Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Hukum Dan Undang Undang Apabila seseorang melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi pada suatu daerah dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku; dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluwarsa); dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela. 

Dengan perkataan lain suatu tindakan yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu tindak pidana dalam arti penerapan ketentuan pidana Indonesia.

Dari uraian tersebut di atas, secara ringkas dapatlah disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana yaitu :
  1. Subyek dari pelaku tindakan;
  2. Kesalahan dari tindakan;
  3. Bersifat melawan aturan dari tindakan tersebut;
  4. Suatu tindakan yang tidak boleh atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; dan
  5. Waktu, daerah dan keadaan terjadinya suatu tindak pidana.
Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya sanggup dijabarkan kedalam unsur-unsur yang sanggup dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : 

Apabila seseorang melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugik Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Unsur-unsur subjektif

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang menempel pada diri sipelaku atau yang bekerjasama dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, dimana unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu yaitu :
  • Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa),
  • Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging ibarat yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 KUHP,
  • Macam-macam maksud atau oogmerk ibarat yang terdapa contohnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain,
  • Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad ibarat yang contohnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan berdasarkan Pasal 340 KUHP,
  • Perasaan takut atau vress ibarat antara lain yang terdapat didalam rumusan tindak pidana berdasarkan Pasal 308 KUHP.

2. Unsur-unsur objektif

Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan, dimana unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu yaitu :
  • Sifat melanggar aturan atau wederrechtelijkheid,
  • Kualitas dari sipelaku, contohnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan berdasarkan Pasal 415 kitab undang-undang hukum pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan berdasarkan Pasal 398 KUHP,
  • Kausalitas, yakni kekerabatan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Ada sebagian pendapat yang membagi unsur istilah perbuatan pidana secara fundamental dan pendapat lain yang membagi secara terperinci. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pendapat para ahli. 

1. Pendapat yang membagi unsur-unsur perbuatan pidana secara fundamental yang terdiri dari :
  • Bagian yang obyektif menunjuk perbuatan pidana terdiri dari perbuatan dan akibat, yang merupakan bencana yang bertentangan dengan aturan positif sebagai anasir yang melawan aturan (onrechtmatig) yang sanggup diancam dengan pidana.
  • Bagian subyektif yang merupakan anasir kesalahan daripada perbuatan pidana. Menurut Apeldoorn dan Van Bemmelen bahwa elemen delik itu terdiri elemen obyektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan aturan (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subyektif yang berupa adanya seorang pembuat (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan aturan itu.
2. Pendapat yang menunjukkan rumusan terperinci terhadap unsur-unsur perbuatan pidana, diantaranya berdasarkan Vos di dalam suatu strafbaar feit (perbuatan pidana) dimungkinkan adanya beberapa elemen atau unsur delik, yaitu :
  • Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een nalaten);
  • Elemen akhir dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akhir ini sanggup dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan adakala elemen akhir tidak dipentingkan dalam delik formel, akan tetapi adakala elemen akhir dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya ibarat dalam delik materiel;
  • Elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa);
  • Elemen melawan aturan (wederrechtelijkheid);
  • Eelemen lain berdasarkan rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif contohnya di dalam Pasal 160 diharapkan elemen dimuka aturan (in het openbaar) dan segi subyektif contohnya Pasal 340 kitab undang-undang hukum pidana diharapkan elemen direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad).
Perbuatan pidana yang oleh aturan pidana tidak boleh dan diancam dengan pidana dinamakan “delik” yang dalam sistem kitab undang-undang hukum pidana terbagi dalam 2 (dua) jenis yaitu :
  • Kejahatan (misdrijven), yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan yaitu Criminal-onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan aturan atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma berdasarkan kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan kepentingan hukum. Contoh dari kejahatan dalam kitab undang-undang hukum pidana yaitu pada Pasal 362 wacana pencurian, pasal 378 wacana penggelapan, dan lain-lain. Tapi ada satu catatan bahwa pengertian kejahatan berdasarkan aturan pidana berbeda dengan kejahatan berdasarkan ilmu kriminologi.
  • Pelanggaran (overtredingen), disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran yaitu politie-onrecht yaitu perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan kata lain perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan tidak boleh oleh peraturan penguasa Negara. Contoh dari bentuk pelanggaran dalam kitab undang-undang hukum pidana adalah: Pasal 504 wacana Pengemisan, Pasal 489 wacana Kenakalan, dan lain-lain.
Dalam undang-undang terdapat beberapa bentuk perumusan delik, yang disebabkan adanya banyak sekali kesulitan perumusan yang menyangkut segi teknis-yuridis, yuridis-sosiologis, dan politis. Adapun bentuk perumusannya diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Kategori pertama

  • Perumusan formal, yang menekankan pada perbuatan, terlepas dari akhir yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah sanggup dipidana, contoh: Pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana wacana Pencurian yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk mempunyai secara melawan hukum, diancam lantaran pencurian, dengan pidana penjara paling usang lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Istilah “mengambil” berarti suatu perbuatan yang tidak lebih, yang mana perbuatan mengambil itu menimbulkan kehilangan milik secara tidak sukarela, yaitu akhir yang tidak dikehendaki yang dimaksud pembentuk undang-undang.
  • Perumusan materiel, yaitu yang tidak boleh dan sanggup dipidana yaitu menimbulkan akhir tertentu, meskipun perbuatan disini juga penting, sudah terkandung didalamnya, pola : Pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana wacana Menyebabkan Matinya Orang Lain.
  • Perumusan materiel-formil, yaitu antar perbuatan dan akhir dicantumkan dalam rumusan pasal, contoh: Pasal 378 kitab undang-undang hukum pidana wacana Penipuan.

2. Kategori kedua

  • Delik Komisi, yaitu apabila pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu atau dalam kata lain pelanggaran terhadap norma yang melarang menimbulkan delik komisi, contoh: Pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana wacana Pencurian.
  • Delik Omisi, yaitu kebalikan dari delik komisi dimana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, atau dalam kata lain yaitu melanggar norma yang memerintahkan delik omisi.
  • Delik omisi semu, yaitu menimbulkan menyebabkan akhir lantaran lalai, meskipun rumusan delik yang akan diterapkan tertuju pada berbuat dan berlaku untuk semua orang. Tapi dalam hal ini delik omisi semu harus mempunyai batasan-batasan lantaran sanggup meluas pada delik berbuat dan tidak berbuat, contoh: Pasal 338 kitab undang-undang hukum pidana terhadap kasus seorang ibu sengaja tidak menunjukkan makan kepada bayinya dan kesannya meninggal.

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
  3. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana : Bina Aksara, Jakarta, 1987.
  4. Schaffmeister.D. Keijzer.N. dan Sotorius. E. PH.  Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta. 1995.
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment