Showing posts sorted by relevance for query pengertian-tindak-pidana. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query pengertian-tindak-pidana. Sort by date Show all posts

Ilmu Pengetahuan Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana Dalam ilmu aturan pidana, dijumpai beberapa istilah yang bekerjasama dengan penyebutan terhadap perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam masyarakat atau sanggup dikatakan suatu perbuatan yang tercela, dimana pelakunya sanggup diancam dengan pidana tertentu sebagaimana yang tercantum dalam peraturan aturan pidana baik di dalam kitab undang-undang hukum pidana atau di luar KUHP.

Istilah-istilah yang dimaksud antara lain: kejadian pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana, yang ketiga istilah tersebut sering dipergunakan oleh pembuat undang-undang. Untuk lebih memperjelas pengertian dan pemahaman mengenai istilah-istilah yang digunakan akan diuraikan berikut ini, sekaligus pemaparan para jago pidana yang mendukung istilah-istilah yang digunakan :

a) Istilah kejadian pidana

Menurut Utrecht, menganjurkan menggunakan istilah kejadian pidana, sebab “Peristiwa” itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau doen-positif) atau suatu melalaikan (Verzuim atau nalaten, niet-doen-negatif) maupun kesudahannya (keadaan yang ditimbulkan oleh sebab perbuatan atau melalaikan itu). Makara kejadian pidana ialah kejadian aturan (rechtfeit), yaitu suatu kejadian kemasyarakatan yang membawa akhir yang diatur oleh hukum.

b) Istilah Perbuatan Pidana

Pengertian dari kejadian pidana berdasarkan Moelyatno kurang sempurna bila untuk pengertian yang abstrak, sebab kejadian pidana menunjuk pada pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya: matinya orang, terhadap kejadian tersebut mustahil dilarang, tapi yang dihentikan oleh aturan pidana ialah matinya orang sebab perbuatan orang lain, tapi apabila matinya orang tersebut sebab keadaan alam, sakit, maka kejadian tersebut tidak penting sama sekali bagi aturan pidana.
 dijumpai beberapa istilah yang bekerjasama dengan penyebutan terhadap perbuatan yang bole Ilmu Pengetahuan Pengertian  Tindak Pidana
Pengertian  Tindak Pidana
Istilah perbuatan pidana untuk terjemahan “strafbaar feit’ berdasarkan Moeljatno lebih tepat,dengan alasan dan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
  1. Kalau untuk recht, sudah lazim digunakan istilah “hukum, maka dieksekusi kemudian berarti : berecht, diadili, yang sama sekali tidak mesti bekerjasama dengan straf, pidana; sebab perkara-perkara perdatapun di-berecht, diadili. Maka untuk terjemahan strafbaar ialah istilah pidana sebagai singkatan dari yang sanggup dipidana.
  2. Perkataan perbuatan sudah lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari ibarat : perbuatan tak senonoh, perbuatan jahat dan sebagainya dan juga istilah teknis “perbuatan melawan aturan (onrechmatige daad)”. Perkataan perbuatan berarti dibentuk oleh seseorang dan menunjuk baik pada yang melaksanakan maupun pada akibatnya. Sedangkan kata kejadian tidak menunjukkan, bahwa yang menimbulkannya ialah “handeling” atau “gedraging” seseorang, mungkin juga binatang atau alam. Dan perkataan tidak berarti langkah dan gres dalam bentuk tindak tanduk atau tingkah laku.

c) Istilah Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam kitab undang-undang hukum pidana tanpa memperlihatkan sesuatu klarifikasi mengenai apa bahu-membahu yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit”. Perkataan “feit” itu sendiri didalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” ialah sanggup dihukum. Makara secara harafiah perkataan strafbaar feit itu sanggup diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang sanggup dihukum. Sehingga dengan hal ini menjadi kurang tepat, karna kita ketahui yang sanggup dieksekusi itu ialah insan sebagai langsung dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.

Menurut Satochid Kartanegara pemakaian istilah tindak pidana lebih tepat, sebab istilah tindak (tindakan), meliputi pengertian melaksanakan atau berbuat (aktieve handeling) dan/atau pengertian tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melaksanakan suatu perbuatan (passieve handeling). Istilah perbuatan berarti melakukan, berbuat (aktieve handeling) tidak meliputi pengertian mengakibatkan/tidak melakon. Istilah peristiwa, tidak memperlihatkan kepada hanya tindakan manusia. Sedangkan terjemahan dari pidana untuk srafbaar ialah sudah tepat.

Berdasarkan klarifikasi dan pengertian perihal istilah-istilah yang digunakan lebih sempurna ialah ibarat yang diuraikan Satochid Kartanegara dengan komplemen penjelasan, bahwa istilah tindak pidana dipandang diperjanjikan sebagai abreviasi dari tindak-an yang dilakukan oleh manusia, untuk mana ia sanggup di-pidana atau pe-tindak yang sanggup dipidana.

Sumber Hukum :

Kitab Undang Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
  3. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002. 
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana

Ilmu Pengetahuan Pengertian Tindak Pidana Pengeroyokan

Hukum Dan Undang Undang Untuk mendefinisikan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara bersama-sama, diharapkan ketelitian dan kejelasan yang tegas, lantaran mengingat kata pengeroyokan dalam khasanah keilmuan aturan pidana tidak terlalu terperinci pembahasannya dan hanya merupakan Bahasa yang timbul dan hidup di masyarakat sebagai realitas sosial yang sering juga disebut tindakan massa. Kaprikornus terdiri dari dua pengertian yang dirangkaikan menjadi satu yaitu pengertian perbuatan pidana dan pengertian pengeroyokan.

Kata pengeroyokan berdasarkan kamus ilmiah terkenal yaitu dengan : 
  • cara melibatkan banyak orang; bersama-sama; dan
  • secara besar-besaran (orang banyak). 
Kaprikornus berdasarkan pengertian di atas sanggup disimpulkan bahwa yaitu suatu tindakan dari sekumpulan orang banyak yang terdiri dari satu orang lebih yang tanpa batas berapa banyak jumlahnya.

Kaprikornus berdasarkan kedua pengertian di atas sanggup disimpulkan bahwa tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara gotong royong yaitu perbuatan yang dihentikan oleh aturan aturan yang berlaku disertai bahaya hukuman bagi pelanggarnya yang mana perbuatan tersebut dilakukan oleh sekumpulan orang banyak/lebih dari satu orang dimana jumlahnya tanpa batas ataupun yang biasa disebut dalam masyarakat tindakan dari “massa”.

 pengeroyokan yang dilakukan secara bersama Ilmu Pengetahuan   Pengertian Tindak  Pidana Pengeroyokan
  Pengertian Tindak  Pidana Pengeroyokan
Menurut para andal perbuatan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara gotong royong yang menjadikan kerusakan fisik maupun non fisik dikatakan sebagai kekerasan yang bertentangan dengan hukum, kekerasan dalam hal ini baik berupa bahaya saja maupun sudah merupakan suatu tindakan kasatmata dan mempunyai akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik/mengakibatkan simpulan hidup pada seseorang (definisi yang sangat luas sekali, lantaran menyangkut pula “mengancam” disamping suatu tindakan nyata).

Dengan melihat definisi perihal kekerasan tersebut maka dalam pidana yang dilakukan secara pengeroyokan masuk dalam kategori kekerasan kolektif (Collective Violeng). Biasanya tindakan pengeroyokan tersebut disertai/ditandai dengan ciri-ciri yaitu :
  1. Anonimitas yaitu memindah identitas dan tanggung jawab individual ke dalam identitas dan tanggung jawab kelompok;
  2. Impersonalitas yaitu relasi antara individu di luar massa maupun di dalam massa menjadi sangat impersonal;
  3. Sugestibilitas yaitu sifat sugestif dan menularnya.
Adapun yang menjadi catatan bagi penulis dalam hal ini yaitu antara tindak pidana yang dilakukan secara pengeroyokan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan tindak pidana yang biasa kita kenal (dilakukan) orang seorang, hanya saja yang membedakan yaitu subyek dari perbuatan tersebut yang jumlahnya lebih banyak/lebih dari satu orang. Adapun yang selama ini menjadi permasalahan yaitu terkait dengan tindakan aturan dan sumbangan hukuman yang adil serta efektif terhadap kelompok dan pelaku-pelaku atau sekumpulan orang yang mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya di lapangan.

