pihak yang berwenang, mengenai segala sesuatu yang bekerjasama dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan setelah masa kerja.

Pendapat-pendapat jago aturan mengenai Pengertian Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia :

NEH van Asveld menegaskan bahwa Pengertian Hukum Ketenagakerjaan ialah aturan yang bersangkutan dengan pekerjaan di dalam kekerabatan kerja dan di luar kekerabatan kerja.

Menurut Molenaar Pengertian Hukum Ketenagakerjaan ialah bab dari aturan yang berlaku di suatu negara, yang pada pokoknya mengatur kekerabatan antara buruh dengan buruh dan antara buruh dan penguasa.

Menurut Soetiksno memberikan pendapat mengenai Pengertian Hukum Ketenagakerjaan merupakan keseluruhan peraturan-peraturan aturan mengenai kekerabatan kerja yang mengakibatkan seorang secara pribadi ditempatkan di bawah pimpinan (perintah) orang lain dan keadaan-keadaan penghidupan yang eksklusif bersangkut-paut dengan kekerabatan kerja tersebut.

Pengertian Hukum Ketenagakerjaan menurut Prof. Imam soepomo diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan mendapatkan upah.

Demikianlah pembahasan mengenai pengertian aturan ketenagakerjaan, biar goresan pena saya mengenai pengertian aturan ketenagakerjaan sanggup bermanfaat.

Hukum Ketenagakerjaan telah berkembang seiring dengan perkembangan lapangan dan kesempatan kerja. Awalnya, lapangan pekerjaan terbatas pada sektor pemenuhan kebutuhan primer, menyerupai pertanian. Namun secara perlahan sektor pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah industri dan perdagangan, sehingga kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan sektor industri dan perdagangan yang pesat, mengakibatkan berdirinya perusahaan-perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja. Hubungan antara perusahaan tersebut dengan tenaga kerjanya, disebut dengan kekerabatan kerja (hubungan antara pemberi kerja dengan pekerjanya atau bahkan dengan calon pekerja). Dengan demikian diharapkan adanya suatu aturan (hukum) yang sanggup menjadi pengontrol dalam kekerabatan tersebut, terlebih lagi jikalau timbul suatu perselisihan dalam kekerabatan kerja tersebut

Dalam segi apapun dan bidang manapun aturan selalu ikut berperan aktif. Selain aturan sebagai aturan, aturan juga berperan sebagai perlindungan.

Di dalam pemahaman aturan ketenagakerjaan yang ada sanggup diketahui adanya unsur-unsur aturan ketenagakerjaan, mencakup :
  1. Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk verbal mauun tulisan;
  2. Mengatur kekerabatan antara pekerja dan pemilik perusahaan;
  3. Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada alhasil akan diperolah balas jasa; dan
  4. Mengatur pemberian pekerja/ buruh, mencakup dilema keadaan sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/ buruh dsb
Dari uraian di atas perlu diketahui bahwa beberapa jago mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari aturan ketenagakerjaan meliputi:
  1. Menurut Molenaar, aturan perburuhan ialah bab aturan yang berlaku, yang pokoknya mengatur kekerabatan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dan tenaga kerja.
  2. Menurut Mok, aturan perburuan ialah aturan yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melaksanakan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko sendiri.
  3. Menurut Soetikno, aturan perburuhan ialah keseluruhan peraturan aturan mengenai kekerabatan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perintah/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang eksklusif bersangkutpaut dengan kekerabatan kerja tersebut.
  4. Menurut Imam Sopomo, aturan perburuhan ialah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berkenaan dengan kejadian ketika seseorang bekerja pada orang lain dengan mendapatkan upah.
  5. Menurut M.G. Levenbach, aturan perburuhan ialah aturan yang berkenaan dengan kekerabatan kerja, yakni pekerja di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang eksklusif bersangkutpaut dengan kekerabatan kerja itu.
  6. Menurut N.E.H. Van Esveld, aturan perburuhan ialah tidak hanya mencakup kekerabatan kerja dengan pekerjaan dilakukan di bawah pimpinan, tetapi juga mencakup pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja atas tanggung jawab dan risiko sendiri.
  7. Menurut Halim, aturan perburuhan ialah peraturan-peraturan aturan yang mengatur kekerabatan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik pihak buruh/pekerja maupun pihak majikan.
  8. Menurut Daliyo, aturan perburuhan ialah himpunan peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur kekerabatan kerja antara buruh dan majikan dengan menerima upah sebagai balas jasa.
  9. Menurut Syahrani, aturan perburuhan ialah keseluruhan peraturan aturan yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan, yaitu kekerabatan antara buruh dan majikan dengan perintah (penguasa).
Setelah mengingat kembali bahwa aturan tenaga kerja mempunyai arti dan makna yang sangat luas dan sebagai upaya untuk menghindari kesalahan persepsi terhadapa penggunanan istilah yang ada, oleh karenanya dalam artikel kali ini akan dipakai istilah yaitu istilah aturan perburuan sebagai pengganti istilah aturan ketenagakerjaan.

