Showing posts sorted by date for query pengertian-deelneming-atau. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query pengertian-deelneming-atau. Sort by relevance Show all posts

Ilmu Pengetahuan Pengertian Deelneming Atau Keturutsertaan

tindak pidana atau dengan lain perkataan ada 2 (dua) orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana

Secara luas sanggup disebutkan bahwa seseorang turut serta ambil kepingan dalam hubungannya dengan orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadi (misalnya merencanakan), bersahabat sebelum terjadi (misalnya menyuruh atau menggerakkan untuk melakukan, menawarkan keterangan), pada ketika terjadi (misalnya turut serta, gotong royong melaksanakan atau seseorang itu dibantu oleh orang lain), atau sehabis terjadinya suatu tindak pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pelaku).

Ajaran turut serta yang diterjemahkan dari Bahasa Belanda “deelneming” ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya seseorang yang tersangkut dalam delik sanggup dihukum. Disamping itu juga ditentukan dalam hal-hal mana pertanggungjawaban pidana sanggup diperluas terhadap setiap orang yang membantu terjadinya delik. 
 atau keturutsertaan oleh pembentuk undang Ilmu Pengetahuan Pengertian Deelneming Atau Keturutsertaan
Pengertian Deelneming Atau Keturutsertaan
Tanpa adanya ketentuan wacana turut serta dalam KUH Pidana, maka penerima yang membantu pelaku melaksanakan delik, tidak sanggup dihukum, sebab dia sendiri (peserta) tidak melaksanakan suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur-unsur delik menyerupai yang ditentukan dalam undang-undang pidana.

Sehingga rasio dari ketentuan wacana turut serta dibentuk semoga setiap orang yang bukan pembuat (peserta) sanggup diminta pertanggungjawaban secara pidana, walaupun perbuatan mereka sendiri tidak memuat semua unsur-unsur delik yang bersangkutan. Walaupun mereka bukan pembuat, mereka tetap sanggup dituntutpertanggungjawaban atas dilaksanakannya delik itu, sebab tanpa turut sertanya mereka sudah tentu delik tersebut tidak pernah terjadi.

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan  Pertama, Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.
  3. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana

Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Deelneming Atau Keturutsertaan

Deelneming Atau Keturutsertaan adalah: apabila dalam suatu kejadian pidana terdapat lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari pertanggungjawaban dan peranan masing-masing akseptor dalam persitiwa tersebut.

Hubungan antar akseptor dalam menuntaskan tindak pidana tersebut, ialah :
  1. Bersama-sama melaksanakan kejahatan;
  2. Seorang memiliki kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut; dan
  3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Penyertaan sanggup dibagi berdasarkan sifatnya :
  1. Bentuk penyertaan bangun sendiri: mereka yang melaksanakan dan yang turut serta melaksanakan tindak pidana. Pertanggungjawaban masing-masing akseptor dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
  2. Bentuk penyertaan yang tidak bangun sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melaksanakan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari akseptor yang satu digantungkan pada perbuatan akseptor lain. Apabila akseptor satu dieksekusi yang lain juga.
 apabila dalam suatu kejadian pidana terdapat lebih dari  Ilmu Pengetahuan Unsur-unsur Deelneming Atau Keturutsertaan
Unsur-unsur Deelneming Atau Keturutsertaan
Dalam Bab V kitab undang-undang hukum pidana yang ditentukan mengenai penyertaan terbatas hanya sejauh yang tercantum dalam Pasal 55 hingga 60 yang pada garis besarnya berbetuk penyertaan dalam arti sempit (Pasal 55) dan pembantuan (Pasal 56 dan 59). Sehingga bentuk-bentuk ini diperinci menjadi unsur-unsur dari turut serta (deelneming) yaitu :
  1. Dua orang atau lebih tolong-menolong (berbarengan) melaksanakan suatu tindak pidana,
  2. Ada yang menyuruh dan ada yang disuruh melaksanakan suatu tindak pidana,
  3. Ada yang melaksanakan dan ada yang turut serta melaksanakan tindak pidana,
  4. Ada yang menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat-syarat tertentu unutk melaksanakan tindak pidana,
  5. Pengurus-pengurus, anggota-anggota tubuh pengurus atau komisaris-komisaris yang (dianggapkan) turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu,
  6. Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk melaksanakan suatu tindak pidana kejahatan.
Ketentuan pidana dalam Pasal 55 dan 56 kitab undang-undang hukum pidana disebut sebagai suatu pembicaraan mengenai problem pelaku (dader) dan keturutsertaan (deelneming), sanggup diambil rumusannya bahwa :
  • Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu :
  1. Mereka yang melakukan, menyuruh melaksanakan atau turut melakukan;
  2. Mereka yang dengan pemberia-pemberian, janji-janji dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, bahaya atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memperlihatkan kesempatan sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana.
  • Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang sanggup dipertanggungjawabkan kepada mereka itu ialah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana dalam Pasal 56 kitab undang-undang hukum pidana disebut sebagai suatu pembicaraan mengenai problem pelaku (dader) dan keturutsertaan (deelneming), sanggup diambil rumusannya bahwa :
  1. Mereka yang sengaja telah memperlihatkan tunjangan dalam melaksanakan kejahatan tersebtu; dan
  2. Mereka yang dengan sengaja telah memperlihatkan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. 

 

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan  Pertama, Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.
  3. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-deelneming-atau
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-deelneming-atau
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-deelneming-atau

Ilmu Pengetahuan Jenis-Jenis Deelneming Atau Keturutsertaan

deelneming (penyertaan). Dalam konteks ini, deelneming ialah berkaitan dengan suatu kejadian pidana yang pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggung jawab masing-masing pelaku dari kejadian pidana itu.

Dalam kaitan itu, maka apabila dihubungkan antara Pasal 55 kitab undang-undang hukum pidana dengan pedoman deelneming, maka sesungguhnya tidak ada dalam satu kejadian pidana diantara pelaku memiliki kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim menyatakan terbukti Pasal 55 kitab undang-undang hukum pidana dengan hanya sebatas menyatakan adanya korelasi kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu kejadian pidana tanpa sanggup memperlihatkan tugas masing-masing pelaku, sesungguhnya proses pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 kitab undang-undang hukum pidana ialah tidak sempurna. Bahkan sekaligus menggambarkan proses persidangan telah gagal menggali kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.

Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada keharusan untuk menemukan tugas pelaku dan para pelaku dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing. Artinya dalam prinsip deelneming tidaklah sanggup semua pelaku ialah sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang yang menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta melakukan. Dalam konteks ini, suatu kejadian pidana yang pelakunya lebih dari satu orang meminta adanya inovasi dari penegak aturan untuk menemukan kedudukan dan tugas dari masing-masing pelaku.
 Dalam proses penegakan aturan pidana kerap dipergunakan Pasal  Ilmu Pengetahuan Jenis-jenis Deelneming Atau Keturutsertaan
Jenis-jenis Deelneming Atau Keturutsertaan
Dalam suatu kejadian pidana ialah sangat penting menemukan korelasi antar pelaku dalam menuntaskan suatu tindak pidana, yakni bahu-membahu melaksanakan tindak pidana; Seorang memiliki kehendak dan merencanakan kejahatan sedangkan ia memakai orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang melaksanakan suatu tindak pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tidak pidana tersebut.

Secara garis besar sanggup dikelompokan, penyertaan sanggup bangun sendiri, mereka yang melaksanakan dan turut serta melakukan. Tanggung jawab pelaku dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang dilakukan. Penyertaan sanggup juga dalam arti tidak bangun sendiri, pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk melaksanakan suatu tindak pidana.

Dalam kitab undang-undang hukum pidana kita telah menyebutkan bentuk-bentuk perbuatan penyertaan berdasarkan Pasal 55 atau Pasal 47 WvS N ialah orang yang plegen, orang yang doen plegen, orang yang medeplegen dan orang yang uitlokking, keempat bentuk penyertaan ini dalam hal pemidanaannya dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu pembuat/daders/princippals/autores dan pembantu/ medeplichtige/accessories/ pembantu, untuk pembantuan telah ditetapkan pada Pasal 56 (1e) KUHP. Ajaran turut serta ialah buah pikiran von Feuerbach yang membagi penerima dalam 2 (dua) jenis, yaitu :
  • Mereka yang lansung berusaha terjadinya kejadian disebut auctores atau urheber yaitu yang melaksanakan inisiatif ialah :
  1. Pelaku (pleger);
  2. Yang menyuruh melaksanakan (doen pleger);
  3. Yang turut melaksanakan (medepleger); dan
  4. Yang membujuk melakukan/pembujuk (uitlokker).
  • Mereka yang hanya membantu perjuangan yang dilakukan oleh mereka yang disebut mereka yang lansung berusaha, disebut gehilfe yaitu yang membantu (medeplichtige).
Disamping pembagian tersebut ada juga pembagian lain yang dibentuk oleh Zevenbergen, Van Hamel, Simons dan Vos yaitu :
  1. Peserta yang bangun sendiri (zelfstandige deelnemers) yaitu pleger, doenpleger dan mendepleger. Disebut penerima yang bangun sendiri alasannya sanggup tidaknya mereka dieksekusi bergantung kepada apa yang mereka lakukan sendiri.
  2. Peserta yang tidak bangun sendiri (onzelfstandige deelnemers atau accessoire deelnemers) yaitu uitlokker dan mendiplechtige. Disebut tidak bangun sendiri alasannya tidak sanggup mereka dihukum, bergantung kepada apa yang dilakukan oleh orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan masing-masing bentuk turut serta ialah :

a. Pelaku (Pleger)

Pelaku ialah pembuat lengkap yaitu mereka yang perbuatannya memuat/memenuhi semua unsur-unsur delik yang bersangkutan. Berkenaan dengan rumusan aturan pidana tertentu yang tidak tegas siapa (subyek) dinyatakan melakuan perbuatan pidana dan istilah pleger yang kadang-kadang sanggup diartikan dader, dalam aturan pidana Jerman menyatakan semua bentuk orang yang melaksanakan perbuatan pidana ialah tater (dader) sebagai perbuatan yang memenuhi syarat rumusan delik, sebaliknya Langemayer menyatakan semua orang yang mewujudkan perbuatan pidana Pasal 55 kitab undang-undang hukum pidana dinamakan pleger.

b. Yang Menyuruh Melakukan (doenpleger)

Ajaran ini disebut juga middelijkedaderschap (perbuatan dengan perantara), yaitu seseorang yang berkehendak melaksanakan suatu delik, tidak melaksanakan sendiri akan tetapi menyuruh orang lain melakukannya. Menurut Memorie vanToelieting (MvT) didalam menyuruh melaksanakan terdapat beberapa unsur, yaitu :
  1. Adanya seseorang yang digunakan sebagai alat;
  2. Tetapi tidak bertanggungjawab atas perbuatannya berdasarkan aturan pidana; dan
  3. Orang yang disuruh tidak sanggup dihukum.

c. Yang Turut Melakukan (medepleger)

Yang dimaksud dengan turut melaksanakan dalam kitab undang-undang hukum pidana tidak ada penjelasan. Oleh karenanya dalam menafsirkan turut melaksanakan itu muncul banyak pendapat yang berbeda-beda satu sama lain.

Menurut Memorie vanToelieting (MvT) hanya disebutkan bahwa yang turut melaksanakan ialah tiap orang yang sengaja “meedoet” (turut berbuat dalam melaksanakan satu kejadian pidana).

Van Hamel dan Trapman beropini bahwa turut melaksanakan itu terjadi apabila perbuatan masing-masing penerima memuat semua anasir-anasir kejadian pidana yang bersangkutan. Simons yang juga menempatkan yang turut melaksanakan itu sebagai pembuat, mengemukakan bahwa yang turut melaksanakan harus memiliki pada dirinya semua kwalitet-kwalitet yang dipunyai oleh seorang pembuat delik yang bersangkutan. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan oleh yang turut melaksanakan tidak perlu merupakan satu perbuatan yang penuh.

d. Yang Membujuk Melakukan (uitlokker)

Maksud yang membujuk melaksanakan disini ialah mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain biar melaksanakan perbuatan.

Dari rumasan di atas sanggup ditarik beberapa unsur membujuk yaitu :
  1. Seseorang atau lebih dengan sengaja membujuk/mengajak/menggerakkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu delik (tertentu);
  2. Pembujukan dilakukan harus dengan memakai salah satu atau lebih cara/ikhtiar yang ditentukan secara limitative/terbatas dalam Pasal 55 ayat (1) sub 2e;
  3. Timbulnya kehendak orang yang dibujuk untuk melaksanakan delik (tertentu) ialah tanggapan bujukan dari sipembujuk (harus ada psychische causaliteit);
  4. Orang yang dibujuk harus telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan delik yang dikehendaki sipembujuk;
  5. Orang yang dibujuk bertanggungjawab penuh berdasarkan aturan pidana.

e. Membantu Melakukan (medeplechtigheid) Gehilfe

Bentuk turut serta membantu melaksanakan ini diatur dalam Pasal 56 kitab undang-undang hukum pidana yang mana dipidana sebagai pembantu kejahatan :
  1. Mereka yang sengaja memberi pertolongan pada waktu kejahatan dilakukan;
  2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keteranga untuk melaksanakan kejahatan.
Maka disimpulkan ialah bahwa membantu tersebut hanya sanggup dieksekusi dalam membantu kejahatan. Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Pasal 60 kitab undang-undang hukum pidana yang memilih bahwa membantu melaksanakan pelanggaran tidak dihukum. Membantu melaksanakan kejahatan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu :
  • Membantu melaksanakan kejahatan (medeplichtigheid bij het plegen van het misdrijf). Membantu melaksanakan kejahatan maka pertolongan diberikan pada ketika kejahatan sedang dilakukan. Bentuk pertolongan sanggup berupa berbuat sesuatu (membantu materil) dan membantu dengan memperlihatkan nasehat (membantu intelektuil).
  • Membantu untuk melaksanakan kejahatan (medeplichtigheid tot het plegen van het misdrijf). Membantu untuk melaksanakan kejahatan maka pertolongan diberikan sebelum kejahatan dilakukan. Cara membantu ditentukan secara terbatas dalam Pasal 56 kitab undang-undang hukum pidana yaitu memberi kesempatan, daya upaya dan keterangan.

 

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan  Pertama, Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.
  3. Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-deelneming-atau
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-deelneming-atau
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-deelneming-atau

Ilmu Pengetahuan Pengertian Tindak Pidana Pengeroyokan

Hukum Dan Undang Undang Untuk mendefinisikan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara bersama-sama, diharapkan ketelitian dan kejelasan yang tegas, lantaran mengingat kata pengeroyokan dalam khasanah keilmuan aturan pidana tidak terlalu terperinci pembahasannya dan hanya merupakan Bahasa yang timbul dan hidup di masyarakat sebagai realitas sosial yang sering juga disebut tindakan massa. Kaprikornus terdiri dari dua pengertian yang dirangkaikan menjadi satu yaitu pengertian perbuatan pidana dan pengertian pengeroyokan.

Kata pengeroyokan berdasarkan kamus ilmiah terkenal yaitu dengan : 
  • cara melibatkan banyak orang; bersama-sama; dan
  • secara besar-besaran (orang banyak). 
Kaprikornus berdasarkan pengertian di atas sanggup disimpulkan bahwa yaitu suatu tindakan dari sekumpulan orang banyak yang terdiri dari satu orang lebih yang tanpa batas berapa banyak jumlahnya.

Kaprikornus berdasarkan kedua pengertian di atas sanggup disimpulkan bahwa tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara gotong royong yaitu perbuatan yang dihentikan oleh aturan aturan yang berlaku disertai bahaya hukuman bagi pelanggarnya yang mana perbuatan tersebut dilakukan oleh sekumpulan orang banyak/lebih dari satu orang dimana jumlahnya tanpa batas ataupun yang biasa disebut dalam masyarakat tindakan dari “massa”.

 pengeroyokan yang dilakukan secara bersama Ilmu Pengetahuan   Pengertian Tindak  Pidana Pengeroyokan
  Pengertian Tindak  Pidana Pengeroyokan
Menurut para andal perbuatan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara gotong royong yang menjadikan kerusakan fisik maupun non fisik dikatakan sebagai kekerasan yang bertentangan dengan hukum, kekerasan dalam hal ini baik berupa bahaya saja maupun sudah merupakan suatu tindakan kasatmata dan mempunyai akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik/mengakibatkan simpulan hidup pada seseorang (definisi yang sangat luas sekali, lantaran menyangkut pula “mengancam” disamping suatu tindakan nyata).