Apabila dilihat dari sisi kitab undang-undang hukum pidana yang mana tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara gotong royong diatur dalam Pasal 170 KHUP, bahwa pengertian dari tindak pidana pengeroyokan itu tidak sanggup kita temukan, tetapi disebutkan dalam Pasal ini yaitu bahwa tindak pidana itu dilakukan secara terang-terangan atau terbuka didepan umum dengan tenaga gotong royong melaksanakan kekerasan terhadap orang atau barang. Tindakan terlarang disini ialah secara terbuka dengan tenaga bersama melaksanakan kekerasan terhadap orang (atau barang). Yang dimaksud dengan secara terbuka (openlijk) disini ialah bahwa tindakan itu sanggup disaksikan umum. Kaprikornus apakah tindakan itu dilakukan ditempat umum atau tidak, tidak dipersoalkan. Pokoknya sanggup dilihat oleh umum. Bahkan dalam praktek peradilan, bila tindakan itu dilakukan ditempat yang sepi, tidak ada insan yang lain melihat, penerapan delik ini dipandang tidak tepat, karna cukup delik penganiayaan saja yang diterapkan.

Sedangkan yang dimaksud dengan tenaga bersama disini yaitu bahwa beberapa tenaga dipersatukan oleh mereka yang mempunyai tenaga itu. Ini tidak berarti, dalam melaksanakan kekerasan terhadap orang misalnya, semua tangan menyekap orang itu, kemudian kaki menendangnya, kemudian semua tangan menghempaskannya. Jika ada yang menyekap, yang lain memukul dan yang lain menendang, telah terjadi penggunaan tenaga bersama.

Kaprikornus berdasarkan untuk subyek aturan (manusia) yaitu massa, yang terperinci berapa jumlah massanya yaitu dimana massa yang terlibat perbuatan pidana sanggup dihitung berapa jumlahnya serta diketahui seberapa besar keterlibatan dalam melaksanakan perbuatan pidana, lantaran hal tersebut sudah diatur dalam aturan pidana yaitu pada delik penyertaan (deelneming).

Dengan mengacu pada definisi perbuatan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara bersama-sama, sanggup dilihat bahwa tidak ada perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang membedakan yaitu dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh lantaran itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pembahasan dititik beratkan pada kata “pengeroyokan” .

Kaprikornus berdasarkan kata “pengeroyokan” yang menunjuk pada pelaku pada perbuatan pidana dimaksudkan yaitu dua orang lebih dan tidak terbatas maksimalnya. Maka berdasarkan hal tersebut perbuatan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara gotong royong dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Tindak pidana yang dilakukan secara pengeroyokan dengan subyek hukumnya yang terbentuk secara terorganisir. Umumnya pada bentuk ini dikendalikan oleh operator-operator lapangan yang mengerahkan bagaimana dan sejauhmana harus bertindak. Tindakan yang dilakukan ditujukan untuk mencari laba (material) secara kelompok dan dilakukan secara ilegal (melanggar hukum). Pada bentuk yang terorganisir dalam pembentukkannya sanggup terbentuk melalui 2 (dua) cara yaitu :
  • Yang terbentuk secara terorganisir melalui organisasi, yaitu mempunyai ciri-ciri yaitu: mempunyai identitas/nama perkumpulan, mempunyai struktur organisasi, mempunyai peraturan yang mengikat anggotanya, mempunyai keuangan sendiri, berkesinambungan dan sosial oriented; dan
  • Yang terbentuk secara terorganisir tidak melalui organisasi, yaitu hanya untuk jangka pendek atau sementara sifatnya, dan impulsif dibuat untuk melaksanakan perbuatan pidana, dan apabila sudah selesai apa yang dikerjakan maka pribadi bubar. 
Pada bentuk yang pertama ini dalam melaksanakan perbuatan pidana berdasarkan TB Ronny Nitibaskara mempunyai 3 (tiga) jenis perbuatan pidana atau bahasa yang sering dipakai yaitu kekerasan massa (dapat dipersamakan dengan kekerasan kolektif), adapun jenis tersebut, yaitu :
  • Kekerasan massal primitif, yaitu yang pada umumnya bersifat nonpolitis, ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas lokal, contohnya pengeroyokan, tawuran sekolah.
  • Kekerasan massal reaksioner, yaitu umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal, melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan/sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Contoh : ribuan sopir angkot mogok (didukung oleh mahasiswa lantaran disulut oleh adanya kenaikan retribusi dua kali dari Rp. 400 menjadi Rp. 800 yang terjadi di Bandar Lampung tahun 1996).
Sedangkan kekerasan kolektif modern, merupakan alat untuk mencapai tujuan hemat dan politis dari satu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.