Dasar Hukum :


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Referensi :

  1. Abdul Rachmad Budiono, 1995. HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIA. Yang menerbitkan PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
  2. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
  3. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum

Ilmu Pengetahuan Sumber Aturan Ketenagakerjaan Indonesia

Sumber Hukum Ketenagakerjaan Indonesia - Hukum ketenagakerjaan bukan hanya mengatur relasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam pelaksanaan relasi kerja tetapi juga termasuk seorang yang akan mencari kerja melalui proses yang benar ataupun lembaga-lembaga pelaksana yang terkait, serta menyangkut pekerja yang purna atau selesai bekerja.

Hukum ketenagakerjaan yaitu merupakan suatu peraturan-peraturan tertulis atau tidak tertulis yang mengatur seseorang mulai dari sebelum, selama, dan sehabis tenaga kerja bekerjasama dalam ruang lingkup di bidang ketenagakerjaan dan apabila di tubruk sanggup terkena hukuman perdata atau pidana termasuk lembaga-lembaga penyelenggara swasta yang terkait di bidang tenaga kerja.

Hukum ketenagakerjaan bukan hanya mengatur relasi antara pekerja Ilmu Pengetahuan Sumber Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Pengertian ketenagakerjan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :
  1. Pasal 1 (1) Ketenagakerjaan yaitu segala hal yang bekerjasama dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sehabis masa kerja.
  2. Pasal 1 (2) Tenaga kerja yaitu setiap orang yang bisa melaksanakan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pengertian tenaga kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja : Tenaga kerja yaitu setiap orang yang bisa melaksanakan pekerjaan baik di dalam maupun di luar relasi kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Prof. Imam Soepomo, SH beropini bahwa Hukum ketenagakerjaan yaitu himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan mendapatkan upah.

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Perburuhan yaitu yang bertalian dengan urusan, pekerjaan dan keadaan kaum buruh : Undang-undang.

Dengan demikian yaitu sepadan makna kata perburuhan dengan kata ketenagakerjaan, demikian pula dengan kata buruh atau pekerja yaitu sama hakekatnya orang yang bekerja dengan mendapatkan upah bukan pemberi upah. Perlu dicamkan semua itu bekerjsama hanyalah soal permufakatan (afspraak) belaka artinya sanggup bermufakat kata tersebut.

Semenjak zaman reformasi ruang lingkup aturan ketenagakerjaan Indonesia telah diatur secara lengkap dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang terdiri dari XVIII Bab dan 193 Pasal dengan sistematika sebagai berikut :
  • Bab I. Ketentuan umum yaitu mengenai defenisi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tersebut.
  • Bab II. Landasan azas dan tujuan yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan pembangunan ketenagakerjaan.
  • Bab III. Pengaturan mengenai Kesempatan dan perlakuan yang sama dalam memperoleh pekerjaan tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama dan golongan.
  • Bab IV. Perencanaan tenaga kerja dan gosip ketenagakerjaan dalam kaitan penyusunan kebijakan, taktik dan pelaksanaan kegiatan pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
  • Bab V. Pengaturan Pelatihan kerja dalam rangka membekali, meningkatkan dan membuatkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan produktivitas dan kesejahteraan.
  • Bab VI. Penempatan tenaga kerja mengatur secara rinci ihwal kesempatan yang sama, memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghsilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
  • Bab VII. Perluasan kesempatan kerja hal ini merupakan upaya pemerintah untuk bekerja sama di dalam maupun di luar negeri dalam rangka ekspansi kesempatan kerja.
  • Bab VIII. Pengaturan Penggunaan tenaga Kerja Asing
  • Bab IX. Pengaturan Hubungan Kerja,
  • Bab X. Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan.
  • Bab XI. Hubungan Industrial yang mengatur relasi antara pekerja, pengusaha dan pemerintah .
  • Bab XII. Pemutusan relasi kerja
  • Bab XIII. Pembinaan.
  • Bab XIV. Pengawasan,
  • Bab XV. Penyidikan.
  • Bab XVI. Ketentuan pidana dan hukuman administrative.
  • Bab XVII. Ketentuan peralihan.
  • Bab XVIII Penutup.
Beberapa ketentuan Pasal- pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu : Pasal 158, 159, 160, 170, 158(1), 171, 158(1), 186, 137, dan Pasal 138(1) tidak memiliki kekuatan aturan mengikat dan tidak dipakai lagi sebagai dasar hukum.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 12/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Berita Negara No 92 tahun 2004 tanggal 17 November tahun 2004, jo Surat Edaran MENTERI Tenaga Kerja RI NO SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005.

