Showing posts sorted by date for query peraturan-terkait-ketenagakerjaan. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query peraturan-terkait-ketenagakerjaan. Sort by relevance Show all posts

Ilmu Pengetahuan Syarat Sahnya Mogok Kerja

Syarat Sahnya Mogok Kerja

Januari 26, 2015 by Sugi Arto

----------------------------------
Sugi Arto Newsletter

----------------------------------

Pengaturan mengenai mogok kerja diatur dalam Pasal 137 s/d 145 UUNo. 13 tahun 2003 wacana Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut “UU Ketenagakerjaan”) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.KEP.232/MEN/2003 wacana Akibat Hukum MogokKerja Tidak Sah (selanjutnya disebut “Kepmen No. 232”).

Yang dimaksud mogok kerja berdasarkan Undang-Undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan yang dimuat dalam pasal 1 angka 23 sebagai berikut : “Mogok kerja ialah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara tolong-menolong dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”.
  wacana Akibat Hukum MogokKerja Tidak Sah Ilmu Pengetahuan Syarat Sahnya Mogok Kerja

Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/serikat pekerja, namun begitu untuk melaksanakan mogok kerja ada persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :

a.    Syarat formil :

  • Pemberitahuan ditujukan kepada Perusahaan dan Disnaker dengan substansinya yang mencakup : jadwal, jangka waktu, tempat, latar belakang (alasan) melaksanakan mogok kerja dan ditandatangani oleh serikat pekerja/perwakilan/perwakilan pekerja yang akan melaksanakan mogok kerja/yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan mogok kerja.
  • Surat pemberitahuan tersebut dikirimkan dalam batas waktu tenggang 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilakukan.

b.    Syarat materiil :

Permasalahan yang menjadi dasar dilakukannya mogok kerja, yaitu tuntutan hak normatif.Berdasarkan syarat formil dan syarat materiil di atas, saya uraikan hal-hal apa saja yang menimbulkan mogok kerja menjadi tidak sah berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan Kepmen No. 232, sebagai berikut :

1.        Jadwal 

Dalam surat pemberitahuan mogok kerja, harus dicantumkan secara terperinci hari, tanggal dan jam dimulai dan diakhirinya mogok kerja.  Perlu diperhatikan dalam hal tanggal dilakukannya mogok kerja akan habis, maka wajib bagi pekerja/serikat pekerja untuk mengajukan surat pemberitahuan lanjutan mogok kerja dengan batas waktu tenggang yang patut, yaitu selambat-lambatnya 3 hari kerja sebelum tanggal mogok kerja habis.

Yang menimbulkan mogok kerja tidak sah apabila : dalam surat pemberitahuan mogok kerja tidak dicantumkan jadwal mogok kerja.

2.        Tempat

Maksud dicantumkannya daerah mogok ialah meskipun mogok kerja merupakan hak dasar pekerja, tetapi dihentikan dilakukan secara brutal sehingga harus dikoordinir dan diketahui di mana daerah dan waktunya. Filosofi mogok kerja harus dilaksanakan di daerah tertentu yakni sejarahnya dahulu mogok kerja itu dianggap sebagai wanprestasi, di mana bergotong-royong pekerja bukannya tidak mau bekerja tetapi mereka ingin memberikan suatu tuntutan dan tentunya untuk memberikan tuntutan itu harus bertemu dahulu sehingga harus diketahui juga di mana mogok dilakukan. Berdasarkan filosofi tersebut, maka daerah yang ideal untuk memberikan mogok kerja ialah di daerah di mana pekerja bekerja (di daerah Perusahaan).

Yang menimbulkan mogok kerja tidak sah apabila : mogok kerja yang tidak dilakukan di daerah sebagaimana surat pemberitahuan.

3.        Alasan

Alasan mogok kerja harus didasari jawaban gagalnya negosiasi (deadlock), yaitu tidak tercapainya kesepakatan antara pekerja/serikat pekerja dengan Perusahaan lantaran Perusahaan tidak mau melaksanakan negosiasi meskipun pekerja/serikat pekerja telah meminta secara tertulis sebanyak 2 kali dalam batas waktu tenggang 14 hari kerja. Perlu diperhatikan bahwa alasan mogok kerja dalam surat pemberitahuan mogok kerja harus sudah pernah diperundingkan terlebih dahulu, dihentikan mencantumkan alasan yang belum pernah diperundingkan.

Deadlock itu harus disepakati antara pihak perusahaan dan pekerja/serikat pekerja, deadlock tidak sanggup diputuskan secara sepihak. Untuk itulah penting sekali mengacu hal yang sudah deadlock atau belum dengan melihat risalah bipartit. Penting juga diwaspadai dalam hal ada alasan yang sudah dinyatakan deadlock dalam suatu risalah (misal risalah tersebut tertgl. 20 Januari 2012) namun lalu alasan yang sudah deadlock ternyata oleh para pihak diperundingkan lagi pada tgl. 5 Februari 2012, maka hal ini tidak sanggup dikatakan deadlock. Terkait gagalnya negosiasi sebagai alasan untuk mogok kerja hanya sebatas di tingkat negosiasi bipartit saja dan tidak perlu hingga mediasi di Disnaker.

Yang menimbulkan mogok kerja tidak sah apabila : salah satu alasan mogok kerja tidak pernah dirundingkan terlebih dahulu dan tidak terjadi deadlock, maka mogok kerja tidak sah. Manakala dalam suatu negosiasi salah satu pihak yakni pengusaha menyatakan bahwa belum tercapai titik temu tapi masih akan dibicarakan lebih lanjut lagi, dalam hal ini tidak sanggup dikatakan deadlock karena masih ada kemungkinan untuk diadakan perundingan. Jadi deadlockitu berarti kalau sudah tidak ada negosiasi sama sekali.

4.        Tenggang waktu

Surat pemberitahuan mogok kerja harus disampaikan secara tertulis kepada pengusaha dan Disnaker sekurang-kurangnya 7 hari kerja sebelum mogok kerja dilakukan.

Yang menimbulkan mogok kerja tidak sah apabila : pemberitahuan mogok kerja disampaikan kurang dari 7 hari kerja. Selain itu, pekerja/serikat pekerja dihentikan menyiapkan jauh-jauh hari sebelumnya untuk melaksanakan mogok kerja sebelum dimulai negosiasi lantaran kalau demikian berarti pekerja/serikat pekerja sudah menyiasati bahwa tidak peduli ada atau tidak negosiasi tetap akan melaksanakan mogok kerja. Pada dasarnya dilakukan mogok kerja itu bukan kesana arahnya, melainkan terlebih harus ada sesuatu yg deadlock, sehingga kalau sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelum ada negosiasi maka sanggup dikatakan esensi mogok kerja terlanggar.

5.        Hak normatif 

Yang dimaksud dengan hak normatif ialah hak-hak pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut “PKB”) ataupun Peraturan Perusahaan (selanjutnya disebut “PP”), sebagai pola ialah cuti kerja dan jam kerja. Jika tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan, PKB maupun PP, maka bukan merupakan hak normatif.

Yang menimbulkan mogok kerja tidak sah apabila : mogok kerja dilakukan untuk menuntut hak yang tidak normatif.