2. Tindak pidana yang dilakukan secara pengeroyokan dengan subyek hukumnya tidak secara terorganisir yaitu sebuah reaksi terbentuk secara spontanitas tanpa adanya sebuah perencanaan terlebih dahulu. Pada jenis massa ini jauh lebih praktis berkembang menjadi amuk massa (acting mob). Adapun tindakan perihal dilakukan merupakan bentuk dari upaya untuk menarik perhatian dari publik maupun pegawanegeri penegak aturan atas kondisi sosial yang kurang memuaskan dengan cara yang ilegal. Pada bentuk kedua dalam melaksanakan perbuatan pidana dengan gotong royong yang artinya adanya kerjasama, tapi dalam kerjasama yang dilakukan terjadi dengan tanpa planning sebelumnya dan kerjasamanyapun hanya sebatas pada kerjasama fisik saja tidak non fisik. 

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Maulana Muhamad dkk, Kamus Ilmiah Populer. Cetakan Pertama, Absolut, Yogyakarta, 2003.
  2. Atmasasmita Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Cetakan Pertama: Eresco, Bandung. 1992.
  3. Sianturi.S.R, Tindak Pidana Di kitab undang-undang hukum pidana Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta. 1983.
  4. artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-deelneming-atau.html 
  5. http//www. Mail-archive.com@itb.ac.i1/ : 2007
  6. http//www. Kompas.com/kompas. Cetak/02.10/20/utama/pres/.htm : 2004
  7. http://antikorupsi.org/mod “Korupsi, Amuk Massa, dan Dagelan Hukum”: 2005

Ilmu Pengetahuan Pengertian, Tujuan, Klasifikasi, Ruang Lingkup Dan Sistem Eksekusi Aturan Pidana

Pengertian, Tujuan, Klasifikasi, Ruang Lingkup Dan Sistem Hukuman Hukum Pidana   Hukum Pidana, sebagai salah satu belahan independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen aturan yang sangat urgen eksistensinya semenjak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari bahaya tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
 
 Ruang Lingkup Dan Sistem Hukuman Hukum Pidana Ilmu Pengetahuan Pengertian, Tujuan, Klasifikasi, Ruang Lingkup Dan Sistem Hukuman Hukum Pidana
Hukum Pidana

A. Definisi Hukum Pidana

Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dihentikan oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dihentikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana yaitu aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dihentikan dan menawarkan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dihentikan dalam aturan pidana yaitu :
  • Pembunuhan;
  • Pencurian;
  • Penipuan;
  • Perampokan;
  • Penganiayaan;
  • Pemerkosaan; dan
  • Korupsi.
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najardalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang memilih perbuatan-perbuatan pidana yang dihentikan oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, mekanisme yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa”. Hukum pidana yaitu belahan daripada keseluruhan aturan yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
  1. Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai bahaya atau hukuman yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan larangan itu sanggup dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu sanggup dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melaksanakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja supaya dirasakan sebagai nestapa. Dalam ilmu aturan ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang kala dipakai untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi berdasarkan ia istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman.

Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, sanggup memiliki arti yang luas dan berubah-ubah lantaran istilah itu sanggup berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering dipakai dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya.

Oleh lantaran pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang sanggup membuktikan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak menawarkan klarifikasi lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar aturan pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, insiden pidana, serta delik.

B. Tujuan Hukum Pidana

Tujuan aturan pidana itu yaitu untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi insan dan melindungi kepentingan masyarakt dan negara dengan pertimbangan yang harmonis dari kejahatan/ tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang otoriter dilain pihak. Dengan demikian, yang dilindungi oleh aturan pidana bukan saja individu, tetapi juga negara, masyarakat harta benda milik individu.

Dari rumusan tujuan tersebut, sanggup dikelompokkan bahwa yang dilindungi oleh aturan pidana yaitu :
  1. Negara;
  2. Penguasa Negara;
  3. Masyarakat Umum;
  4. Individu;
  5. Harta Benda Individu;
  6. Binatang ternak termasuk tanaman.
Dalam banyak literatur aturan pidana, disebutkan bahwa tujuan aturan pidana yaitu antara lain untuk:
  1. Menakut-nakuti setiap orang jjangna hingga melaksanakan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik);
  2. Mendidik orang yang telah pernah melaksanakan perbuatan tidak baik menjadi baik dan sanggup diterima kembali dalam kehidupan lingkungan.
Pandangan tersebut di atas dikemukakan oleh Teguh Parsetyo dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana.

Secara konkrit tujuan aturan pidana itu ada dua, ialah :
  • Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan hingga melaksanakan perbuatan yang tidak baik.
  • Untuk mendidik orang yang telah pernah melaksanakan perbuatan tidak baik menjadi baik dan sanggup diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya.
Tujuan aturan pidana ini bekerjsama mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik.

Kaprikornus Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laris insan dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada insan yang melaksanakan perbuatan tidak baik yang kadang kala merusak lingkungan hidup insan lain, bekerjsama sebagai akhir dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.

Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa hingga seseorang melaksanakan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu aturan pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu aturan pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melaksanakan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana kesudahannya dan tindakan apa yang sanggup dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.

C. Klasifikasi Hukum Pidana

Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan aturan pidana. Dalam arti obyektif yaitu“sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu :
  • Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang memilih perbuatan-perbuatan kriminal yang dihentikan oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan belahan dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, menyerupai Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
  • Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya aturan materiil diharapkan aturan acara. Hukum program merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara supaya aturan (materil) itu terwujud atau sanggup diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa aturan program maka tidak ada manfaat aturan materiil. Untuk menegakkan ketentuan aturan pidana diharapkan aturan program pidana, untuk aturan perdata maka ada aturan program perdata. Hukum program ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari mekanisme pelaksanaannya semenjak waktu terjadinya pidana hingga penetapan aturan atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan aturan yang tumbuh dari mekanisme tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya”. Dari sini, terperinci bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
  • Dakwa Pidana, semenjak waktu terjadinya tindak pidana hingga berakhirnya aturan atasnya dengan bermacam-macam tingkatannya.
  • Dakwa Perdata, yang sering terjadi akhir dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
  • Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, lantaran sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan lantaran terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh alasannya yaitu itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, lantaran harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan kalau memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para hebat telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.

Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu“sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melaksanakan perbuatan yang dilarang”.

D. Ruang Lingkup Hukum Pidana

Hukum Pidana memiliki ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan insiden pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan aturan yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang bisa bertanggung jawab. Kaprikornus unsur-unsur insiden pidana, yaitu :
  • Sikap tindak atau perikelakuan manusia. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar pembatalan kesalahan.
  • Sikap tindak yang sanggup dihukum/dikenai hukuman adalah:
  1. Perilaku insan ; Bila seekor singa membunuh seorang anak maka singa tidak sanggup dihukum,
  2. Terjadi dalam suatu keadaan, dimana perilaku tindak tersebut melanggar hukum, contohnya anak yang bermain bola menimbulkan pecahnya beling rumah orang,
  3. Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya beling jendela rumah orang tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian orang lain,
  4. Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi perilaku tindak tersebut.Orang yang memecahkan beling tersebut yaitu orang yang sehat dan bukan orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka insiden pidana/delik sanggup dibedakan dalam :
  • Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah perilaku tindak atau perikelakuan yang dihentikan tanpa merumuskan akibatnya.
  • Delik materiil, tekanan perumusan delik ini yaitu akhir dari suatu perilaku tindak atau perikelakuan. Misalnya Pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana :
“Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu perbuatan sanggup dieksekusi tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas legalitas”.