Undang-undang lainnya yang masih bekerjasama dengan ketenagakerjaan dalam arti selama bekerja yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Defenisi Jaminan sosial tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 (1) Undang-undang ini : "Jaminan Sosial Tenaga Kerja yaitu suatu santunan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan tanggapan insiden atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, hari renta dan meninggal dunia".
 
Undang-undang yang bekerjasama dengan ketenagakerjaa dalan arti sehabis bekerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pengertian berdasarkan ketentuan Pasal 1 (1) "perselisihan relasi industrial yaitu perbedaan pendapat yang menjadikan kontradiksi pendapat antara pengusaha atau campuran pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh alasannya adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan relasi kerja dan perselisihan antara serikat pekerja / serikat buruh dalam satu perusahaan". Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-undang terebut diatas diatur dalam Peraturan pemerintah (PP), Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Ketmen)

Sebagai pedoman dalam melaksanakan Pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia maka harus mengetahui sejarah peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang pernah berlaku di Indonesia dari zaman kolonial, Orde usang dan Orde gres yaitu sebagai berikut:
  • Ordonansi ihwal Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan di Luar Indonesia (Staatsblad tahun 1887 No. 8);
  • Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan ihwal Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam bagi Wanita (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
  • Ordonansi Tahun 1926 Peraturan Mengenai Kerja Anak-anak dan Orang Muda diatas Kapal (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 87);
  • Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 ihwal Ordonansi untuk Mengatur Kegiatan kegiatan Mencari Calon Pekerja (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
  • Ordonansi ihwal Pemulangan Buruh yang Diterima atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 545);
  • Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 ihwal Pembatasan Kerja Anak-anak (Staatsblad) Tahun 1949 Nomor 8);
  • Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 ihwal Pernyataan Berlakunya Undangundang Kerja tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
  • Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 ihwal Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 598 a);
  • Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 ihwal Penempatan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8);
  • Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 ihwal Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2270);
  • Undang-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 ihwal Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67);
  • Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 ihwal Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912);
  • Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 ihwal Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702);
  • Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 ihwal Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 ihwal Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791); dan
  • Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 ihwal Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 ihwal Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 ihwal Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 ihwal Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042). Undang-undang tersebut diatas telah dicabut dan tidak diberlakukan lagi.
Sumber aturan berarti tempat-tempat dari mana kita sanggup mengetahui aturan yang berlaku, tempat-tempat dimana kita harus mengambil peraturan-peraturan aturan yang harus diterapkan.
Prof. Imam Soepomo menyatakan : "Selama segala sesuatu mengenai relasi antara pekerja/buruh dengan pengusaha itu diserahkan kepada kecerdikan kedua belah pihak yang eksklusif berkepentingan itu, maka masih sukar untuk tercapainya suatu keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak yang sedikit banyak memenuhi rasa keadilan sosial yang merupakan tujuan pokok juga di ketenagakerjaan".

Sumber aturan ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :

1. Undang-Undang

Undang-undang yaitu peraturan yang ditetapkan oleh presiden dan dengan persetujuan (jangan berbuat salah dengan menyampaikan disyahkan) Dewan Perwakilan Rakyat. Di samping Undang-undang ada Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang memiliki kedudukan sama dengan undang-undang. Peratuan pemerintah pengganti undang-undang ini ditetapkan oleh presiden, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Peraturan tersebut harus menerima persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut.
Diantara peraturan-peratuan tersebut yang kedudukannya sanggup disamakan dengan undang yaitu Wet. Wet ini – dalam bahasa Indonesia yaitu undang-undang dibuat di Nederland oleh raja gotong royong dengan Parlemen. Contoh dari wet ini yaitu Burjerlijk w etboek voor Indonesie- kini ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

2. Peraturan Lain

Peraturan lainnya ini kedudukannya yaitu lebih rendah dari undang-undang dan pada umumnya merupakan peraturan pelaksana undang-undang. Peraturan-peraturan itu yaitu sebagai berikut :
  1. Peraturan pemerintah , peratuan pemerintah ini ditetapkan oleh Presiden untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang. Sejajar kedudukannya dengan peratuan pemerintah ini, yaitu peraturan seorang Menteri yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk mengadakan peraturan pelakananya. Peraturan terakhir yang berlaku kini yaitu Keputusan Menteri tenaga kerja.
  2. Keputusan Presiden, Keputusan Presiden ini yang tidak disebut keputusan pemerintah, atau dari zaman Hindia Belanda dahulu ;regeringsbesluit, pada umumnya tidak mengatur sesuatu, tetapi memutuskan sesuatu tertentu.
  3. Peraturan atau keputusan instansi lain. Suatu keistimewaan dalam aturan ketenagakerjaan ialah bahwa suatu instansi atau seorang pejabat yang tertentu diberi kekuasaan untuk mengadakan peraturan atau keputusan yang berlaku bagi umum (mengikat umum)

