Showing posts sorted by date for query pandangan-fraksi-fraksi-dpr-atas-pasal. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query pandangan-fraksi-fraksi-dpr-atas-pasal. Sort by relevance Show all posts

Ilmu Pengetahuan Pandangan Fraksi-Fraksi Dpr Atas Pasal-Pasal Rkuhp Yang Sensitif

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta)  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang digodok dewan perwakilan rakyat dan pemerintah menuai protes publik, khususnya pasal pencabulan, perzinaan dan penghinaan terhadap presiden. Ketiga poin tersebut dianggap sebagai pasal karet atau tidak mempunyai kepastian hukum.

Pasal penghinaan presiden bahkan dianggap sebagai pasal “zombie” atau pasal yang telah mati dihidupkan kembali. Pasal macam itu pernah ada sebelumnya namun telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dari kitab undang-undang hukum pidana usang yang termaktub dalam pasal 134-137.

Kasus Korupsi e-KTP: Made Oka Bantah Bertemu Narogong, Paulus Tannos, dan Setya Novanto
  • Tes CPNS 2017: Mimpi Bekerja di KKP Ditenggelamkan Syarat "Rekomendasi" Psikolog
  • Problematika RKUHP: Akhir Nasib Delik Korupsi Dalam RKUHP
  • Pengelolaan Dana Desa: Kemenkeu Sebut 200 Desa Terkena OTT
  • Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini
  • Langkah Awal Robert Pakpahan Nakhodai Direktorat Jenderal Pajak
  • Tugas Luky Sebagai Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko
  • KPK Cocokan Bukti Aliran Dana Korupsi e-KTP ke Anggota DPR
  • Wejangan Menteri Keuangan untuk Direktur Jenderal Pajak yang Baru
  • Robert Pakpahan Dirjen Pajak Baru

  • Selain itu, berdasarkan Erasmus, penerapan pasal penghinaan presiden tidak sempurna bagi Indonesia yang menerapkan sistem presidensil yang menempatkan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.

    Hal ini, berdasarkan Erasmus, berbeda dengan di Thailand yang memang mengakui keberadaan raja sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, sehingga pasal Leste Majeste dapat diberlakukan di sana.

    "Kecuali Presiden Jokowi memang menganggap dirinya sebagai raja," kata Erasmus. (***)

    Ilmu Pengetahuan Tak Ada Jaminan Keadilan Bagi Korban Pelanggaran Ham Di Putusan Mk

    Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempertanyakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penolakan permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk merevisi Pasal kesusilaan pada Desember silam. Putusan MK tersebut menyimpulkan penolakan terhadap usulan kriminalisasi terhadap sikap Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) serta hubungan di luar nikah.

    Wakil Ketua Sekretaris Jenderal MUI, Muhammad Zaitun, mengaku heran atas keputusan MK alasannya yaitu menurutnya lebih banyak didominasi warga Indonesia beragama. Orang yang beragama, dalam pandangan Zaitun, tidak mengizinkan sikap LGBT maupun hubungan di luar nikah.

     mempertanyakan keputusan Mahkamah Konstitusi  Ilmu Pengetahuan Tak Ada Jaminan Keadilan Bagi Korban Pelanggaran HAM di Putusan MK
    Suasan sidang dengan jadwal pembacaan putusan uji bahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 ihwal Administrasi Kependudukan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
    "Patut ditinjau ulang apakah ini sehat dalam berbangsa dan bernegara untuk urusan-urusan besar yang rata-rata umat dan bangsa kita setuju masuk," katanya.

    Ia juga mempertanyakan kewenangan MK yang begitu besar, sehingga sanggup memutuskan suatu hal menyerupai uji bahan pasal kesusilaan.

    "Kita prihatin dan berharap ada sesuatu ke depan ini bagaimana caranya ditinjau. dewan perwakilan rakyat saja 600 orang jikalau ada yang salah memutuskan sanggup ditinjau. Ini kini keputusan MK hanya 9 orang. Apalagi kemarin cuma 5 orang alasannya yaitu 4 orang menolak," katanya.