Perlu di ketahui bahwa mogok kerja bergotong-royong ialah hak dasar dari pekerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan tenang sebagai jawaban gagalnya perundingan, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 137 Undang-UndangNo. 13 Tahun 2003 wacana Ketenagakerjaan. Sebagai suatu hak dasar, ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dalam melaksanakan mogok kerja. Hal-hal yang harus dipenuhi dalam melaksanakan mogok kerja sanggup dilihat dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan

Pasal 139 UU Ketenagakerjaan:
Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa insan diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 140 UU Ketenagakerjaan:
1.   Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
2.     Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.    waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b.    tempat mogok kerja;
c.    alasan dan sebab-sebab mengapa harus melaksanakan mogok kerja; dan
d.   tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
3.       Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
4.   Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha sanggup mengambil tindakan sementara dengan cara:
a.    melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi acara proses produksi; atau
b.  bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

Syarat administratif yang harus dipenuhi biar mogok kerja dikatakan sah ialah :
1. Pekerja atau Serikat Pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada perusahaan/pengusaha dan Disnaker, 7 hari kerja sebelum mogok kerja dijalankan.
2.        Dalam surat pemberitahuan tersebut, harus memuat :
§   Waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja,
§   Tempat mogok kerja,
§   Alasan dan alasannya mengapa harus melaksanakan mogok kerja,
§   Tanda tangan ketua dan sekretaris serikat pekerja sebagai penanggung jawab mogok kerja. Apabila mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja yang tidak menjadi anggota serikat pekerja, maka pemberitahuan ditandatangani oleh perwakilan pekerja yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
3.    Bagi pelaksanaan mogok kerja yang berlaku di perusahaan yang melayani kepentingan umum atau perusahaan yang jenis kegiatannya berafiliasi dengan keselamatan jiwa manusia, pelaksanaan mogok kerja harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan membahayakan keselamatan masyarakat.
4.  Instansi pemerintahan dan pihak perusahaan yang mendapatkan surat pemberitahuan mogok kerja wajib menawarkan tanda terima
5.     Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan  wajib menuntaskan duduk kasus yang menimbulkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkanya dengan para pihak yang berselisih
6.  Jika negosiasi tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama yang ditanda-tangani oleh para pihak dan pegawai yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan sebagai saksi.
7.    Dan kalau dalam negosiasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenaga kerjaan harus menyerahkan duduk kasus yang menimbulkan terjadinya mogok kerja kepada forum penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang.

Pasal 139 Undang Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pelaksanaan Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa insan diatur sedemikian rupa sehingga tidak menganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Pasal 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-232/MEN/2003 Tahun 2003 wacana Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah (“Kepmenaker 232/2003”), bahwa : Mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok tidak sah.

Pekerja yang melaksanakan mogok secara sah tetap berhak menerima upah. Lain halnya dengan pekerja yang melaksanakan mogok secara tidak sah, mereka tidak berhak menerima upah.

Jika pengusaha melanggar Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha sanggup dikenakan hukuman pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling usang 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta (Pasal 187 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).

Sumber :


Ilmu Pengetahuan Sejarah Outsourcing

By Sugi Arto


Sejarah Outsourcing. Berdasarkan prinsip ekonomi, setiap individu menginginkan pengeluaran yang minimal untuk pendapatan yang maksimal, begitupun dengan perusahaan. Melalui outsourcing, perusahaan mengharapkan keuntungan yang maksimal dengan pembayaran faktor produksi berupa SDM yang minimal. Dengan kata lain, prinsip perusahaan yang berlandaskan atas prinsip ekonomi ialah mendapat high quality production dengan low price production. Kebijakan outsourcing menjadi salah satu solusi sempurna bagi perusahaan untuk mencapai hal tersebut.

Outsourcing, belakangan menjadi sebuah topik isu yang marak terdengar dan menjadi penyebab unjuk rasa oleh banyak sekali satuan buruh yang menentangnya. Outsourcing bagi mereka merupakan suatu kebijakan yang menguntungkan perusahaan namun mengakibatkan ketidaksejahteraan nasib mereka. Masalah ini kian menjadi rumit ketika pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai pembela nasib mereka, justru membuat peraturan gres yang mencerminkan dukungannya terhadap tindakan outsourcing, yakni pengerapan sistem ANS.

 setiap individu menginginkan pengeluaran yang minimal untuk pendapatan yang maksimal Ilmu Pengetahuan Sejarah Outsourcing
Sejarah Outsourcing

a. Outsourcing di Tingkat Internasional


Praktek dan prinsip-prinsip outsourcing telah ditetapkan dijaman Yunani dan Romawi. Pada zaman tersebut, tanggapan kekurangan dan kemampuan pasukan dan tidak terkendalinya ahli-ahli bangunan, bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit aneh untuk berperang dan para ahli-ahli bangunan untuk membangun kota dan istana.

Sejalan dengan adanya revolusi industri, maka perusahaan-perusahaan berusaha untuk menemukan terobosan-terobosan gres dalam memenangkan persaingan. Pada tahap ini untuk mengerjakan sesuatu tidak cukup untuk menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan kesanggupan untuk membuat produk paling bermutu dengan biaya terendah.

Sebelum Perang Dunia II, Kerajaan Inggris merekrut serdadu Gurkha yang populer dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950, Amerika Serikat yaitu negara yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk keperluan perang. Praktik outsourcing kemudian berkembang luas di perusahaan multinasional sejalan dengan perlunya mereka beroperasi secara efisien dan fokus terhadap bisnis mereka. Perancis sekarang merupakan negara yang paling berkembang dalam menerapkan outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis, dalam banyak sekali skala, menerapkan praktek outsourcing dalam menjalankan usaha.

Dikarenakan adanya pasar global dan godaan tenaga kerja murah, dunia industri manufaktur mengalami peningkatan tenaga kerja pada dekade 1980an pada tahun-tahun berikutnya, praktek outsourcing didorong oleh Satu dari sepuluh butir kesepakatan dalam Washington Consensus yang mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja harus bersifat fleksibel sebagai sebuah syarat investasi. Secara sederhana berarti, tenaga kerja hanya dijadikan sebuah fungsi produksi yang bersifat variabel. Ketika produksi meningkat, jumlah pekerja ikut terungkit, namun ketika produksi menurun, pekerja harus dikurangi.

b. Outsourcing Dalam Indonesia


Di Indonesia Sendiri perkembangan outsourcing dibagi kedalam dua masa, yaitu zaman pra-kemerdekaan dan masa pasca kemerdekaan.

1. Masa Hindia Belanda (Pra-kemerdekaan)

a. Deli Planters Vereeniging

Outsourcing sudah diperkenalkan pada warga bumiputra pada masa pendudukan Belanda. Seiring maraknya sistem tanam paksa (monokultur) ibarat tebu, kopi, tembakau, sekitar tahun 1879, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat kegiatan besar-besaran dalam upaya menghasilkan barang-barang devisa di pasar internasional. Salah satu upayanya yaitu membuka investasi di sektor perkebunan di tempat Deli Serdang. Kebijakan itu diatur oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dalam peraturan No. 138 perihal Koeli Ordonantie. Peraturan tersebut kemudian direvisi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor 78.

Peraturan tersebut dikeluarkan untuk membuat iklim investasi yang aman seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin. Regulasi ini kemudian bisa mendorong laju investasi sektor perkebunan tembakau di Deli sesuai regulasi yang sudah dikeluarkan yang mengatur perihal ketentuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja (koeli) perkebunan maka pada tahun 1879 dibentuklah organisasi yang diberi nama ‘Deli Planters Vereeniging.‘ Organisasi tersebut bertugas untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang murah. Selanjutnya, Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan sejumlah biro pencari tenaga kerja untuk mendatangkan buruh-buruh murah secara besar-besaran terutama dari tempat Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Deli Planters Vereeniging berhubungan dengan para Lurah, para Kepala Desa, para calo tenaga kerja, untuk mengangkut kaum Bumi Putra meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka kemudian diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib “menandatangani” perjanjian kontrak yang ketika itu disebut sebagai Koeli Ordonantie. kononetos orang jawa lah yang ketika itu sempurna untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, sifat yang gampang mengalah dan gampang diajak kompromi yaitu pilihan utama dari orang-orang tersebut, tetapi juga perlu diingat bahwa ketika itupun sudah ada perjanjian kontrak kerja yang sama-sama menyetujui perihal hak dan kewajiban masing-masing, hal ini terlepas apakah kemudian terdengar bahwa kontrak (ordonantie) tersebut banyak dilanggar oleh si pelaksana itu sendiri, kononjustru si pelaksana itulah yang lebih berkuasa dari pada si pemilik investasi.

Setelah tiba di perkebunan (onderneming), para koeli orang Jawa tersebut dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab atas disiplin kerja. Para mandor ini mendapat upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya. Pada umumnya, para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh ajun pengawas. Para ajun pengawas ini bertanggungjawab kepada administratur perkebunan. Selanjutnya, para administratur bertanggungjawab kepada tuan juragannya, yaitu para investor yang mempunyai perkebunan itu. Pada masa itu, yang paling besar lengan berkuasa dan paling berkuasa atas para koeli yaitu para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling sering melaksanakan pemerasan terhadap para koeli. Begitu berkuasanya sehingga para koeli kalau ditanya dimana beliau bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor kepalanya.

Pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya dari pemerasan pribadi yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja. Para calo dan tuan juragan atau ondernemer secara tak pribadi juga melaksanakan pemerasan. Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang ibarat biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya tempat tinggal, dengan upahnya yang minim itu seringkali gres sanggup terbayarkan lunas sesudah para koeli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.

b. Animer

Masih pada massa pendudukan Belanda sekitar Abad XIX, sistem outsourcing juga sudah dikenal dalam kehidupan buruh (koeli) pelabuhan di Tanjung Priok. Menurut penelitian yang dilakukan Razif, penggerak Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), para buruh Pelabuhan Tanjung Priok direkrut oleh kelompok buruh yang disebut sebagai “animer”. Oleh para animer, tenaga kerja itu biasanya didatangkan dari Jawa Barat. Secara getok-tular, dari lisan ke mulut, kaum muda di perkampungan Lebak, Banten, Cianjur, mereka berbondong-bondong menjual tenaganya. Di kampungnya, produksi pertanian tidak lebih menjanjikan dibanding migrasi ke Tanjung Priok dimana bisa memperoleh “uang” dari upah memburuh.

2. Masa Kemerdekaan Indonesia

a. Sebelum Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Pengaturan perihal pemborongan pekerjaan, gotong royong sudah diatur semenjak zaman belanda. Sebelum diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2003, Outsourcing diatur dalam KUH Perdata Pasal 1601 b, Pasal tersebut mengatur bahwa pemborongan suatu pekerjaan yaitu kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Tetapi pengaturan dalam KUH Perdata masih belum lengkap lantaran belum diatur terkait pekerjaan yang sanggup dioutsourcingkan, tanggung jawab perusahaan pengguna dan penyedia tenaga kerja outsourcing dan jenis perusahaan yang sanggup menyediakan tenaga kerja outsourcing.

b. Outsourcing Berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Berdasarkan hasil penelitian PPM (Riset Manajemen: 2008 terhadap 44 perusahaan dari banyak sekali industri terdapat lebih dari 50% perusahaan di Indonesia memakai tenaga outsourcing, yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak memakai tenaga outsourcing dalam operasional di perusahaannya. Hal ini menawarkan perkembangan outsourcing di Indonesia begitu pesat Perkembangan outsourcing ini didorong dengan adanya Undang-Undang perihal Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, dalam Undang-Undang tersebut tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja.

Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, sasaran produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, gres ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan lantaran tanggapan antara bekerja dan mendapat hasil yang dialami buruh tidak lagi mempunyai korelasi secara langsung. Bila tanpa forum penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja sebagai majikan, sekarang harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar management fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, gres ia memperoleh kucuran upah.

Selain hal di atas, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga kerjaan terang diatur bahwa adanya perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing, yang berbentuk tubuh hukum, dan bertanggung jawab atas hak-hak tenaga kerja. Selain itu, diatur juga bahwa hanya pekerjaan penunjang saja yang sanggup di outsourcingkan.

Sumber Hukum

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Daftar Pustaka

  1. 1. Lalu,S.H,M.Hum.2008.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Jakarta
  2. Jehani Libertus,2008 Hak-Hak Karyawan Kontrak, Forum sahabat, Jakarta, 2008:1-2)


Ilmu Pengetahuan Tujuan Outsourcing

By Sugi Arto

 diberikan pengertian pendelegasian operasi dan manajemen harian suatu proses bisnis pada  Ilmu Pengetahuan Tujuan Outsourcing
Tujuan Outsourcing

Tujuan Outsourcing. Dalam bidang manajemen, Outsourcing diberikan pengertian pendelegasian operasi dan manajemen harian suatu proses bisnis pada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Outsourcing awalnya merupakan istilah dalam dunia bisnis untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja suatu perusahaan dengan mendatangkan dari luar perusahaan. 

Outsourcing merupakan bisnis kemitraan dengan tujuan memperoleh laba bersama, membuka peluang bagi berdirinya perusahaan-perusahaan gres dibidang jasa penyedia tenaga kerja, serta efisiensi bagi dunia usaha. Pengusaha tidak perlu disibukkan dengan urusan yang tidak terlalu penting yang banyak memakan waktu dan pikiran oleh lantaran hal tersebut bisa diserahkan kepada perusahaan yang khusus bergerak dibidang itu.

Ada banyak laba didapat yang bersifat strategis dan berjangka panjang, apabila perusahaan menyerahkan pengelolaan tenaga kerjanya kepada perusahaan Outsourcing. Keuntungan – laba tersebut antara lain :

1. Fokus pada kompetensi utama


Dengan melaksanakan outsourcing, perusahaan sanggup fokus pada core-business mereka. Hal ini sanggup dilakukan dengan memperbaharui seni manajemen dan merestrukturisasi sumber daya (SDM dan keuangan) yang ada. Perusahaan akan mendapat laba dengan memfokuskan sumber daya ini untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, dengan cara mengalihkan pekerjaan penunjang diluar core-business perusahaan kepada vendor outsourcing dan memfokuskan sumber daya yang ada sepenuhnya pada pekerjaan strategis yang berkaitan eksklusif dengan kepuasan pelanggan atau peningkatan pendapatan perusahaan.

Jika perusahaan anda ialah perusahaan manufaktur atau jasa, bukankah lebih baik anda fokus pada core-business anda menciptakan produk atau jasa berkualitas tinggi yang sanggup memuaskan cita-cita pasar, dari pada menghabiskan sumber daya perusahaan yang terbatas untuk menangani masalah ketenagakerjaan?

2. Penghematan dan pengendalian biaya operasional


Salah satu alasan utama melaksanakan outsourcing ialah peluang untuk mengurangi dan mengontrol biaya operasional. Perusahaan yang mengelola SDM-nya sendiri akan mempunyai struktur pembiayaan yang lebih besar daripada perusahaan yang menyerahkan pengelolaan SDM-nya kepada vendor outsourcing. Hal ini terjadi lantaran vendor outsourcing bermain dengan “economics of scale” (ekonomi skala besar) dalam mengelola SDM. Sama halnya dengan perusahaan manufaktur, semakin banyak produk yang dihasilkan, semakin kecil biaya per-produk yang dikeluarkan.

Bagi vendor outsourcing, semakin banyak SDM yang dikelola, semakin kecil juga biaya per-orang yang dikeluarkan. Selain itu, lantaran masalah ketenagakerjaan ialah core-business, efisiensi dalam mengelola SDM menjadi perhatian utama vendor outsourcing. Dengan mengalihkan masalah ketenagakerjaan kepada vendor outsourcing, perusahaan sanggup melaksanakan penghematan biaya dengan menghapus anggaran untuk aneka macam investasi di bidang ketenagakerjaan termasuk mengurangi SDM yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas manajemen ketenagakerjaan. Hal ini tentunya akan mengurangi biaya overhead perusahaan dan dana yang dihemat sanggup dipakai untuk proyek lain yang berkaitan eksklusif dengan peningkatan kualitas produk/jasa. Bagi kebanyakan perusahaan, biaya SDM umumnya bersifat tetap (fixed cost).

Saat perusahaan mengalami pertumbuhan positif, hal ini tidak akan bermasalah. Namun ketika pertumbuhan negatif, hal ini akan sangat memberatkan keuangan perusahaan. Dengan mengalihkan penyediaan dan pengelolaan SDM yang bekerja diluar core-business perusahaan kepada vendor outsourcing, perusahaan sanggup mengendalikan biaya SDM dengan mengubah fixed cost menjadi variable cost, dimana jumlah SDM diubahsuaikan dengan kebutuhan core-business perusahaan.

Pentingnya mengendalikan biaya SDM sanggup kita lihat ketika ini. Krisis yang disebabkan oleh kerapuhan dan ketidakpastian ekonomi serta politik global mengakibatkan pendapatan perusahaan terus menurun. Hal ini diperparah dengan munculnya kompetitor-kompetitor gres yang menciptakan persaingan pasar menjadi tidak sehat.

Situasi ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan baik besar maupun kecil berusaha keras untuk tetap bertahan hidup dengan cara melaksanakan PHK besar-besaran untuk mengurangi fixed cost yang umumnya berada dikisaran 60-70% dari total biaya rutin. Pernahkan anda melakukannya? PHK besar-besaran ini bersama-sama sanggup dihindari apabila perusahaan sanggup mengoptimalkan SDM-nya untuk bekerja di core-business saja dan mengalihkan SDM yang bekerja diluar core-business perusahaan kepada vendor outsourcing.

3. Memanfaatkan kompetensi vendor outsourcing


Karena core-business-nya dibidang jasa penyediaan dan pengelolaan SDM, vendor outsourcing mempunyai sumber daya dan kemampuan yang lebih baik dibidang ini dibandingkan dengan perusahaan. Kemampuan ini didapat melalui pengalaman mereka dalam menyediakan dan mengelola SDM untuk aneka macam perusahaan.

Saat menjalin kerjasama dengan vendor outsourcing yang profesional, perusahaan akan mendapat laba dengan memanfaatkan keahlian vendor outsourcing tersebut untuk menyediakan dan mengelola SDM yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Untuk perusahaan kecil, perusahaan yang gres bangun atau perusahaan dengan HRD yang kurang baik dari sisi jumlah maupun kemampuan, vendor outsourcing sanggup memperlihatkan donasi yang besar bagi perusahaan. Karena bila tidak ditangani dengan baik, pengelolaan SDM sanggup menimbulkan masalah dan kerugian yang cukup besar bagi perusahaan, bahkan dalam beberapa kasus mengancam eksistensi perusahaan.

4. Perusahaan menjadi lebih ramping dan lebih gesit dalam merespon pasar


Setiap perusahaan, baik besar maupun kecil, niscaya mempunyai keterbatasan sumber daya. Dengan melaksanakan outsourcing, perusahaan sanggup mengalihkan sumber daya yang terbatas ini dari pekerjaan-pekerjaan yang bersifat non-core dan tidak besar lengan berkuasa langung terhadap pendapatan dan laba perusahaan kepada pekerjaan-pekerjaan strategis core-business yang pada akhirnya sanggup meningkatkan kepuasan pelanggan, pendapatan dan laba perusahaan.

Jika dilakukan dengan baik, outsourcing sanggup menciptakan perusahaan menjadi lebih ramping dan lebih gesit dalam merespon kebutuhan pasar. Kecepatan merespon pasar ini menjadi competitive advantage (keunggulan kompetitif) perusahaan dibandingkan kompetitor. Setelah melaksanakan outsourcing, beberapa perusahaan bahkan sanggup mengurangi jumlah karyawan mereka secara signifikan lantaran banyak dari pekerjaan rutin mereka menjadi tidak relevan lagi.

5. Mengurangi resiko


Dengan melaksanakan outsourcing, perusahaan bisa mempekerjakan lebih sedikit karyawan, dan dipilih yang pada dasarnya saja. Hal ini menjadi salah satu upaya perusahaan untuk mengurangi resiko terhadap ketidakpastian bisnis di masa mendatang. Jika situasi bisnis sedang manis dan dibutuhkan lebih banyak karyawan, maka kebutuhan ini tetap sanggup dipenuhi melalui outsourcing. Sedangkan kalau situasi bisnis sedang memburuk dan harus mengurangi jumlah karyawan, perusahaan tinggal mengurangi jumlah karyawan outsourcingnya saja, sehingga beban bulanan dan biaya pemutusan karyawan sanggup dikurangi.

Resiko perselisihan dengan karyawan bila terjadi PHK pun sanggup dihindari lantaran secara aturan hal ini menjadi tanggung jawab vendor outsourcing. Berbekal pengalaman yang panjang dalam melayani aneka macam jenis perusahaan, vendor outsourcing sanggup meminimalisir masalah-masalah yang mungkin timbul terkait dengan penyediaan dan pengelolaan SDM.

6. Meningkatkan efisiensi dan perbaikan pada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya non-core


Saat ini banyak sekali perusahaan yang memutuskan untuk mengalihkan setidaknya satu pekerjaan non-core mereka dengan aneka macam alasan. Mereka umumnya menyadari bahwa merekrut dan mengkontrak karyawan, menghitung dan membayar gaji, lembur dan tunjangan-tunjangan, memperlihatkan pelatihan, manajemen umum serta memastikan semua proses berjalan sesuai dengan peraturan perundangan ialah pekerjaan yang rumit, banyak membuang waktu, pikiran dan dana yang cukup besar.

Mengalihkan pekerjaan-pekerjaan ini kepada vendor outsourcing yang lebih kompeten dengan memperlihatkan sejumlah fee sebagai imbalan jasa terbukti lebih efisien dan lebih murah daripada mengerjakannya sendiri.

Dengan penyerahan pengelolaan tenaga kerja ke perusahaan Outsourcing, maka perusahaan tidak perlu lagi mengurusi Perekrutan, Pelatihan, Administrasi tenaga kerja dan Penggajian dan lain – lainnya disetiap bulannya.

Keuntungan lainnya adalah, Perusahaan tidak lagi direpotkan dengan urusan Pesangon, THR, PHK dan masalah lainnya. Karena hal ini telah dikelola oleh Perusahaan Outsourcing.

Penyebab Gagalnya Proyek Outsourcing

 

1. Kurangnya komitmen, derma dan keterlibatan pihak manajemen dalam pelaksanaan proyek outsourcing


Tanpa keterlibatan dari pihak manajemen dalam mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang proyek outsourcing, proyek outsourcing akan berjalan tanpa kode yang terang dan bahkan menyimpang dari seni manajemen dan tujuan awal perusahaan.

2. Kurangnya pengetahuan mengenai siklus outsourcing secara utuh dan benar


Kurangnya pengetahuan akan outsourcing secara utuh dan benar sanggup menimbulkan proyek outsourcing gagal memenuhi sasaran dan bahkan merugikan perusahaan. Hal ini terjadi lantaran perusahaan gagal menentukan vendor yang sempurna dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

3. Kurang baiknya cara mengkomunikasikan rencana outsourcing kepada seluruh karyawan


Komunikasi harus dilakukan secara efektif dan terarah supaya tidak muncul rumor dan resistensi dari karyawan yang sanggup mengganggu kemulusan proyek outsourcing. Resistensi ini muncul karena:

  1. Kekhawatiran karyawan perusahaan akan adanya PHK.
  2. Adanya penentangan dari karyawan atau serikat pekerja.
  3. Kekhawatiran outsourcing sanggup merusak budaya yang ada.
  4. Kekhawatiran akan hilangnya kendali terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dialihkan.
  5. Kekhawatiran bahwa kinerja vendor dalam melaksanakan pekerjaan yang dialihkan ternyata tidak sebaik ketika dikerjakan sendiri oleh perusahaan.

4. Terburu-buru dalam mengambil keputusan outsourcing.


Proses pengambilan keputusan untuk outsourcing harus dilakukan dengan hati-hati, terpola dan mempunyai metodologi yang terang dan teratur. Jika tidak, hal ini malah menjadikan outsourcing sebagai keputusan yang beresiko tinggi. Misalnya kalau perusahaan tidak mengevaluasi penawaran dan kontrak secara hati-hati, hasilnya ialah timbul perselisihan antara perusahaan dengan vendor terkait pelaksanaan outsourcing.

5. Outsourcing dimulai tanpa visi yang terang dan pondasi yang kuat.


Tanpa visi yang terang dan pondasi yang kuat, tujuan dari proyek outsourcing tidak akan tercapai karena:

  1. Harapan perusahaan terhadap vendor tidak jelas.
  2. Perusahaan tidak siap menghadapi perubahan proses.
  3. Perusahaan tidak menciptakan patokan kinerja sebelum pengalihan kerja ke vendor.
  4. Peran dan tanggungjawab antara klien dan vendor yang tidak jelas.
  5. Tidak adanya derma internal.
  6. Lemahnya komunikasi atau manajemen internal.
  7. Lemahnya manajemen proyek, keputusan diserahkan sepenuhnya kepada vendor.
Terimakasih dan semoga bermamfaat.

Sumber Hukum



Daftar Pustaka


  1. Lalu,S.H,M.Hum.2008.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Jakarta
  2. Jehani Libertus,2008 Hak-Hak Karyawan Kontrak, Forum sahabat, Jakarta, 2008:1-2)

Ilmu Pengetahuan Ketentuan Jam Kerja, Lembur Dan Istrahat

Ketentuan Jam Kerja, Lembur & Istrahat Kerja merupakan sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang sebagai profesi, sengaja dilakukan untuk mendapat penghasilan. Kerja sanggup juga di artikan sebagai pengeluaran energi untuk acara yang diharapkan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Dr. Franz Von Magnis di dalamAnogara (2009 : 11), pekerjaan yaitu “kegiatan yang direncanakan”. SedangkanHegel di dalam Anogara (2009 : 12) menambahkan bahwa “inti pekerjaan yaitu kesadaran manusia”.

 Kerja merupakan sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang sebagai profesi Ilmu Pengetahuan Ketentuan Jam Kerja, Lembur Dan Istrahat
Ketentuan Jam Kerja, Lembur & Istrahat
Dari pernyataan tersebut sanggup dikatakan bahwa pekerjaan memungkinkan orang untuk sanggup menyatakan diri secara objektif kedunia ini, sehingga ia dan orang lain sanggup memandang dan memahami kebenaran dirinya. Menurut Camus di dalam http://dhimaskasep.files.wordpress.com, “tanpa bekerja hidup akan terasa tidak enak, pekerjaan yang tidak berarti menciptakan hidup tidak agresif dan kerja merupakan sesuatu yang diinginkan oleh manusia”. Henderson di dalam http://dhimaskasep.files.wordpress.com menambahkan bahwa, “manusia perlu bekerja dan ingin bekerja serta pekerjaan yang berarti memperlihatkan efek fisik dan emosi”.

Ada beberapa jenis pekerja yaitu:
  1. Workaholic yaitu orang yang kecanduan kerja, sangat terikat pada pekerjaan dan tidak sanggup berhenti bekerja,
  2. Workshy yaitu orang yang malas bekerja, tidak mau melaksanakan pekerjaan, dan pekerjaan sesuatu yang menjijikan,
  3. Work Tolerant yaitu orang yang bekerja sesedikit mungkin untuk mendapat hasil yang maksimum dan memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang tidak disenangi tetapi harus dilakukan.
Pekerjaan secara umum didefinisikan sebagai sebuah acara aktif yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan dipakai untuk suatu kiprah atau kerja yang menghasilkan sebuah karya bernilai imbalan dalam bentuk uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah pekerjaan dianggap sama dengan profesi.

Pekerjaan yang dijalani seseorang dalam kurun waktu yang usang disebut sebagai karier.Seseorang mungkin bekerja pada beberapa perusahaan selama kariernya tapi tetap dengan pekerjaan yang sama.

A. Jam Kerja


Jam Kerja, waktu Istirahat kerja, waktu lembur diatur dalam Pasal 77 hingga Pasal 85 Undang-Undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Di beberapa perusahaan, jam kerja,waktu istirahat dan lembur dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Jam Kerja adalah waktu untuk melaksanakan pekerjaan, sanggup dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Jam Kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 77 hingga dengan pasal 85. Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam 2 sistem, yaitu :
  1. 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 ahad untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
  2. 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 ahad untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Pada kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur.

Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor perjuangan atau pekerjaan tertentu ibarat contohnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.

Ada pula pekerjaan-pekerjaan tertentu yang harus dijalankan terus-menerus, termasuk pada hari libur resmi (Pasal 85 ayat 2 UU No.13/2003). Pekerjaan yang terus-menerus ini kemudian diatur dalam Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003 Tahun 2003 perihal Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus. Dan dalam penerapannya tentu pekerjaan yang dijalankan terus-menerus ini dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift.

Ketentuan mengenai pembagian jam kerja, dikala ini mengacu pada UU No.13/2003. Ketentuan waktu kerja diatas hanya mengatur batas waktu kerja untuk 7 atau 8 sehari dan 40 jam seminggu dan tidak mengatur kapan waktu atau jam kerja dimulai dan berakhir.