3. Kebiasaan

Kebiasaan atau aturan tidak tertulis ini, terutama yang tumbuh setelah perang dunia ke -2, berkembang dengan baik alasannya dua faktor yaitu: faktor pertama alasannya pembentukan undang-undang tidak sanggup dilakukan secepat soal-soal perburuhan yang harus diatur, faktor kedua yaitu peraturan-peraturan di zaman Hindia belanda dahulu sudah tidak lagi dirasakan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan aliran-aliran yang tumbuh di seluruh dunia. Jalan yang ditempuh dalam keadaan yang sedemikian itu ialah acap kali dengan memperlihatkan tafsiran (interpretasi) yang diubahsuaikan dengan jiwa unang-undang dasar.

4. Putusan

Dimana dan di masa aturan aturan hukum masih kurang lengkap putusan pengadilan tidak hanya memberi bentuk aturan pada kebiasaan tetapi-juga sanggup dikatakan untuk sebagian besar menentukan, memutuskan aturan itu sendiri.

5. Perjanjian

Perjanjian kerja pada umumnya hanya berlaku antara buruh dan majikan yang menyelenggarakannya, orang lain tidak terikat. Walaupun demikian dari pelbagai perjanjaian kerja itu sanggup diketahui apakah yang hidup pada pihak-pihak yang berkepentingan . Lebih-lebih dari perjanjian ketenagakerjaan, makin besar serikat buruh dan perkumpulan majikan yang menyelenggarakannya. Dengan demikian maka aturan dalam perjanjian kerja bersama memiliki kekuatan aturan sebagai undang-undang.

6. Traktat

Perjanjian dalam arti traktat mengenai soal perburuhan antara Negara Indonesia dengan suatu atau beberapa Negara lain. Perjanjian (konvesi, Convention) yang ditetapkan oleh konfrensi organisasi perburuhan internasional (international labour organisation conference) tidak dipandang sebagai aturan ketenagakerjaan alasannya konvensi itu telah diratifisir oleh Negara Indonesia, tidak mengikat eksklusif golongan buruh dan majikan di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat I dan 2 UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yaitu sebagai berikut : UUD Negara Republik Indonesia, Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan pemerintah, Peraturan presiden, Peraturan Daerah (Perda ) dan Peraturan desa.

Berdasarkan pendapat para mahir tersebut diatas dan UU 10 tahun 2008 maka Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu sebagai berikut :
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek,Staatsblad 18 No. 23) khususnya pasal (1313, 1338,1320);
  • UU NO 13 Tahun 2003 ihwal Ketenagakerjaan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 No: 39;
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 TAHUN 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional;
  • Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 ihwal Ketentuan Pelaksanaan Perjanjain Kerja Waktu Tertentu;
  • Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.48/MEN/IV/2004 ihwal Tata cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;
  • Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP.261/MEN/XI/2004 ihwal Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja;
  • Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : KEP. 102/MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR
  • Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor  : KEP. 49/MEN/2004 TENTANG KETENTUAN STRUKTUR DAN SKALA UPAH
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : PER.08/MEN/III/2006 ihwal Perubahan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-48/MEN/IV/2004 ihwal Tata cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama;
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.22/MEN/IX/2009 Tentang Penyelenggaraan Pemagangan di dalam Negeri;
  • Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI Nomor: PER.21/MEN/X/2007 ihwal Tata cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.

 

Sumber Hukum : 

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja,
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 12/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Berita Negara No 92 tahun 2004 tanggal 17 November tahun 2004, jo Surat Edaran MENTERI Tenaga Kerja RI NO SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005,
  4. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  5. Undang-Undang No 10 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Referensi :

  1. Imam soepomo penyunting Helena poerwanto, Suliati Rachmat Pengantar Hukum Perburuhan, jakarata, Djambatan 2003,
  2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-2, Balai Pustaka Jakarta 1994. Hlm 159,
  3. R. Subekti dan Tjitroisoedibio., Kamus aturan . Pradnya Paramita, Jakarta.. 2008,
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=peraturan-terkait-ketenagakerjaan
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=peraturan-terkait-ketenagakerjaan 
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=peraturan-terkait-ketenagakerjaan

Ilmu Pengetahuan Ilmu Perundang Undangan



KGgoAAAANSUhEUgAAAQcAAADGCAIAAABQCtJVAAAgAElEQVR Ilmu Pengetahuan  Ilmu Perundang Undangan

 Ilmu Perundang Undangan


Januari 20, 2015 by Sugi Arto

 

1.        Latar Belakang

Sebelum melangkah lebih jauh pembahasan wacana kekerabatan antara Hukum dan perundang-undangan, seyogyanya terlebih dahulu mengetahui wacana definisi dari keduanya.

Dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tersirat suatu makna, bahwa Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 agustus 1945 yaitu Negara yang berdasar atas aturan (Rechtsstaat) dalam arti Negara pengurus (Verzorgingsstaat).

Pengembangan ilmu di bidang perundang-undangan sanggup mendorong fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang sangat diharapkan kehadirannya, oleh lantaran Negara yang menurut aturan modern tujuan utamanya dari pembentukan perundang-undangan bukan lagi membuat kodifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama perundang-undangan itu yaitu membuat modofikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Perbedaan antara kodifikasi dan modifikasi telah nampak jelas. Peraturan perundang-undangan secara kodifikasi yaitu penyusunan dan penetapan perundang-undang secara sistematis mengenai bidang aturan yang agak luas dan dikumpulkan dalam suatu kitab, bentuk aturan ini diperbaharui namun isinya diambilkan dari aturan yang sudah ada, otomatis dengan perubahan  dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat hanya akan menjadikan aturan selalu berjalan di belakang dan akan ketinggalan zaman. Sedangkan modifikasi yaitu peraturan perundang-undangan yang memutuskan peraturan-peraturan gres dan yang mengubah hubungan-hubungan social.

Dalam penerapannya, baik dengan kodifikasi maupun modifikasi terdapat banyak sekali laba dan kerugian. Apa bila digunakan cara kodifikasi , seseorang akan dengan gampang menemukan peraturan mengenai suatu bidang hukum, lantaran terkumpul dalam suatu kitab undang-undang. Selain itu akan gampang diterima oleh masyarakat lantaran di dalamnya terdapat nilai-nilai yang telah mengendap dalam masyarakat. Kerugiannya yaitu bahwa dalam pembentukannya memerlukan waktu yang usang (dan sering ketinggalan zaman), selain itu kodifikasi akan sulit melaksanakan perubahan prinsipil aturan itu.

Dalam modifikasi terdapat keuntungan, antara lain bahwa pembentukannya tidak memakan waktu yang lama, dan aturan akan selalu berada di depan walaupun kadang kala aturan yang dirumuskan kurang sesuai dengan kehendak masyarakat.

Sebenarnya para sarjana telah usang mencari suatu batasan wacana aturan tetapi belum ada yang sanggup menawarkan suatu batasan atau definisi yang tepat. Batasan-batasan yang diberikan sangat bermacam-macam, berbrda satu sama lainnya.

Untuk pembahsan selanjutnya, akan kita bahas dengan beberapa hal yang berkenaan dengan ilmu perundang-undangan.

Mengapa Hukum memerlukan Perundang-undangan. Jika me;ihat arti secara etimologi terdapat empatb macam istilah yaitu aturan berasal dari bahasa Arab yaitu yang mempunyai bentuk jamak “Alkas”, dari bahasa latin yaitu “recht” yang mempunyai arti tuntutan, atau Ius yang berarti aturan atau hukum, dan Lex yang artinya mengumpulkan yaitu mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah.

Sedangkan definisi secara istilah sangat banyak diungkapkan oleh para pakar dan sangat berbeda-beda, tetapi sanggup disimpulkan bahwa aturan yaitu himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan hukuman eksekusi bagi mereka yang melanggarnya (Soeroso:2006).

Ilmu aturan tidak melihat sebuah aturan itu yaitu chaos atau mass of rules, tetapi melihatnya sebagai sebuah sistem, Arti penting sebuah aturan aialah hubungannya dengan peraturan-peraturan aturan lain secara sistematis.

Hubungan yang sistematis tersebut sanggup kita lihat dari komponen-komponen ilmu yang meliputinya, diantaranya yaitu :

  1. Masyarakat umum, yang merupakan himpunan kesatuan-kesatuan hukum, baik individu atau kelompok,
  2. Budaya Hukum, merupakan hasil olah insan dalam mengatur kehidupannya,
  3. Ilmu Hukum, merupakan penjabaran , pengkajian, dan pengembangan teori-teori hukum,
  4. Konsep Hukum, merupakan formulasi kebijakan aturan yang ditetapkan oleh suatu masyakat hukum,
  5. Filsafat Hukum, merupakan hasil pemikiran mengenai aturan yang mendalam,
  6. Pembentukan Hukum, yaitu proses pembentuksn hukum,
  7. Bentuk Hukum, yang kemudian diklasifikasikan dengan dua bentuk yaitu tertulius dan tidak tertulis,
  8. Penerapan Hukum, yang merupakan penyelenggaraan pengaturan kekerabatan aturan setiap kesatuan aturan dalam masyarakat,
  9. Eevaluasi Hukum, merupakan penentuan kualitas hukum, menelaah setiap komponen fungsi dan sistemnya.

