Showing posts sorted by relevance for query sejarah-outsourcing. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query sejarah-outsourcing. Sort by date Show all posts

Ilmu Pengetahuan Sejarah Outsourcing

By Sugi Arto


Sejarah Outsourcing. Berdasarkan prinsip ekonomi, setiap individu menginginkan pengeluaran yang minimal untuk pendapatan yang maksimal, begitupun dengan perusahaan. Melalui outsourcing, perusahaan mengharapkan keuntungan yang maksimal dengan pembayaran faktor produksi berupa SDM yang minimal. Dengan kata lain, prinsip perusahaan yang berlandaskan atas prinsip ekonomi ialah mendapat high quality production dengan low price production. Kebijakan outsourcing menjadi salah satu solusi sempurna bagi perusahaan untuk mencapai hal tersebut.

Outsourcing, belakangan menjadi sebuah topik isu yang marak terdengar dan menjadi penyebab unjuk rasa oleh banyak sekali satuan buruh yang menentangnya. Outsourcing bagi mereka merupakan suatu kebijakan yang menguntungkan perusahaan namun mengakibatkan ketidaksejahteraan nasib mereka. Masalah ini kian menjadi rumit ketika pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai pembela nasib mereka, justru membuat peraturan gres yang mencerminkan dukungannya terhadap tindakan outsourcing, yakni pengerapan sistem ANS.

 setiap individu menginginkan pengeluaran yang minimal untuk pendapatan yang maksimal Ilmu Pengetahuan Sejarah Outsourcing
Sejarah Outsourcing

a. Outsourcing di Tingkat Internasional


Praktek dan prinsip-prinsip outsourcing telah ditetapkan dijaman Yunani dan Romawi. Pada zaman tersebut, tanggapan kekurangan dan kemampuan pasukan dan tidak terkendalinya ahli-ahli bangunan, bangsa Yunani dan Romawi menyewa prajurit aneh untuk berperang dan para ahli-ahli bangunan untuk membangun kota dan istana.

Sejalan dengan adanya revolusi industri, maka perusahaan-perusahaan berusaha untuk menemukan terobosan-terobosan gres dalam memenangkan persaingan. Pada tahap ini untuk mengerjakan sesuatu tidak cukup untuk menang secara kompetitif, melainkan harus disertai dengan kesanggupan untuk membuat produk paling bermutu dengan biaya terendah.

Sebelum Perang Dunia II, Kerajaan Inggris merekrut serdadu Gurkha yang populer dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950, Amerika Serikat yaitu negara yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk keperluan perang. Praktik outsourcing kemudian berkembang luas di perusahaan multinasional sejalan dengan perlunya mereka beroperasi secara efisien dan fokus terhadap bisnis mereka. Perancis sekarang merupakan negara yang paling berkembang dalam menerapkan outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis, dalam banyak sekali skala, menerapkan praktek outsourcing dalam menjalankan usaha.

Dikarenakan adanya pasar global dan godaan tenaga kerja murah, dunia industri manufaktur mengalami peningkatan tenaga kerja pada dekade 1980an pada tahun-tahun berikutnya, praktek outsourcing didorong oleh Satu dari sepuluh butir kesepakatan dalam Washington Consensus yang mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja harus bersifat fleksibel sebagai sebuah syarat investasi. Secara sederhana berarti, tenaga kerja hanya dijadikan sebuah fungsi produksi yang bersifat variabel. Ketika produksi meningkat, jumlah pekerja ikut terungkit, namun ketika produksi menurun, pekerja harus dikurangi.

b. Outsourcing Dalam Indonesia


Di Indonesia Sendiri perkembangan outsourcing dibagi kedalam dua masa, yaitu zaman pra-kemerdekaan dan masa pasca kemerdekaan.

1. Masa Hindia Belanda (Pra-kemerdekaan)

a. Deli Planters Vereeniging

Outsourcing sudah diperkenalkan pada warga bumiputra pada masa pendudukan Belanda. Seiring maraknya sistem tanam paksa (monokultur) ibarat tebu, kopi, tembakau, sekitar tahun 1879, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat kegiatan besar-besaran dalam upaya menghasilkan barang-barang devisa di pasar internasional. Salah satu upayanya yaitu membuka investasi di sektor perkebunan di tempat Deli Serdang. Kebijakan itu diatur oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dalam peraturan No. 138 perihal Koeli Ordonantie. Peraturan tersebut kemudian direvisi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor 78.