Pengaturan mulai dan berakhirnya waktu atau jam kerja setiap hari dan selama kurun waktu seminggu, harus diatur secara terang sesuai dengan kebutuhan oleh para pihak dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Pada beberapa perusahaan, waktu kerja dicantumkan dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat 1 UU No.13/2003, PP dan PKB mulai berlaku sesudah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (biasanya Disnaker).

Pengertian pengukuran waktu kerja merupakan Usaha untuk menentukan usang kerja yang diharapkan seorang Operator (terlatih dan “qualified”) dalam menuntaskan suatu pekerjaan yang spesifik pada tingkat kecepatan kerja yang NORMAL dalam lingkungan kerja yang TERBAIK pada dikala itu.

Managemen perusahaan sanggup mengatur jam kerja dan kerja lembur dan perhitungan upah lembur (baik melalui Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama) sepanjang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

UU Tenaga Kerja No.13 Tahun 2003 tidak mengatur mengenai panggilan kerja secara tiba-tiba. Peraturan Perusahaan ataupun Perjanjian Kerja Bersama-lah yang mengatur mengenai ketentuan panggilan kerja secara tiba-tiba di hari libur. Syarat dari pemanggilan kerja secara tiba-tiba ini yaitu Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan Terdapat pekerjaan yang membahayakan keselamatan perusahaan kalau tidak cepat diselesaikan. Dalam penyelesaian pekerjaan yang sangat penting bagi perusahaan dan tetap memperhatikan saran – saran Serikat Pekerja.

B. Jam Lembur (Overtime)

1. Ketentuan

Kerja lembur atau Overtime adalah pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan, atas dasar perintah atasan, yang melebihi jam kerja biasa pada hari-hari kerja, atau pekerjaan yang dilakukan pada hari istirahat mingguan karyawan atau hari libur resmi.

Peraturan Ini berlaku untuk semua karyawan golongan I – III. Prinsip kerja lembur pada dasatnya bersifat sukarela, kecuali dalam kondisi tertentu pekerjaan harus segera diselesaikan untuk kepentingan perusahaan.

Waktu kerja lembur yaitu waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari untuk 6 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau 8 jam sehari untuk 8 hari kerja dan 40 jam dalam seminggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah (Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri no.102/MEN/VI/2004).

Waktu kerja lembur hanya sanggup dilakukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam dalam 1 ahad diluar istirahat mingguan atau hari libur resmi.

Ketentuan kerja lembur (Pasal 6 Peraturan Menteri no.102/MEN/VI/2004) :
  1. Untuk melaksanakan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
  2. Perintah tertulis dan persetujuan tertulis dibentuk dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutandan pengusaha.
Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban (Pasal 7 Peraturan Menteri no.102/MEN/VI/2004) :
  1. membayar upah kerja lembur,
  2. memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya,
  3. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih. (Pemberian makan dan minum sebagaimana dimaksud tidak boleh diganti dengan uang).

2. Tarif Upah Lembur

Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung upah sejam yaitu 1/173 upah sebulan.
  • Tarif upah lembur : 1/173 x Gaji Pokok.
  • Perhitungan lembur dilakukan pada hari kerja biasa :
  1. Untuk jam pertama yaitu 1,5 kali TUL,
  2. Untuk jam-jam berikutnya yaitu sebesar 2 kali TUL,
  3. Lebih dari jam 19.30 WIB akan mendapat 1 kali sumbangan makan, dan
  4. Lebih dari jam 22.30 WIB akan mendapat 1 kali sumbangan transport.
  • Perhitungan lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan atau hari raya resmi :
  1. Untuk setiap jam dalam batas waktu 7 (tujuh) jam pertama yaitu sebesar dua kali TUL,
  2. Untuk jam ke 8 (delapan) sebesar 3 kali TUL, dan
  3. Untuk jam ke 9 (sembilan) dan seterusnya yaitu sebesar empat kali TUL.
  • Pekerjaan lembur kurang dari ½ (setengah) jam sehari tidak diperhitungkan dengan upah lembur.
  • Ketentuan upah lembur hanya berlaku untuk karyawan dengan golongan I-III atau dinyatakan lain dalam perjanjian kerja.
  • Untuk karyawan shift, bilamana hari tugasnya jatuh pada hari libur resmi (raya), maka jam kerja pada hari tersebut dihitung sebagai kerja lembur, dan perhitungan upah lemburnya mempergunakan perhitungan jam lembur hari raya.
Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :
  • Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :
  1. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam;
  2. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2(dua) kali upah sejam.
  • Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka :
  1. perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.
  2. apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3(tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
  • Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3(tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.

3. Tunjangan Makan Dan Transport Untuk Kerja Lembur

  1. Hari Kerja Biasa, Bila pekerjaan lembur dilakukan melewati jam 19.30 WIB, bila tidak disediakan makan oleh Perusahaan akan diberikan sumbangan makan yang besarnya ditetapkan oleh Perusahaan.
  2. Hari Libur / Raya,Karyawan yang melaksanakan pekerjaan lembur pada hari istirahat minguan atau hari libur resmi/hari raya akan mendapat sumbangan transport sesuai dengan ketentuan hari kerja biasa ditambah sumbangan makan kalau lembur yang dijalani telah melewati 3 (tiga) jam kerja.
Tunjangan transport tidak berlaku bagi karyawan yang mendapat kemudahan kendaraan, sebagai kebijakan Perusahaan sanggup mempertimbangkan mengganti biaya transport (mis: tol, uang parkir dll) sesuai dengan biaya bahwasanya yang dikeluarkan oleh karyawan untuk keperluan lembur tersebut.

Bila pekerjaan lembur dilakukan melewati jam 19.30 WIB, bila tidak disediakan makan oleh Perusahaan akan mendapat sumbangan makan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Perusahaan.

4. Perhitungan Upah Lembur Pada Hari Kerja 

Jam Lembur
Rumus
Keterangan
Jam Pertama
1,5  X 1/173 x Upah Sebulan
Upah Sebulan yaitu 100% Upah bila upah yang berlaku di perusahaan terdiri dari upah pokok dan sumbangan tetap.
Jam Ke-2 & 3
2   X 1/173 x Upah Sebulan
Atau 75% Upah bila Upah yang berlaku di perusahaan terdiri dari upah pokok, sumbangan tetap dan sumbangan tidak tetap. Dengan ketentuan Upah sebulan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum

Contoh:

Jam kerja Manda yaitu 8 jam sehari/40 jam seminggu. Ia harus melaksanakan kerja lembur selama 2 jam/hari selama 2 hari. Gaji yang didapat Manda yaitu Rp. 2.000.000/bulan termasuk honor pokok dan sumbangan tetap. Berapa upah lembur yang didapat Manda?

Manda hanya melaksanakan kerja lembur total yaitu 4 jam. Take home pay Manda berupa Gaji pokok dan sumbangan tetap berarti Upah sebulan = 100% upah

Sesuai dengan rumus maka Upah Lembur Manda :
4 jam x 1/173 x Rp. 2.000.000 = Rp.46.243

5. Administrasi

Karyawan yang akan melaksanakan kerja lembur harus atas usul atasan atau mendapat persetujuan dari atasan karyawan yang bersangkutan, yang dinyatakan dalam Surat Perintah Kerja Lembur.

SPKL yang sudah ditanda tangani oleh atasan yang bersangkutan diserahkan ke penggalan HRD, untuk dibuatkan perhitungan dan pembayarannya.
Pembayaran upah lembur dilakukan bersama sama dalam honor bulan berikutnya.