Dengan melihat definisi perihal kekerasan tersebut maka dalam pidana yang dilakukan secara pengeroyokan masuk dalam kategori kekerasan kolektif (Collective Violeng). Biasanya tindakan pengeroyokan tersebut disertai/ditandai dengan ciri-ciri yaitu :
  1. Anonimitas yaitu memindah identitas dan tanggung jawab individual ke dalam identitas dan tanggung jawab kelompok;
  2. Impersonalitas yaitu relasi antara individu di luar massa maupun di dalam massa menjadi sangat impersonal;
  3. Sugestibilitas yaitu sifat sugestif dan menularnya.
Adapun yang menjadi catatan bagi penulis dalam hal ini yaitu antara tindak pidana yang dilakukan secara pengeroyokan tidak ada perbedaan yang signifikan dengan tindak pidana yang biasa kita kenal (dilakukan) orang seorang, hanya saja yang membedakan yaitu subyek dari perbuatan tersebut yang jumlahnya lebih banyak/lebih dari satu orang. Adapun yang selama ini menjadi permasalahan yaitu terkait dengan tindakan aturan dan sumbangan hukuman yang adil serta efektif terhadap kelompok dan pelaku-pelaku atau sekumpulan orang yang mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya di lapangan.

Apabila dilihat dari sisi kitab undang-undang hukum pidana yang mana tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara gotong royong diatur dalam Pasal 170 KHUP, bahwa pengertian dari tindak pidana pengeroyokan itu tidak sanggup kita temukan, tetapi disebutkan dalam Pasal ini yaitu bahwa tindak pidana itu dilakukan secara terang-terangan atau terbuka didepan umum dengan tenaga gotong royong melaksanakan kekerasan terhadap orang atau barang. Tindakan terlarang disini ialah secara terbuka dengan tenaga bersama melaksanakan kekerasan terhadap orang (atau barang). Yang dimaksud dengan secara terbuka (openlijk) disini ialah bahwa tindakan itu sanggup disaksikan umum. Kaprikornus apakah tindakan itu dilakukan ditempat umum atau tidak, tidak dipersoalkan. Pokoknya sanggup dilihat oleh umum. Bahkan dalam praktek peradilan, bila tindakan itu dilakukan ditempat yang sepi, tidak ada insan yang lain melihat, penerapan delik ini dipandang tidak tepat, karna cukup delik penganiayaan saja yang diterapkan.

Sedangkan yang dimaksud dengan tenaga bersama disini yaitu bahwa beberapa tenaga dipersatukan oleh mereka yang mempunyai tenaga itu. Ini tidak berarti, dalam melaksanakan kekerasan terhadap orang misalnya, semua tangan menyekap orang itu, kemudian kaki menendangnya, kemudian semua tangan menghempaskannya. Jika ada yang menyekap, yang lain memukul dan yang lain menendang, telah terjadi penggunaan tenaga bersama.

Kaprikornus berdasarkan untuk subyek aturan (manusia) yaitu massa, yang terperinci berapa jumlah massanya yaitu dimana massa yang terlibat perbuatan pidana sanggup dihitung berapa jumlahnya serta diketahui seberapa besar keterlibatan dalam melaksanakan perbuatan pidana, lantaran hal tersebut sudah diatur dalam aturan pidana yaitu pada delik penyertaan (deelneming).

Dengan mengacu pada definisi perbuatan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara bersama-sama, sanggup dilihat bahwa tidak ada perbedaan dengan perbuatan pidana pada umumnya, hanya saja yang membedakan yaitu dari segi subyek pelakunya yang lebih dari satu orang. Oleh lantaran itu perbuatan pidana yang dilakukan secara massal pembahasan dititik beratkan pada kata “pengeroyokan” .

Kaprikornus berdasarkan kata “pengeroyokan” yang menunjuk pada pelaku pada perbuatan pidana dimaksudkan yaitu dua orang lebih dan tidak terbatas maksimalnya. Maka berdasarkan hal tersebut perbuatan tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan secara gotong royong dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Tindak pidana yang dilakukan secara pengeroyokan dengan subyek hukumnya yang terbentuk secara terorganisir. Umumnya pada bentuk ini dikendalikan oleh operator-operator lapangan yang mengerahkan bagaimana dan sejauhmana harus bertindak. Tindakan yang dilakukan ditujukan untuk mencari laba (material) secara kelompok dan dilakukan secara ilegal (melanggar hukum). Pada bentuk yang terorganisir dalam pembentukkannya sanggup terbentuk melalui 2 (dua) cara yaitu :
  • Yang terbentuk secara terorganisir melalui organisasi, yaitu mempunyai ciri-ciri yaitu: mempunyai identitas/nama perkumpulan, mempunyai struktur organisasi, mempunyai peraturan yang mengikat anggotanya, mempunyai keuangan sendiri, berkesinambungan dan sosial oriented; dan
  • Yang terbentuk secara terorganisir tidak melalui organisasi, yaitu hanya untuk jangka pendek atau sementara sifatnya, dan impulsif dibuat untuk melaksanakan perbuatan pidana, dan apabila sudah selesai apa yang dikerjakan maka pribadi bubar. 
Pada bentuk yang pertama ini dalam melaksanakan perbuatan pidana berdasarkan TB Ronny Nitibaskara mempunyai 3 (tiga) jenis perbuatan pidana atau bahasa yang sering dipakai yaitu kekerasan massa (dapat dipersamakan dengan kekerasan kolektif), adapun jenis tersebut, yaitu :
  • Kekerasan massal primitif, yaitu yang pada umumnya bersifat nonpolitis, ruang lingkup terbatas pada suatu komunitas lokal, contohnya pengeroyokan, tawuran sekolah.
  • Kekerasan massal reaksioner, yaitu umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal, melainkan siapa saja yang merasa berkepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan/sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Contoh : ribuan sopir angkot mogok (didukung oleh mahasiswa lantaran disulut oleh adanya kenaikan retribusi dua kali dari Rp. 400 menjadi Rp. 800 yang terjadi di Bandar Lampung tahun 1996).
Sedangkan kekerasan kolektif modern, merupakan alat untuk mencapai tujuan hemat dan politis dari satu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik.

2. Tindak pidana yang dilakukan secara pengeroyokan dengan subyek hukumnya tidak secara terorganisir yaitu sebuah reaksi terbentuk secara spontanitas tanpa adanya sebuah perencanaan terlebih dahulu. Pada jenis massa ini jauh lebih praktis berkembang menjadi amuk massa (acting mob). Adapun tindakan perihal dilakukan merupakan bentuk dari upaya untuk menarik perhatian dari publik maupun pegawanegeri penegak aturan atas kondisi sosial yang kurang memuaskan dengan cara yang ilegal. Pada bentuk kedua dalam melaksanakan perbuatan pidana dengan gotong royong yang artinya adanya kerjasama, tapi dalam kerjasama yang dilakukan terjadi dengan tanpa planning sebelumnya dan kerjasamanyapun hanya sebatas pada kerjasama fisik saja tidak non fisik. 

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Maulana Muhamad dkk, Kamus Ilmiah Populer. Cetakan Pertama, Absolut, Yogyakarta, 2003.
  2. Atmasasmita Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Cetakan Pertama: Eresco, Bandung. 1992.
  3. Sianturi.S.R, Tindak Pidana Di kitab undang-undang hukum pidana Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta. 1983.
  4. artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-deelneming-atau.html 
  5. http//www. Mail-archive.com@itb.ac.i1/ : 2007
  6. http//www. Kompas.com/kompas. Cetak/02.10/20/utama/pres/.htm : 2004
  7. http://antikorupsi.org/mod “Korupsi, Amuk Massa, dan Dagelan Hukum”: 2005