2.        Pengertian Ilmu Perundang-undangan

Ilmupengetauhan perundang-undangan secara umum terjemahan dari gesetzgebungswissenschaft yaitu suatu cabang ilmu baru, yang mula-mula berkembang di Eropa Barat, terutama di Negara-negara yang berbahasa Jerman. Istilah lain yang juga sering digunakan yaitu Wetgevingswetenschap, atau science of legislation.

Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu ini antara lain yaitu peter noll (1973) dengan istilah gesetzgebunglehre, jurgen rodig (1975), dengan istilah gesetzgebunglehre, burkhardt krems (1979) dan Werner maihofer (1981) dengan istilah gesetzgebungswissenchaft. Di belanda antara lain S.O. van poelje (1980) dengan istilah wetgevingsleer atau wetgevingskunde, dan W.G van der velden (1988) dengan istilah wetgevingstheorie, sedangkan di Indonesia diajukan oleh Hamid S. Attamimi (1975) dengan istilah ilmu pengetauhan perundang-undangan.

Menurut burkhadt krems, ilmu pengetauhan perundang-undangan yaitu ilmu pengetauhan wacana pembentukan peraturan Negara, yang merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner. Selain itu, ilmu peraturan perundang-undangan juga berafiliasi dengan ilmu politik dan sosiologi, secara garis besar sanggup dibagi menjadi dua kepingan besar, yaitu :

  1. Teori perundang-undangan yaitu berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif,
  2. Ilmu perundang-undangan yaitu berorientasi pada melaksanakan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.
Burkhardt krems membagi lagi kepingan kedua tersebut kedalam tiga sub kepingan yaitu :
  1. Proses perundang-undangan (gesetzebungverfahren)
  2. Metode perundang-undangan (gesetzebungsmethode), dan
  3. Teknik perundang-undangan (gesetzebungstechnic)
Arti perundang-undangan atau istilah dan pengertian Perundang-undangan secara etimologis, Perundang-undangan berasal dari istilah ‘undang-undang’, dengan awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’. Imbuhan Per-an memperlihatkan arti segala hal yang berafiliasi dengan undang-undang. Sedangkan secara maknawi, pengertian perundang-undangan belum ada kesepakatan. Ketidaksepakatan banyak sekali andal sebagian besar ketika hingga pada kasus apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau mengandung arti hasil (produk) dari pembuatan perundang-undangan.

Istilah perundang-undangan untuk menggambarkan proses dan teknik penyusunan atau pembuatan keseluruhan Peraturan Negara, sedangkan istilah peraturan perundang-undangan untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis atau macam Peraturan Negara. Dalam arti lain Peraturan Perundang-undangan merupakan istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan banyak sekali jenis (bentuk) peraturan (produk aturan tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.

Dari pengertian-pengertian di atas, bila dicermati bahwa aturan yaitu himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dan perundang-undangan yaitu proses dan teknik penyusunan dari himpunan peraturan hukum, kita sanggup menarik sebuah garis besar bahwa suatu aturan harus dproduksi sebagai produk aturan dengan sebuah proses dan teknik yang kemudian disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
  1. bersifat tertulis,
  2. mengikat umum, dan
  3. dikeluarkan oleh Pejabat atau Lembaga yang berwenang.
Berdasarkan kriteria ini, maka tidak setiap aturan tertulis yang dikeluarkan Pejabat merupakan Peraturan perundang-undangan, alasannya yaitu sanggup saja bentuknya tertulis tapi tidak mengikat umum, namun hanya untuk perorangan berupa Keputusan (Beschikking) misalnya. Atau ada pula aturan yang bersifat untuk umum dan tertulis, namun lantaran dikeluarkan oleh suatu organisasi maka hanya berlaku untuk intern anggotanya saja.


3.      Fungsi Peraturan Perundang-Undangan

Fungsi peraturan perundang-undangan, yang sanggup dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu:


1)       Fungsi Internal


Fungsi Internal yaitu fungsi pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem aturan (hukum perundang-undangan) terhadap sistem kaidah aturan pada umumnya secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum. Secara internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi:

a.       Fungsi penciptaan hukum

Penciptaan aturan (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah aturan yang berlaku umum  dilakukan atau terjadi melalui  beberapa cara yaitu melalui putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berlaku secara umum. Secara tidak langsung, aturan sanggup pula terbentuk melalui ajaran-ajaran aturan (doktrin) yang diterima dan digunakan dalam pembentukan hukum.

b.       Fungsi pembaharuan hukum

Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan aturan (law reform) dibandingkan dengan penggunaan aturan kebiasaan atau aturan yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan perundang-undangan sanggup direncanakan, sehingga pembaharuan aturan sanggup pula direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melaksanakan fungi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan perundang-undangan sanggup pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau aturan adat. Fungsi pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional  (dibuat sesudah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan baru. Di bidang aturan kebiasaan atau aturan adat. Peraturan perundang-undangan berfungsi mengganti aturan kebiasaan atau aturan moral yang tidak sesuai dengan kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai instrumen pembaharuan aturan kebiasaan atau aturan moral sangat bermanfaat, lantaran dalam hal-hal tertentu kedua aturan yang disebut belakangan tersebut sangat rigid terhadap perubahan.