Peraturan tersebut dikeluarkan untuk membuat iklim investasi yang aman seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin. Regulasi ini kemudian bisa mendorong laju investasi sektor perkebunan tembakau di Deli sesuai regulasi yang sudah dikeluarkan yang mengatur perihal ketentuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja (koeli) perkebunan maka pada tahun 1879 dibentuklah organisasi yang diberi nama ‘Deli Planters Vereeniging.‘ Organisasi tersebut bertugas untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang murah. Selanjutnya, Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan sejumlah biro pencari tenaga kerja untuk mendatangkan buruh-buruh murah secara besar-besaran terutama dari tempat Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Deli Planters Vereeniging berhubungan dengan para Lurah, para Kepala Desa, para calo tenaga kerja, untuk mengangkut kaum Bumi Putra meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka kemudian diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib “menandatangani” perjanjian kontrak yang ketika itu disebut sebagai Koeli Ordonantie. kononetos orang jawa lah yang ketika itu sempurna untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, sifat yang gampang mengalah dan gampang diajak kompromi yaitu pilihan utama dari orang-orang tersebut, tetapi juga perlu diingat bahwa ketika itupun sudah ada perjanjian kontrak kerja yang sama-sama menyetujui perihal hak dan kewajiban masing-masing, hal ini terlepas apakah kemudian terdengar bahwa kontrak (ordonantie) tersebut banyak dilanggar oleh si pelaksana itu sendiri, kononjustru si pelaksana itulah yang lebih berkuasa dari pada si pemilik investasi.

Setelah tiba di perkebunan (onderneming), para koeli orang Jawa tersebut dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab atas disiplin kerja. Para mandor ini mendapat upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya. Pada umumnya, para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh ajun pengawas. Para ajun pengawas ini bertanggungjawab kepada administratur perkebunan. Selanjutnya, para administratur bertanggungjawab kepada tuan juragannya, yaitu para investor yang mempunyai perkebunan itu. Pada masa itu, yang paling besar lengan berkuasa dan paling berkuasa atas para koeli yaitu para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling sering melaksanakan pemerasan terhadap para koeli. Begitu berkuasanya sehingga para koeli kalau ditanya dimana beliau bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor kepalanya.

Pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya dari pemerasan pribadi yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja. Para calo dan tuan juragan atau ondernemer secara tak pribadi juga melaksanakan pemerasan. Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang ibarat biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya tempat tinggal, dengan upahnya yang minim itu seringkali gres sanggup terbayarkan lunas sesudah para koeli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.

b. Animer

Masih pada massa pendudukan Belanda sekitar Abad XIX, sistem outsourcing juga sudah dikenal dalam kehidupan buruh (koeli) pelabuhan di Tanjung Priok. Menurut penelitian yang dilakukan Razif, penggerak Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), para buruh Pelabuhan Tanjung Priok direkrut oleh kelompok buruh yang disebut sebagai “animer”. Oleh para animer, tenaga kerja itu biasanya didatangkan dari Jawa Barat. Secara getok-tular, dari lisan ke mulut, kaum muda di perkampungan Lebak, Banten, Cianjur, mereka berbondong-bondong menjual tenaganya. Di kampungnya, produksi pertanian tidak lebih menjanjikan dibanding migrasi ke Tanjung Priok dimana bisa memperoleh “uang” dari upah memburuh.

2. Masa Kemerdekaan Indonesia

a. Sebelum Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Pengaturan perihal pemborongan pekerjaan, gotong royong sudah diatur semenjak zaman belanda. Sebelum diundangkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2003, Outsourcing diatur dalam KUH Perdata Pasal 1601 b, Pasal tersebut mengatur bahwa pemborongan suatu pekerjaan yaitu kesepakatan dua belah pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak yang saling mengikatkan diri, untuk menyerahkan suatu pekerjaan kepada pihak lain dan pihak lainnya membayarkan sejumlah harga. Tetapi pengaturan dalam KUH Perdata masih belum lengkap lantaran belum diatur terkait pekerjaan yang sanggup dioutsourcingkan, tanggung jawab perusahaan pengguna dan penyedia tenaga kerja outsourcing dan jenis perusahaan yang sanggup menyediakan tenaga kerja outsourcing.

b. Outsourcing Berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Berdasarkan hasil penelitian PPM (Riset Manajemen: 2008 terhadap 44 perusahaan dari banyak sekali industri terdapat lebih dari 50% perusahaan di Indonesia memakai tenaga outsourcing, yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak memakai tenaga outsourcing dalam operasional di perusahaannya. Hal ini menawarkan perkembangan outsourcing di Indonesia begitu pesat Perkembangan outsourcing ini didorong dengan adanya Undang-Undang perihal Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, dalam Undang-Undang tersebut tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja.

Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, sasaran produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, gres ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan lantaran tanggapan antara bekerja dan mendapat hasil yang dialami buruh tidak lagi mempunyai korelasi secara langsung. Bila tanpa forum penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja sebagai majikan, sekarang harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar management fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, gres ia memperoleh kucuran upah.

Selain hal di atas, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga kerjaan terang diatur bahwa adanya perusahaan penyedia tenaga kerja outsourcing, yang berbentuk tubuh hukum, dan bertanggung jawab atas hak-hak tenaga kerja. Selain itu, diatur juga bahwa hanya pekerjaan penunjang saja yang sanggup di outsourcingkan.

Sumber Hukum

Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Daftar Pustaka

  1. 1. Lalu,S.H,M.Hum.2008.Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Jakarta
  2. Jehani Libertus,2008 Hak-Hak Karyawan Kontrak, Forum sahabat, Jakarta, 2008:1-2)