C. Jam Istirahat Kerja


Jam istirahat kerja yaitu waktu untuk pemulihan sesudah melaksanakan pekerjaan untuk waktu tertentu. Sudah merupakan kewajiban dari perusahaan untuk memperlihatkan waktu istirahat kepada pekerjanya.

Setiap pekerja berhak atas istirahat antara jam kerja dalam sehari, sekurang-kurangnya 1/2 jam sesudah bekerja 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja (Pasal 79 UU 13/2003). Selain itu, pengusaha wajib memperlihatkan waktu secukupnya bagi pekerja untuk melaksanakan ibadah (Pasal 80 UU 13/2003).

Masa istirahat mingguan tidak boleh kurang dari 1 (satu) hari sesudah 6 (enam) hari kerja atau tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari sesudah 5 (lima) hari kerja dalam satu ahad (Pasal 79 UU 13/2003).

Berdasarkan Pasal 85 UU no. 13 tahun 2003, pekerja tidak wajib bekerja pada hari – hari libur resmi ataupun hari libur yang ditetapkan oleh perusahaan. Karena waktu istirahat itu merupakan hak kita, maka perusahaan wajib memperlihatkan upah penuh. Akan tetapi, ada kalanya perusahaan menuntut pekerja untuk tetap bekerja pada hari – hari libur alasannya yaitu sifat pekerjaan yang harus dilaksanakan terus – menerus. Perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya di hari libur, wajib membayar upah lembur.

Syarat-syarat kerja yang harus dicantumkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) salah satunya yaitu Hari Kerja, Jam Kerja, Istirahat dan Waktu Lembur. Waktu istirahat yang sesuai dengan UU No.13/2003, waktu istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setengah jam sesudah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja (Pasal 79 UU 13/2003). Dan waktu istirahat mingguan yaitu 1 hari untuk 6 hari kerja/minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja/minggu (Pasal 79 UU 13/2003).

Pada praktiknya, waktu istirahat ini diberikan oleh perusahaan pada jam makan siang, ada yang 11.30-12.30, atau 12.00-13.00 ada pula yang memperlihatkan waktu istirahat 12.30-13.30. Ada yang memberi waktu istirahat hanya setengah jam, namun sebagian besar perusahaan memperlihatkan waktu istirahat satu jam. Dan penentuan jam istirahat ini menjadi kebijakan dari masing-masing perusahaan yang diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Dalam Perjanjian Kerja Bersama, diatur lebih merinci mengenai jam kerja, waktu istirahat dan jam kerja bagi yang bekerja dengan sistem shift-shift. Dan biasanya dalam PKB pun, dirinci jam kerja shift bagi setiap divisi (contoh divisi produksi, keamanan, dll).

Ketentuan hari dan jam kerja dalam Perjanjian Kerja Bersama dapat dirubah berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Serikat Pekerja serta pelaksanaannya dilakukan dengan memutuskan kalender kerja setiap tahunnya dengan tentunya mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap karyawan berhak atas istirahat antara jam kerja dalam sehari, sekurang kurangnya 1/2 jam sesudah bekerja 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Selain itu, pengusaha wajib memperlihatkan waktu secukupnya bagi karyawannya untuk melaksanakan ibadah.

D. Pengaturan Jam Kerja Shift Pagi, Siang Dan Malam Hari


Pengaturan jam kerja dalam sistem shift diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yaitu diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut :
  • Jika jam kerja di lingkungan suatu perusahaan atau tubuh aturan lainnya (selanjutnya disebut “perusahaan”) ditentukan 3 (tiga) shift, pembagian setiap shift yaitu maksimum 8 jam per-hari, termasuk istirahat antar jam kerja (Pasal 79 ayat 2 aksara a UU No.13/2003);
  • Jumlah jam kerja secara akumulatif masing-masing shift tidak boleh lebih dari 40 jam per ahad (Pasal 77 ayat 2 UU No.13/2003);
  • Setiap pekerja yang bekerja melebihi ketentuan waktu kerja 8 jam/hari per-shift atau melebihi jumlah jam kerja akumulatif 40 jam per minggu, harus sepengetahuan dan dengan surat perintah (tertulis) dari pimpinan (management) perusahaan yang diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur (Pasal 78 ayat 2 UU No.13/2003).
Dalam penerapannya, terdapat pekerjaan yang dijalankan terus-menerus yang dijalankan dengan pembagian waktu kerja ke dalam shift-shift. Menurut Kepmenakertrans No.233/Men/2003, yang dimaksud dengan pekerjaan yang diljalankan secara terus menerus disini yaitu pekerjaan yang berdasarkan jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha. Contoh-contoh pekerjaan yang jenis dan sifatnya harus dilakukan terus menerus yaitu : pekerjaan bidang jasa kesehatan, pariwisata, transportasi, pos dan telekomunikasi, penyediaan listrik, sentra perbelanjaan, media massa, pengamanan dan lain lain yang diatur dalam Kep.233/Men/2003 Pasal 2.

Ada pula peraturan khusus yang mengatur mengenai pembagian waktu kerja bagi para Satpam yaitu SKB Menakertrans dan Kapolri Nomor Kep.275/Men/1989 dan Nomor Pol.Kep/04/V/1989. Dan juga peraturan khusus mengenai waktu kerja bagi pekerja di sektor perjuangan energi dan sumber daya mineral yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.234//Men/2003 perihal Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu.

Menurut Pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pekerja wanita yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dihentikan dipekerjakan antara pukul 23.00 hingga dengan pukul 07.00, yang artinya pekerja wanita diatas 18 (delapan belas) tahun diperbolehkan bekerja shift malam (23.00 hingga 07.00). Perusahaan juga dihentikan mempekerjakan pekerja wanita hamil yang berdasarkan keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 hingga dengan pukul 07.00.

Bagaimana Perjanjian Kerja Bersama mengatur mengenai kerja shift pagi, siang dan malam?
Karena tidak diatur secara spesifik mengenai pembagian jam kerja ke dalam shift-shift dalam UU no.13/2003, berapa jam seharusnya 1 shift dilakukan, maka pihak administrasi perusahaan sanggup melaksanakan pengaturan jam kerja shift (baik melalui Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja maupun Perjanjian Kerja Bersama) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Saat seorang karyawan bekerja hingga melewati jam kerja normal, bahwa perusahaan wajib menyediakan transportasi untuk mengantar pulang karyawan tersebut. Upah dibayar penuh oleh perushaan di hari waktu istirahat mingguan (weekend/day off) dan hari libur nasional.

Sudah merupakan kewajiban dari perusahaan untuk memperlihatkan waktu istirahat kepada pekerjanya. Masa istirahat mingguan tidak boleh kurang dari 1 (satu) hari sesudah 6 (enam) hari kerja atau tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari sesudah 5 (lima) hari kerja dalam satu ahad dan berdasarkan Undang – Undang No. 13 Pasal 85 tahun 2003, pekerja tidak wajib bekerja pada hari – hari libur resmi ataupun hari libur yang ditetapkan oleh perusahaan. Karena waktu istirahat itu merupakan hak kita, maka perusahaan wajib memperlihatkan upah penuh. Akan tetapi, ada kalanya perusahaan menuntut pekerja untuk tetap bekerja pada hari – hari libur alasannya yaitu sifat pekerjaan yang harus dilaksanakan terus – menerus. Perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya di hari libur, wajib membayar upah lembur.

Jam kerja yang sesuai dengan Undang –undang di Indonesia yaitu 40 jam/minggu, untuk jam kerja lebih dari itu, perusahaan wajib membayarkan upah lembur. Apabila perusahaan tidak memperlihatkan upah lembur, pekerja sanggup menuntut via administrasi sumber daya insan di perusahaan tersebut ataupun berkonsultasi dengan serikat buruh dan perusahaan pun sanggup terkena hukuman pidana/administratif.

Akan tetapi, terkadang ada perusahaan di jenis pekerjaan tertentu yang memang mengharuskan pekerjanya untuk bekerja lebih dari jam kerja standar. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu harus memenuhi syarat :
  1. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan,
  2. waktu kerja lembur hanya sanggup dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu
Biasanya perusahaan akan memberi tahu jam kerja kita yang melebihi standar dan sistem pengupahannya pada dikala interview dan kita berhak melaksanakan perundingan mengenai hal ini. Kesepakatan jam kerja itu akan ditulis dalam Surat Perjanjian Kerja. Jika telah terjadi kesepakatan mengenai hal ini, kita tidak sanggup menuntut.

Menurut Undang-Undang no.13 tahun 2003, jam kerja yang berlaku yaitu 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 ahad untuk karyawan dengan 6 hari kerja. Sedangkan untuk karyawan dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Akan tetapi, ketentuan waktu kerja diatas tidak berlaku bagi sektor perjuangan atau pekerjaan tertentu contohnya : pekerjaan di sektor pertambangan, layanan jasa 24 jam ibarat Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran, Call Center, dsb. Jam kerja pada pekerjaan ini mencapai 8 hingga 12 jam kerja dalam 1 hari.

Untuk jam kerja shift malam, pada prakteknya karyawan shift malam bekerja selama 7 jam dalam 1 hari selama 5 hari kerja dengan total 35 jam dalam 1 minggu, berbeda 5 jam dalam seminggu dibanding jam kerja shift pagi/siang. Akan tetapi ada juga perusahaan yang tetap mempekerjakan karyawan shift malam sama ibarat karyawan shift pagi/siang yaitu 8 jam/hari atau 40 jam seminggu dengan memperlihatkan sumbangan shift.

Perusahaan dihentikan mempekerjakan buruh/pekerja 2 kali dalam 1 hari kerja bagi para pekerja shift. Sebab, tidak ada Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pekerja shift diharuskan tiba 2 kali dalam 1 hari kerja. UU baik Peraturan Menteri Kep.234/MEN/2003 maupun Permen Menteri No.15 Tahun 2005 Tentang Waktu Kerja dan Istrahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu juga tidak mengatur shift ibarat tersebut. Pasal 77 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang selengkapnya berbunyi "Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor perjuangan atau pekerjaan tertentu".

Sementara itu klarifikasi terkait pasal 77 ayat (3) yaitu yang dimaksud sektor perjuangan atau pekerjaan tertentu dalam ayat ini contohnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan.

Jadi, bila ada Peraturan Perusahaan (PP) di perusahaan tempat Anda bekerja bertentangan dengan Peraturan yang ada maka Peraturan Perusahaan tempat anda bekerja menjadi batal demi hukum.

Apabila perusahaan mengadakan acara aktifitas diluar jam kerja yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan kerja ibarat senam pagi. Hal tersebut tidak sanggup dikategorikan sebagai waktu kerja lembur bagi pekerja shift/pekerja yang sedang libur.

Kebijakan senam pagi yang dibentuk oleh perusahaan tersebut bila dipandang dari sisi positif yaitu untuk kepentingan untuk menjaga kesehatan dan kebugaran para karyawan. Akan tetapi bila bertolak belakang dengan jam kiprah dengan shift yang tidak memungkinkan dilaksanakan, maka Anda sanggup mennyampaikan keberatan kepada administrasi perusahaan dengan alasan yang tepat.

Akan tetapi, apabila perusahaan Anda mengadakan kegiatan/pertemuan diluar jam kerja berkaitan dengan tugas, maka Anda berhak atas upah lembur sesuai ketentuan perundang-undangan. Perintah lembur harus atas persetujuan karyawan yang bersangkutan berdasarkan ketentuan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut; 

Ayat (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
  • ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
  • waktu kerja lembur hanya sanggup dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Ayat (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.

Jam kerja dan istirahat pada sektor perjuangan energi dan sumber daya mineral pada tempat tertentu diatur dalam Pasal 5 ayat (2)Kepmenakertrans No.234/MEN/2003 Tentang Waktu Kerja dan Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu yang berbunyi "Perusahaan yang memakai waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) aksara c hingga dengan aksara n, harus memakai perbandingan waktu kerja dengan waktu istirahat 2 (dua) banding 1 (satu) untuk 1 (satu) periode kerja dengan ketentuan maksimum 14 (empat belas) hari terus menerus dan istirahat minimum 5 (lima) hari dengan upah tetap dibayar".

Bila melihat ketentuan Pasal 5 ayat 2 No.234/MEN/2003 Kepmenakertrans tersebut diatas, maka seharusnya apabila Anda bekerja selama 6 ahad seharusnya mendapat 19 hari istrahat. Namun demikian bila mengacu pada Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1), dan (2) Kepmennakertrans No.234/MEN/2003 yang berbunyi sebagai berikut;
Pasal 3 "Pelaksanaan waktu istirahat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sesuai dengan kebutuhan perusahaan".
Pasal 4 :
  1. Perusahaan sanggup melaksanakan pergantian dan atau perubahan waktu kerja dengan menentukan dan memutuskan kembali waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
  2. Pergantian dan atau perubahan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan terlebih dahulu oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal perubahan dilaksanakan.
Pasal 3 diatas cukup terang diatur Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Pasal 4 ayat (1) terang perusahaan sanggup melalukan penggantian waktu kerja. Namun juga diikat pada ayat (2), bila anda sepakat tidak jadi masalah. Khusus untuk Perjanjian Kerja Bersama mekanismenya harus menjadi Serikat Buruh.

Jika kita masuk kerja terlambat namun masih bekerja terhitung kerja 4 jam (kurang dari 8 jam), hak upah makan tetap sanggup uang makan, setiap Buruh/Pekerja telah bekerja 4 jam secara terus menerus berhak untuk mendapat upah makan.

Sumber Hukum :

  1. Undang-Undang No.13 tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan,
  2. Kepmenakertrans No. Kep-233/Men/2003 Tahun 2003 perihal Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus,
  3. KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP. 102/MEN/VI/2004 TENTANG WAKTU KERJA LEMBUR DAN UPAH KERJA LEMBUR,
  4. Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Kepala Kepolisian RI Nomor Kep.275/Men/1989 dan Nomor Pol.Kep /04/V/1989 perihal Pengaturan Jam Kerja, Shift dan Jam Istirahat serta Pembinaan Tenaga Satuan Pengamanan (SATPAM),
  5. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.234//Men/2003 perihal Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Energi Dan Sumber Daya Mineral pada Daerah Tertentu
Referensi :
  1. Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, Bandung, PT Citra Aditya Bhakti 2003.
  2. Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, Cet. XI, 1995. 
  3. Sedjun H. Manulang, Pokok‐pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta, PT Rineka Cipta, Cet. II, 1995.
  4. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=jam-kerjal
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=jam-kerja
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=jam-kerja
  7. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=jam-kerja