c.        Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum

Pada dikala ini masih berlaku banyak sekali sistem aturan (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem aturan kontinental (Barat), sistem aturan adat, sistem aturan agama (khususnya lslam) dan sistem aturan nasional”. Pluralisme sistem aturan yang berlaku hingga dikala ini merupakan salah satu warisan kolonial yang harus ditata kembali. Penataan kembali banyak sekali sistem aturan tersebut tidaklah dimaksudkan meniadakan banyak sekali sistem aturan – terutama sistem aturan yang hidup sebagai satu kenyataan yang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat. Pembangunan sistem aturan nasional yaitu dalam rangka mengintegrasikan banyak sekali sistem aturan tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang serasi satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah aturan sepenuhnya bergantung pada kebutuhan aturan masyarakat. Kaidah aturan sanggup berbeda antara banyak sekali kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.

d.       Fungsi kepastian hukum

Kepastian aturan (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan aturan (rechtshandeling) dan penegakan aturan (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat menawarkan kepastian aturan yang lebih tinggi dan pada aturan kebiasan, aturan adat, atau aturan yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian aturan peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written).


2)       Fungsi Eksternal


Fungsi Eksterrnal alah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi eksternal ini sanggup disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini sanggup juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, aturan adat, atau aturan yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh peraturan perundang-undangan, lantaran banyak sekali pertimbangan yang sudah disebutkan di muka. Fungsi sosial ini sanggup dibedakan:

a)        Fungsi perubahan

Telah lama  di kalangan pendidikan aturan diperkenalkan fungsi perubahan ini yaitu aturan sebagai sarana pembaharuan (law as social engineering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau dibentuk  untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” sanggup didorong menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.

b)      Fungsi stabilisasi

Peraturan perundang-undangan sanggup pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan perundang-undangan di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan yaitu kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas masyarakat. Kaidah stabilitas sanggup pula meliputi kegiatan ekonomi, menyerupai pengaturan kerja, pengaturan tata cara perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan pengawasan terhadap budaya luar, sanggup pula berfungsi menstabilkan sistem soeial budaya yang telah ada.

c)      Fungsi kemudahan

Peraturan perundang-undangan sanggup pula dipergunakan sebagai sarana mengatur banyak sekali kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan insentif menyerupai dispensasi pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pertolongan kemudahan. Dalam penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan menyerupai disebutkan di atas diharapkan juga persyaratan lain menyerupai stabilitas politik, sarana dan prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.

Uraian lain wacana fungsi peraturan perundang-undangan dikemukakan oleh andal peraturan perundang-undangan kenamaan menyerupai Robert Baldwin & Martin Cave, yang mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan mempunyai fungsi:
  • mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya;
  • mengurangi dampak negatif dari suatu acara di komunitas atau lingkungannya;
  • membuka informasi bagi publik dan mendorong kesetaraan antar kelompok (mendorong perubahan institusi, atau affirmative action kepada kelompok marginal);
  • mencegah kelangkaan sumber daya publik dari eksploitasi jangka pendek;
  • menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan sosial, ekspansi saluran dan redistribusi sumber daya; dan
  • memperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sektor ekonomi.

Dua kutipan fungsi peraturan perundang-udangan sebagaimana dikemuka-kan di atas, intinya menunjuk pada keberadaan fungsi sebuah aturan atau peraturan perundang-undangan dalam sebuah negara yang menurut hukum. Sebagai negara aturan dan menganut paham konstsitusionalisme, Indonesia terang membutuhkan adanya banyak sekali pembatasan kewenangan negara dan jaminan serta komitmen negara untuk memenuhi hak-hak warga negara, secara tertulis. Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain. Di sinilah peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi utamanya, yakni sebagai instrumen sekaligus kerangka arah pembangunan nasional.

Merujuk pada fungsi peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis-jenisnya, UU No. 10 Tahun 2004 secara implisit menyebutkan fungsi-fungsi sebagai berikut:

1.        Fungsi UUD 1945

  • Menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme.
  • Memberikan  legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan.
  • Sebagai instrumen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau Raja dalam sistem Monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara.
  • Sebagai kepala negara simbolik.
  • Sebagai kitab suci simbolik dari suatu agama  civil atau syari’at negara (civil religion).

2.        Fungsi Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

  • Menyelenggarakan peraturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya.
  • Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam batang badan Undang-Undang Dasar 1945.
  • Pengaturan lebih lanjut materi Undang-Undang Dasar 1945.