Aturan aturan pidana berlaku bagi setiap orang yang melaksanakan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang aturan pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan aturan pidana, ialah :
  1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel),
  2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel),
  3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)

E. Sistem Hukuman

Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 perihal pidana pokok dan tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang sanggup dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :

a. Hukuman Pokok (hoofd straffen )

  1. Hukuman mati,
  2. Hukuman penjara,
  3. Hukuman kurungan, dan
  4. Hukuman denda

b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)

  1. Pencabutan beberapa hak tertentu,
  2. Perampasan barang-barang tertentu, dan
  3. Pengumuman putusan hakim.

Sumber Hukum :

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (WETBOEK VAN STRAFRECHT)

Referensi :

  1. Drs. P.A.F. Lamintang, SH “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung 
  2. Erdianto Effendi, 2011. HUKUM PIDANA INDONESIA Suatu Pengantar. PT Refika Aditama: Bandung. 
  3. Ikhtisar Ilmu Hukum, Prof. DR. H. Muchsin, S.H, Hal. 84 
  4. Asas Asas Hukum Pidana, Prof. Moeljatno, S.H., Hal. 1
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum-pidana
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum-pidana
  7. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum-pidana

Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pengeroyokan

tindak pidana yang dengan terang-terangan dan tenaga bersama melaksanakan kekerasan terhadap orang yang mengakibatkan luka-luka dan barang yang mengakibatkan perusakan barang. Tindak pidana ini sering disebut dengan tindak pidana pengeroyokan dan perusakan.

Pengeroyokan dan perusakan yaitu istilah pidana perihal Tindak pidana pada Pasal 170 kitab undang-undang hukum pidana :
  • (1) Barangsiapa terang terangan dan dengan tenaga bersama melaksanakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling usang lima tahun enam bulan.
  • (2) Yang bersalah diancam Ke :
  1. Dengan pidana penjara paling usang 7 (tujuh) tahun, kalau dengan sengaja menghancurkan barang atau kalau kekerasan yang dipakai menjadikan luka-luka;
  2. Dengan pidana paling usang 9 (sembilan) tahun, kalau kekerasan menjadikan luka berat; dan
  3. Dengan pidana paling usang 12 (dua belas) tahun, kalau kekerasan menjadikan maut.
  • (3)Pasal 89 tidak berlaku bagi pasal ini ( Pasal 170 kitab undang-undang hukum pidana ). 
Pada Pasal 170 ayat (2) kitab undang-undang hukum pidana memuat unsur-unsur sebagai berikut :
  1. Unsur barang siapa;
  2. Unsur dengan terang-terangan dan tenaga bersama;
  3. Unsur memakai kekerasan terhadap orang atau perusakan terhadapbarang;
  4. Unsur yang menjadikan luka-luka atau penghancuran barang.
Untuk mengetahui lebih terang perihal unsur-unsur delik dimuka aturan bahu-membahu melaksanakan kekerasan terhadap orang atau barang atau yang biasa disebut delik pengeroyokan sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka sudah barang tentu sanggup kita ketahui dari uraian Pasal yang menyangkut persoalan pengeroyokan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 170.
 Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana  Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Tindak Pidana Pengeroyokan
Unsur-Unsur Tindak Pidana Pengeroyokan
Unsur - unsur dari Pasal tersebut diatas yaitu sebagai berikut :
  • Dimuka UMUM, yaitu kejahatan yang dilakukan ditempat umum yang sanggup dilhat oleh publik.
  • Bersama melaksanakan kekerasan, yaitu melaksanakan kekerasan sedikit - dikitnya dua orang atau lebih, orang -orang yang hanya mengikuti dan tidak benar benar turut melaksanakan kekerasan tidak sanggup dikenakan Pasal 170 KUHP.
  • Barang siapa, yaitu siapa saja (pelaku) yang melaksanakan tindak pidana atau sanggup dikatakan unsur barang siapa yaitu subyek / pelaku dari peristiwa.
  • Menyebabkan suatu luka, yaitu yang mengakibatkan suatu luka abapila kekerasan itu hanya merupakan akhir yang tidak dimaksud oleh si pembuat.
  • Luka berat pada tubuh. Dalarn klarifikasi Pasal 90 kitab undang-undang hukum pidana dinyatakan luka berat pada badan yaitu :
  1. Penyakit atau luka yang mustahil sembuh dengan tepat atau dengan ancaman maut. Jika luka atau sakit yang bagaimanapun besarnya bila sanggup disembuhkan dengan tidak mendatangkan ancaman janjkematian tidak digolongkan dengan luka berat;
  2. Selalu tidak cakap lagi melaksanakan pekerjaan atau jabatan. Apabila keadaan tidak cakap melaksanakan pekerjaan itu hanya sementara, tidak sanggup di kategorikan luka berat, misainya seorang penyanyi yang luka kerongkongannya sehingga tidak sanggup menyanyi lagi untuk selama - iamanya, termasuk luka berat;
  3. Tidak memakai salah satu panca inderanya,yang dimaksud panca indra ialah penglihatan,pendengaran, apa yang dirasakan oleh pengecap dan terdapat diseluruh tubuh. Orang yang menjadi buta matanya sebelah atau orang menjadi tuli telingnya sebelah, belum sanggup digolongkan luka berat. Karena dengan matanya yang lain masih sanggup melihat dan telingnay yang lain masih sanggup mendengar;
  4. Perubahan badan menjadi jelek kehilangan atau rusak anggota badan contohnya hidungnya rompong dan telingannya putus, jari tangan atau kaki teriris dan lain sebagainya;
  5. Tidak sanggup menggerakkan anggota tubuh;
  6. Berubah pikiran lebih dari empat minggu. Pikirannya terganggu, kacau tidak sanggup berpikir dengan normal. Untuk sanggup digolongkan luka berat maka keadaan menyerupai ini harus berjalan lebih dari empat ahad apabila kurang dari empat ahad tidak sanggup dikatakan luka berat; dan
  7. Gugurnya atau matinya anak yang dikandung oleh seorang ibu.
  • Menyebabkan matinya orang.