    Peran MK dalam Uji Materi Kasus HAM

    Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas sekaligus salah satu hakim MK lewat “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia” (2014) yang dipublikasikan Jurnal Konstitusi menyatakan, pembentukan MK sejalan dengan dianutnya paham negara aturan sesuai Undang-Undang Dasar 1945.

    Menurut Isra, kewenangan uji bahan yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 kepada MK merupakan bentuk sumbangan maupun jaminan HAM. Dengan kewenangan tersebut, MK mengemban misi untuk mengawasi kekuasaan negara biar tidak terjebak pada tindakan yang melanggar HAM. MK, tulis Isra, tidak saja bertindak sebagai forum pengawal konstitusi (guardian of constitution) melainkan juga sebagai “lembaga pengawal tegaknya HAM.”

    Jika ditelisik ke belakang, klaim Isra yang menyebut MK sebagai “lembaga pengawal tegaknya HAM” tidak sepenuhnya keliru. Pada 2016, MK menyetujui pengajuan pengampunan sanksi tanpa limitasi (batasan). MK beranggapan bahwa pengampunan sanksi dengan limitasi berpotensi menghilangkan hak konstitusional terpidana. Maka dari itu, putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 tersebut menyatakan bahwa permohonan pembatasan pengampunan sanksi dalam pasal 7 ayat (2) bertentangan dengan konstitusi.

    Lalu, MK juga pernah memutuskan pengidap gangguan jiwa atau ingatan—selama tidak mengidap gangguan jiwa permanen—berhak menggunakan suaranya dalam pemilu. Hal itu dituangkan MK lewat putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 tanggal 13 Oktober 2016.

    November 2017, MK menciptakan keputusan penting dengan mengabulkan seluruh permohonan uji bahan yang diajukan empat warga negara Indonesia penganut fatwa kepercayaan. Putusan tersebut menciptakan identitas penghayat kepercayaan diakui negara lewat pencantuman di kolom KTP. Para pemohon mengajukan uji bahan terhadap Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 ihwal Administrasi Kependudukan.

    Satu bulan setelahnya, MK lagi-lagi menciptakan keputusan krusial dengan menolak permohonan Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) untuk merevisi pasal terkait kesusilaan (Pasal 284, 285, dan 292 dalam KUHP). MK beralasan tidak punya kewenangan dalam menyusun aturan baru.

    Putusan diketok selepas sembilan hakim konstitusi menggelar musyawarah hakim. Dalam musyawarah tersebut terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari empat hakim: Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Ada pun lima hakim lainnya, yakni Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M. Sitompul, dan Suhartoyo, menolak opini pemohon. Suara terbanyak dari majelis hakim kesudahannya menggagalkan upaya pemohon untuk mengkriminalisasi orang-orang yang “bersetubuh di luar perkawinan” dan “sesama kelamin.”

    Permohonan ini dijukan AILA semenjak 2016. Mereka meminta MK memperluas subjek yang dijerat dalam pasal 284 ihwal perzinaan; tidak hanya orang yang sudah menikah, tapi juga kepada mereka yang berstatus belum menikah.

    Majelis beropini pasal-pasal yang diajukan untuk judicial review tidak bertentangan dengan konstitusi. Kalaupun pihak pemohon ingin masalah hubungan sesama jenis diperkarakan, semestinya mereka mengajukan rancangan undang-undang yang mengaturnya ke DPR.

    Namun, tidak semua putusan MK ihwal masalah yang berkaitan dengan HAM berakhir positif. Pada 2006, MK membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 ihwal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU yang dibentuk berdasarkan mandat Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 ihwal Persatuan Nasional itu dianulir MK alasannya yaitu “tidak sesuai Undang-Undang Dasar 1945” serta dianggap “tidak akan menuntaskan masalah pelanggaran HAM di Indonesia.”

    Satu dekade berselang, MK menolak seluruh somasi pemohon (Paian Siahaan dan Yati Ruyati, keduanya keluarga korban kerusuhan Mei 1998) yang menilai terdapat ketidakjelasan pada pasal 20 ayat (3) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ihwal Pengadilan HAM. Ketidakjelasan itu mengakibatkan ketidakpastian aturan atas insiden pelanggaran HAM di masa lampau.

    Ketidakjelasan yang dimaksud pemohon ialah masalah yang menimpa keluarga pemohon yang bersama-sama telah dinyatakan pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM (putra Paian, Ucok Munandar yaitu korban penghilangan paksa serta anak Yati, Eten Karyana meninggal akhir kerusuhan 1998). Namun, masalah tak kunjung ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung, kendati berkas masalah telah tujuh kali disampaikan Komnas HAM. Tindakan tersebut dinilai pemohon telah melanggar hak konstitusional.

    Alasan MK menolak somasi pemohon yaitu bahwa MK tidak memandang pasal itu bermasalah. Yang bermasalah, berdasarkan MK, yaitu implementasinya. MK menjelaskan, penyelesaian masalah HAM tidak sebatas duduk masalah yuridis, tapi duduk masalah politis. Artinya, harus ada kemauan politik dari pemerintah untuk menyidik pelanggaran HAM yang terjadi pada Mei 1998.

    Pada November 2017, MK menolak permohonan uji bahan ihwal ketentuan larangan pemakaian tanah tanpa seizin pemilik. Penolakan itu dituangkan dalam putusan nomor 96/PUU-XIV/2016. Permohonan uji bahan diajukan oleh Rojiyanto, Mansur Daud, dan Rando Tanadi Ketiganya yang merupakan korban penggusuran menilai Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 51 tahun 1960 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
     mempertanyakan keputusan Mahkamah Konstitusi  Ilmu Pengetahuan Tak Ada Jaminan Keadilan Bagi Korban Pelanggaran HAM di Putusan MK

    Akan tetapi, dalam pertimbangan hakim, pokok permohonan yang diajukan pemohon “tidak beralasan hukum.” Hakim menilai, bahan yang terkandung dalam Perppu 51 Tahun 1960 sudah tegas melarang siapapun untuk menggunakan tanah tanpa izin pihak yang berhak. Negara dinilai telah melindungi hak dan pihak yang berhak tanah dari perbuatan menguasai tanah secara melawan hukum.

    Selain menolak permohonan pemohon, MK juga tidak mempermasalahkan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam penertiban lahan. Namun, keterlibatan TNI, tambah MK, harus berada dalam pilihan terakhir. Tentara Nasional Indonesia hanya diperbolehkan untuk ikut menertibkan dalam rangka membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan.

    Putusan MK tersebut menciptakan pemerintah tempat di tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi tetap diperkenankan melaksanakan penggusuran terhadap warga yang terbukti menempati tanah tanpa mempunyai izin.

    Baca :


    Mengapa Berbeda?

    “Selama ini, hakim MK masih berpatokan pada konstitusi dalam memutuskan masalah soal HAM. Makanya, dalam masalah HAM yang ditangani MK, hasilnya berbeda-beda. Dari eksekusi mati hingga kolom kepercayaan di KTP,” ungkap Pengacara Publik dan Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Muhammad Isnur, ketika dikutip dari Tirto.

    Hal senada turut diungkapkan staf bidang advokasi KontraS, Putri Kanesia. Ia beranggapan ada perbedaan cara pandang hakim MK dalam melihat duduk masalah HAM. Selain itu, tambah Putri, terdapat perbedaan pandangan terhadap kerugian yang dialami korban pelanggaran HAM.

    “Kasus LGBT dan kolom kepercayaan dianggap MK sudah mengakibatkan kerugian nyata. Sementara, ketika somasi UU Pengadilan HAM beberapa tahun lalu, MK menganggap belum ada kerugian untuk para korban 1998. Artinya, hakim MK gagal memahami konteks kerugian HAM di sini,” tegasnya.

    Sementara Charles Simabura, peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas menyatakan MK tidak sanggup memutus masalah HAM dengan sama rata. Terdapat faktor pertimbangan hakim hingga kepentingan yang dibawa.

    “Saya pikir yang mengakibatkan naik-turunnya keputusan MK dalam masalah HAM yaitu pertimbangan hakim serta faktor-faktor lainnya. Kita tidak sanggup mengharap semua putusan MK berakhir baik. Ada banyak pertimbangan yang menciptakan putusan MK sanggup berbeda-beda,” ungkapnya via sambungan telepon. (***)

    Ilmu Pengetahuan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Perintahkan Penyidik Dalam Puan Maharani Di E-Ktp

    Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyerahkan ke tim penyidik guna mendalami tugas mantan Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani dalam pembahasan anggaran proyek e-KTP.

    Saut juga menyerahkan ke penyidik apakah akan menyidik Ketua Fraksi PDIP periode 2009-2014 itu.

    “Penyidik yang akan membuatkan sejauh apa mereka melihat potongan-potongan keterangan menuju fakta-fakta yang sanggup dikembangkan,” ujar Saut, melaui pesan singkatnya kepada wartawan, Jakarta, Selasa (27/2).

     Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi  Ilmu Pengetahuan Pimpinan KPK Perintahkan Penyidik Dalam Puan Maharani di e-KTP
    Wakil Ketua KPK Saut Situmorang ketika mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Jakarta, Selasa (12/9). Komisi III mempertanyakan soal tahapan proses penanganan masalah mulai dari laporan masyarakat sampai ke pengadilan. Selain itu juga mempertanyakan soal ribuan pengaduan masyarakat ke KPK namun tidak semuanya diproses. AKTUAL/Tino Oktaviano
    Pernyataan Saut tersebut mengingat sejumlah fakta persidangan mantan Ketua dewan perwakilan rakyat Setya Novanto mengungkap adanya tugas Puan. Salah satunya dari kesaksian mantan Wakil Ketua Komisi II dewan perwakilan rakyat dari Fraksi PDIP Ganjar Pranowo yang mengakui kerap melaporkan perkembangan pembahasan proyek e-KTP kepada Puan yang ketika itu selaku Ketua Fraksi PDIP.

    Saut menegaskan, penyidik KPK akan mengusut sejumlah pihak yang diduga kecipratan dalam masalah dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun itu.

    “Hukum pembuktian itu melihat sejauh apa sanggup menandakan tugas atau keterkaitan orang perorang,” tegasnya ketika dikutip dari Aktual.

    Selain Ganjat, mantan Bendahara Umum (Bendum) partai Demorkat, M Nazaruddin yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus Novanto mengakui semua Ketua Fraksi ikut kecipratan uang haram dari megakorupsi senilai Rp2,3 triliun tersebut. Dia menyebut besaran fee untuk ketua fraksi tidak sama atau bervariasi.

    Sementara, anggota Fraksi PDIP Ganjar menyebut perkembangan pembahasan proyek pengadaan e-KTP dilaporkan bersamaan dengan pembahasan kegiatan lainnya yang ada di dewan perwakilan rakyat kepada Ketua Fraksi PDIP ketika itu, Puan Maharani.

    “Semua biasanya ada laporan (kepada Ketua Fraksi),” kata Ganjar menjawab pertanyaan JPU KPK, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2).

    Tak hanya itu, dalam persidangan itu juga terkuak bahwa proyek e-KTP ini dikuasai oleh tiga partai besar dengan arahan warna merah, biru dan kuning. Merah sebagai PDI Perjuangan, biru sebagai Partai Demokrat dan kuning sebagai Partai Golkar.

    Baca :


    Pada surat dakwaan jaksa KPK disebutkan bahwa Golkar ketika itu turut diperkaya dari e-KTP sebesar Rp150 miliar, Partai Demokrat Rp150 miliar dan PDIP senilai Rp80 miliar. Adapun Ketua Fraksi Golkar ketika itu dijabat oleh Setya Novanto, sementara PDIP ialah Puan Maharani dan Demokrat dijabat Anas Urbaningrum kemudian digantikan oleh Jafar Hapsah.

    Sejauh ini dari ketiga nama tersebut gres Novanto yang dijerat. Namun, semenjak awal penyidikan ini bergulir KPK belum pernah menyidik Puan Maharani selaku Ketua Fraksi PDIP. Padahal, Ketua Fraksi lainnya menyerupai Anas Urbaningrum berulang kali diperiksa dan Jafar Hafsah sendiri telah mengembalikan uang sebesar Rp1 miliar ke KPK. (***)
     
    Copyright 2015-2018
    Wkyes