3.        Fungsi Peraturan Pemerintah

  • Pengaturan lebih lanjut dalam ketentuan UU yang lebih tegas menyebutnya.
  • Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam UU yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.

4.        Fungsi Peraturan Presiden

  • Pengaturan lebih lanjut ketentuan UU dan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
  • Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka menyelenggarakan kekuasaan pemerintah. 

5.        Fungsi Peraturan Daerah

  • Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, yang secara tegas menyebutnya.
  • Menyelenggarakan lebih lanjut kententuan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.

6.        Fungsi Peraturan selain Peraturan Perundang-udangan

  • Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan peraturan perundang-undangan yang berada pada hirarkhi di atasnya.
  • Menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas dan fungsi-fungsi kelembagaan masing-masing, yang secara tegas disebutkan atau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang ada pada hirarkhi lebih tinggi.


4. Asas-Asas Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan


Asas yaitu dasar atau sesuatu yang dijadikan rujukan berpikir, beropini dan bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu yang dijadikan rujukan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan kata asas yaitu prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir, beropini dan bertindak.

Asas juga merupakan sandaran di dalam PembentukanPerundang-undangan diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam undang-undang tersebut asas di bagi menjadi dua, yaitu asas Perunang-undangan dan asas materi muatan Perundang-undangan.

Dalam menyusun peraturan Perundang-undangan banyak para andal yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, intinya bermacam-macam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua kepingan kelompok asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.

Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto, memperkenalkan enam asas sebagai berikut:
  1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
  2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
  3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
  4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);
  5. Peraturan perundang-undangan tidak sanggup di ganggu gugat;
  6. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin sanggup mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Hampir sama dengan pendapat andal sebelumnya Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas, sebagai berikut:
  1. Asas tingkatan hirarkhi;
  2. Peraturan perundang-undangan tidak sanggup di ganggu gugat;
  3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyam-pingkan UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
  4. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
  5. UU yang gres menyampingkan UU yang usang (lex posteriori derogat lex periori).
Pendapat yang lebih terperinci di kemukakan oleh I.C van der Vlies di mana asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sanggup dibagi menjadi dua, yaitu asas formal dan asas materil.

Asas formal mencakup:

1.        Asas tujuan yang terang (beginsel van duetlijke doelstelling);
2.        Asas organ / forum yang sempurna (beginsel van het juiste organ);
3.        Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4.        Asas sanggup dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
5.        Asas konsensus (het beginsel van consensus).

Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut:
  1. Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek);
  2. Asas sanggup dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
  3. Asas perlakuan yang sama dalam aturan (het rechsgelijkheids beginsel);
  4. Asas kepastian aturan (het rechtszekerheidsbeginsel);
  5. Asas pelaksanaan aturan sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling).
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida, yang menyampaikan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita negara aturan yang tidak lain yaitu Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang pemandu, prinsip negara aturan dan konstitusionalisme, di mana sebuah negara menganut paham konstitusi.

Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, menyampaikan bila dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :

1.        Asas–asas formal:
  • Asas tujuan yang jelas.
  • Asas perlunya pengaturan.
  • Asas organ / forum yang tepat.
  • Asas materi muatan yang tepat.
  • Asas sanggup dilaksanakan.
  • Asas sanggup dikenali.
2.        Asas–asas materiil:
  • Asas sesuai dengan cita aturan Indonesia dan norma mendasar negara.
  • Asas sesuai dengan aturan dasar negara.
  • Asas sesuai dengan prinsip negara menurut hukum.
  • Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan menurut konstitusi.
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para andal di atas, intinya menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ pembentuk, dan lain-lain. Untuk memudahkan pemahaman, di bawah ini akan diuraikan klarifikasi asas-asas itu yang dikelompokkan ke dalam 3 kepingan asas yang harus dipenuhi. Uraian berikut ini sebagian besar mengacu pada Undang Undang No. 10 Tahun 2004 wacana Pembentukan Peraturan perundang-undangan, dengan aksesori dan klarifikasi yang dideduksi dari uraian para ahli.

Daftar Pustaka

  1. Undang Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
  2. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007,  hal. 1-6.
  3. A. Hanid S. Attamimi, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan dan pengemangan pengajarannya di fakultas hukum,
  4. Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, (Makalah tidak dipublikasikan), Jakarta, 1994
  5. Robert Baldwin & Martin Cave, Understanding Regulation: Theory, Strategi and Practice, UK, Oxford University Press: 1999, dalam Luky Djani, Efektivitas-Biaya dalam Pembuatan Legislasi, Jakarta: Jurnal Hukum Jentera, Oktober 2005, h. 38
  6. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2002, Edisi III, h.70
  7. Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, PT Perca (Jakarta Timur, 2005), hal. 71
  8. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, Cet. Ke-3, h. 7-11
  9. Amiroedin Sjarif, Peundang-undangan Dasar; Jenis dan Teknik Membuatnya, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, h. 78-84