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Maulana Muhamad dkk, Kamus Ilmiah Populer. Cetakan Pertama, Absolut, Yogyakarta, 2003.
  2. Atmasasmita Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Cetakan Pertama: Eresco, Bandung. 1992.
  3. Sianturi.S.R, Tindak Pidana Di kitab undang-undang hukum pidana Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta. 1983.
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana
  6. http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2107134 : 2011

Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Hukum Dan Undang Undang Apabila seseorang melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi pada suatu daerah dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku; dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluwarsa); dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela. 

Dengan perkataan lain suatu tindakan yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu tindak pidana dalam arti penerapan ketentuan pidana Indonesia.

Dari uraian tersebut di atas, secara ringkas dapatlah disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana yaitu :
  1. Subyek dari pelaku tindakan;
  2. Kesalahan dari tindakan;
  3. Bersifat melawan aturan dari tindakan tersebut;
  4. Suatu tindakan yang tidak boleh atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; dan
  5. Waktu, daerah dan keadaan terjadinya suatu tindak pidana.
Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya sanggup dijabarkan kedalam unsur-unsur yang sanggup dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : 

Apabila seseorang melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugik Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Unsur-unsur subjektif

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang menempel pada diri sipelaku atau yang bekerjasama dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, dimana unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu yaitu :
  • Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa),
  • Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging ibarat yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 KUHP,
  • Macam-macam maksud atau oogmerk ibarat yang terdapa contohnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain,
  • Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad ibarat yang contohnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan berdasarkan Pasal 340 KUHP,
  • Perasaan takut atau vress ibarat antara lain yang terdapat didalam rumusan tindak pidana berdasarkan Pasal 308 KUHP.

2. Unsur-unsur objektif

Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan, dimana unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu yaitu :
  • Sifat melanggar aturan atau wederrechtelijkheid,
  • Kualitas dari sipelaku, contohnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan berdasarkan Pasal 415 kitab undang-undang hukum pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan berdasarkan Pasal 398 KUHP,
  • Kausalitas, yakni kekerabatan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Ada sebagian pendapat yang membagi unsur istilah perbuatan pidana secara fundamental dan pendapat lain yang membagi secara terperinci. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pendapat para ahli. 

1. Pendapat yang membagi unsur-unsur perbuatan pidana secara fundamental yang terdiri dari :
  • Bagian yang obyektif menunjuk perbuatan pidana terdiri dari perbuatan dan akibat, yang merupakan bencana yang bertentangan dengan aturan positif sebagai anasir yang melawan aturan (onrechtmatig) yang sanggup diancam dengan pidana.
  • Bagian subyektif yang merupakan anasir kesalahan daripada perbuatan pidana. Menurut Apeldoorn dan Van Bemmelen bahwa elemen delik itu terdiri elemen obyektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan aturan (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subyektif yang berupa adanya seorang pembuat (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan aturan itu.
2. Pendapat yang menunjukkan rumusan terperinci terhadap unsur-unsur perbuatan pidana, diantaranya berdasarkan Vos di dalam suatu strafbaar feit (perbuatan pidana) dimungkinkan adanya beberapa elemen atau unsur delik, yaitu :
  • Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een nalaten);
  • Elemen akhir dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akhir ini sanggup dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan adakala elemen akhir tidak dipentingkan dalam delik formel, akan tetapi adakala elemen akhir dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya ibarat dalam delik materiel;
  • Elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa);
  • Elemen melawan aturan (wederrechtelijkheid);
  • Eelemen lain berdasarkan rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif contohnya di dalam Pasal 160 diharapkan elemen dimuka aturan (in het openbaar) dan segi subyektif contohnya Pasal 340 kitab undang-undang hukum pidana diharapkan elemen direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad).
Perbuatan pidana yang oleh aturan pidana tidak boleh dan diancam dengan pidana dinamakan “delik” yang dalam sistem kitab undang-undang hukum pidana terbagi dalam 2 (dua) jenis yaitu :
  • Kejahatan (misdrijven), yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan yaitu Criminal-onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan aturan atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma berdasarkan kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan kepentingan hukum. Contoh dari kejahatan dalam kitab undang-undang hukum pidana yaitu pada Pasal 362 wacana pencurian, pasal 378 wacana penggelapan, dan lain-lain. Tapi ada satu catatan bahwa pengertian kejahatan berdasarkan aturan pidana berbeda dengan kejahatan berdasarkan ilmu kriminologi.
  • Pelanggaran (overtredingen), disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran yaitu politie-onrecht yaitu perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan kata lain perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan tidak boleh oleh peraturan penguasa Negara. Contoh dari bentuk pelanggaran dalam kitab undang-undang hukum pidana adalah: Pasal 504 wacana Pengemisan, Pasal 489 wacana Kenakalan, dan lain-lain.
Dalam undang-undang terdapat beberapa bentuk perumusan delik, yang disebabkan adanya banyak sekali kesulitan perumusan yang menyangkut segi teknis-yuridis, yuridis-sosiologis, dan politis. Adapun bentuk perumusannya diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Kategori pertama

  • Perumusan formal, yang menekankan pada perbuatan, terlepas dari akhir yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah sanggup dipidana, contoh: Pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana wacana Pencurian yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk mempunyai secara melawan hukum, diancam lantaran pencurian, dengan pidana penjara paling usang lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Istilah “mengambil” berarti suatu perbuatan yang tidak lebih, yang mana perbuatan mengambil itu menimbulkan kehilangan milik secara tidak sukarela, yaitu akhir yang tidak dikehendaki yang dimaksud pembentuk undang-undang.
  • Perumusan materiel, yaitu yang tidak boleh dan sanggup dipidana yaitu menimbulkan akhir tertentu, meskipun perbuatan disini juga penting, sudah terkandung didalamnya, pola : Pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana wacana Menyebabkan Matinya Orang Lain.
  • Perumusan materiel-formil, yaitu antar perbuatan dan akhir dicantumkan dalam rumusan pasal, contoh: Pasal 378 kitab undang-undang hukum pidana wacana Penipuan.

2. Kategori kedua

  • Delik Komisi, yaitu apabila pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu atau dalam kata lain pelanggaran terhadap norma yang melarang menimbulkan delik komisi, contoh: Pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana wacana Pencurian.
  • Delik Omisi, yaitu kebalikan dari delik komisi dimana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, atau dalam kata lain yaitu melanggar norma yang memerintahkan delik omisi.
  • Delik omisi semu, yaitu menimbulkan menyebabkan akhir lantaran lalai, meskipun rumusan delik yang akan diterapkan tertuju pada berbuat dan berlaku untuk semua orang. Tapi dalam hal ini delik omisi semu harus mempunyai batasan-batasan lantaran sanggup meluas pada delik berbuat dan tidak berbuat, contoh: Pasal 338 kitab undang-undang hukum pidana terhadap kasus seorang ibu sengaja tidak menunjukkan makan kepada bayinya dan kesannya meninggal.

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
  3. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana : Bina Aksara, Jakarta, 1987.
  4. Schaffmeister.D. Keijzer.N. dan Sotorius. E. PH.  Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta. 1995.
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana