Showing posts sorted by relevance for query ilmu-hukum-pidana. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query ilmu-hukum-pidana. Sort by date Show all posts

Ilmu Pengetahuan Pengertian, Tujuan, Klasifikasi, Ruang Lingkup Dan Sistem Eksekusi Aturan Pidana

Pengertian, Tujuan, Klasifikasi, Ruang Lingkup Dan Sistem Hukuman Hukum Pidana   Hukum Pidana, sebagai salah satu belahan independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen aturan yang sangat urgen eksistensinya semenjak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari bahaya tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
 
 Ruang Lingkup Dan Sistem Hukuman Hukum Pidana Ilmu Pengetahuan Pengertian, Tujuan, Klasifikasi, Ruang Lingkup Dan Sistem Hukuman Hukum Pidana
Hukum Pidana

A. Definisi Hukum Pidana

Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dihentikan oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dihentikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana yaitu aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dihentikan dan menawarkan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dihentikan dalam aturan pidana yaitu :
  • Pembunuhan;
  • Pencurian;
  • Penipuan;
  • Perampokan;
  • Penganiayaan;
  • Pemerkosaan; dan
  • Korupsi.
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najardalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang memilih perbuatan-perbuatan pidana yang dihentikan oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, mekanisme yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa”. Hukum pidana yaitu belahan daripada keseluruhan aturan yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
  1. Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai bahaya atau hukuman yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan larangan itu sanggup dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu sanggup dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melaksanakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja supaya dirasakan sebagai nestapa. Dalam ilmu aturan ada perbedaan antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto mengatakan bahwa istilah “hukuman” kadang kala dipakai untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi berdasarkan ia istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman.

Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, sanggup memiliki arti yang luas dan berubah-ubah lantaran istilah itu sanggup berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering dipakai dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya.

Oleh lantaran pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang sanggup membuktikan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak menawarkan klarifikasi lebih lanjut mengenai strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar aturan pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, insiden pidana, serta delik.

B. Tujuan Hukum Pidana

Tujuan aturan pidana itu yaitu untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi insan dan melindungi kepentingan masyarakt dan negara dengan pertimbangan yang harmonis dari kejahatan/ tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang otoriter dilain pihak. Dengan demikian, yang dilindungi oleh aturan pidana bukan saja individu, tetapi juga negara, masyarakat harta benda milik individu.

Dari rumusan tujuan tersebut, sanggup dikelompokkan bahwa yang dilindungi oleh aturan pidana yaitu :
  1. Negara;
  2. Penguasa Negara;
  3. Masyarakat Umum;
  4. Individu;
  5. Harta Benda Individu;
  6. Binatang ternak termasuk tanaman.
Dalam banyak literatur aturan pidana, disebutkan bahwa tujuan aturan pidana yaitu antara lain untuk:
  1. Menakut-nakuti setiap orang jjangna hingga melaksanakan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik);
  2. Mendidik orang yang telah pernah melaksanakan perbuatan tidak baik menjadi baik dan sanggup diterima kembali dalam kehidupan lingkungan.
Pandangan tersebut di atas dikemukakan oleh Teguh Parsetyo dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana.

Secara konkrit tujuan aturan pidana itu ada dua, ialah :
  • Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan hingga melaksanakan perbuatan yang tidak baik.
  • Untuk mendidik orang yang telah pernah melaksanakan perbuatan tidak baik menjadi baik dan sanggup diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya.
Tujuan aturan pidana ini bekerjsama mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik.

Kaprikornus Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laris insan dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada insan yang melaksanakan perbuatan tidak baik yang kadang kala merusak lingkungan hidup insan lain, bekerjsama sebagai akhir dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.

Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa hingga seseorang melaksanakan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu aturan pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu aturan pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melaksanakan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana kesudahannya dan tindakan apa yang sanggup dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.

C. Klasifikasi Hukum Pidana

Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan aturan pidana. Dalam arti obyektif yaitu“sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu :
  • Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang memilih perbuatan-perbuatan kriminal yang dihentikan oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan belahan dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, menyerupai Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
  • Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya aturan materiil diharapkan aturan acara. Hukum program merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara supaya aturan (materil) itu terwujud atau sanggup diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa aturan program maka tidak ada manfaat aturan materiil. Untuk menegakkan ketentuan aturan pidana diharapkan aturan program pidana, untuk aturan perdata maka ada aturan program perdata. Hukum program ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari mekanisme pelaksanaannya semenjak waktu terjadinya pidana hingga penetapan aturan atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan aturan yang tumbuh dari mekanisme tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya”. Dari sini, terperinci bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
  • Dakwa Pidana, semenjak waktu terjadinya tindak pidana hingga berakhirnya aturan atasnya dengan bermacam-macam tingkatannya.
  • Dakwa Perdata, yang sering terjadi akhir dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
  • Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, lantaran sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan lantaran terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh alasannya yaitu itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, lantaran harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan kalau memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para hebat telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.

Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu“sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melaksanakan perbuatan yang dilarang”.

D. Ruang Lingkup Hukum Pidana

Hukum Pidana memiliki ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan insiden pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan aturan yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang bisa bertanggung jawab. Kaprikornus unsur-unsur insiden pidana, yaitu :
  • Sikap tindak atau perikelakuan manusia. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar pembatalan kesalahan.
  • Sikap tindak yang sanggup dihukum/dikenai hukuman adalah:
  1. Perilaku insan ; Bila seekor singa membunuh seorang anak maka singa tidak sanggup dihukum,
  2. Terjadi dalam suatu keadaan, dimana perilaku tindak tersebut melanggar hukum, contohnya anak yang bermain bola menimbulkan pecahnya beling rumah orang,
  3. Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya beling jendela rumah orang tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian orang lain,
  4. Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi perilaku tindak tersebut.Orang yang memecahkan beling tersebut yaitu orang yang sehat dan bukan orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka insiden pidana/delik sanggup dibedakan dalam :
  • Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah perilaku tindak atau perikelakuan yang dihentikan tanpa merumuskan akibatnya.
  • Delik materiil, tekanan perumusan delik ini yaitu akhir dari suatu perilaku tindak atau perikelakuan. Misalnya Pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana :
“Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu perbuatan sanggup dieksekusi tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas legalitas”.

Aturan aturan pidana berlaku bagi setiap orang yang melaksanakan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang aturan pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan aturan pidana, ialah :
  1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel),
  2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel),
  3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)

E. Sistem Hukuman

Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 perihal pidana pokok dan tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang sanggup dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :

a. Hukuman Pokok (hoofd straffen )

  1. Hukuman mati,
  2. Hukuman penjara,
  3. Hukuman kurungan, dan
  4. Hukuman denda

b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)

  1. Pencabutan beberapa hak tertentu,
  2. Perampasan barang-barang tertentu, dan
  3. Pengumuman putusan hakim.

Sumber Hukum :

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (WETBOEK VAN STRAFRECHT)

Referensi :

  1. Drs. P.A.F. Lamintang, SH “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung 
  2. Erdianto Effendi, 2011. HUKUM PIDANA INDONESIA Suatu Pengantar. PT Refika Aditama: Bandung. 
  3. Ikhtisar Ilmu Hukum, Prof. DR. H. Muchsin, S.H, Hal. 84 
  4. Asas Asas Hukum Pidana, Prof. Moeljatno, S.H., Hal. 1
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum-pidana
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum-pidana
  7. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum-pidana

Ilmu Pengetahuan Pembaharuan Aturan Pidana Di Indonesia

Pembaharuan Hukum Pidana Di IndonesiaPembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melaksanakan peninjauan dan pembentukan kembali ( reorientasi dan reformasi) aturan pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh lantaran itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam perjuangan pembaharuan aturan pidana Indonesia harus dilakukan biar aturan pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada aturan adat, aturan pidana positif ( kitab undang-undang hukum pidana ), aturan agama, aturan pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.

pada hakekatnya merupakan suatu upaya melaksanakan peninjauan dan pembentukan kembali  Ilmu Pengetahuan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia
Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia

Pembaharuan aturan khususnya aturan pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu:
  1. Pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi kitab undang-undang hukum pidana yang kini berlaku.
  2. Menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk menggantikan kitab undang-undang hukum pidana yang kini berlaku yang merupakan warisan kolonial.
Adapun alasan-alasan yang mendasari pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu :

1. Alasan yang bersifat politik

Adalah masuk akal bahwa negara Republik Indonesia mempunyai kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan pujian nasional yang Inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh lantaran itu kiprah dari pembentukan Undang-Undang ialah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

2. Alasan yang bersifat sosiologis

Suatu kitab undang-undang hukum pidana ialah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa, lantaran ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan perbuatan-perbuatan itu suatu hukuman yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk memilih perbuatan mana yang tidak boleh itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat wacana apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.

3. Alasan yang bersifat praktis

Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana sanggup disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak aturan yang memahami bahasa gila semakin sedikit.dilain pihak, terdapat aneka macam ragam terjemahan kitab undang-undang hukum pidana yang beredar. Sehingga sanggup dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan lantaran terjemahan yang kurang tepat.

kitab undang-undang hukum pidana nasional dimasa mendatang harus sanggup beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Jika ditinjau dari segi ilmu aturan pidana, pembaharuan kitab undang-undang hukum pidana (materi aturan pidana) sanggup dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti kepingan demi kepingan dari kodifikasi aturan pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.

Pembaharuan aturan pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat Undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar wangsit pembaharuan KUHP. kitab undang-undang hukum pidana yang masih berlaku ketika ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptkan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana gres yang sesuai dengan jiwa bangsa.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasal-pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana antara lain sebagai berikut:
a. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 wacana Peraturan Hukum Pidana. Dalam undang-undang ini diatur beberapa hal terkait dengan perjuangan pembaharuan aturan pidana, antara lain :
  • Mengubah kata-kata “Nederlandsch-Indie” dalam peraturan aturan pidana menjadi“Indonesia”.
  • Mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Strafrecht sebagai aturan pidana Indonesia dan sanggup disebut KUHP.
  • Perubahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana biar sesuai dengan kondisi bangsa yang merdeka dan tata pemerintahan yang berdaulat.
  • Kriminalisasi tindak pidana pemalisuan uang dan kabar bohong.
b. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1946 wacana Hukuman Tutupan. Dalam undang-undang ini ditambahkan jenis pidana pokok gres berupa pidana tutupan ke dalam Pasal 10 abjad a kitab undang-undang hukum pidana dan Pasal 6 abjad a kitab undang-undang hukum pidana Tentara.

c. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951 wacana Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi. Dengan undang-undang ini kitab undang-undang hukum pidana ditambahkan satu pasal, yaitu Pasal 512a wacana kejahatan praktek dokter tanpa izin.

d. Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958 wacana Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 wacana Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana. Dalam undang-undang ini diatur antara lain sebagai berikut :
  • Pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
  • Penambahan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu ;
  1. Pasal 52 a wacana pemberatan pidana (ditambah 1/3) kalau pada ketika melaksanakan kejahatan memakai bendera kebangsaan Republik Indonesia;
  2. Pasal 142 a wacana kejahatan menodai bendera kebangsaan negara sahabat; dan
  3. Pasal 154 a wacana kejahatan menodai bendera kebangsaan dan lambang negara Republik Indonesia.
e. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960 wacana Perubahan KUHP. Dengan undang-undang ini ancaman pidana pada Pasal 359, 360, dan 188 diubah, yaitu :
  • Pasal 359 wacana tindak pidana penghilangan nyawa lantaran kealpaan dipidana lebih berat dari pidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana kurungan maksimal 9 bulan menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun.
  • Pasal 360 wacana tindak pidana lantaran kesalahan mengakibatkan luka berat, sehingga mengakibatkan orang sakit sementara atau tidak sanggup menjalankan profesinya semula dipidana maksimal 9 bulan penjara atau kurungan maksimal 6 bulan atau denda maksimal Rp 300,-, dipisah menjadi dua ayat yaitu :
  1. Pasal 360 ayat (1) wacana tindak pidana perlukaan berat lantaran kealpaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun;
  2. Pasal 360 ayat (2) wacana tindak pidana perlukaan lantaran kealpaan sehingga mengakibatkan seseorang menjadi sakit sementara atau tidak sanggup menjalankan pekerjaan dipidana lebih berat menjadi pidana penjara maksimal 9 bulan atau pidana kurungan maksimal 6 bulan atau pidana denda maksimal Rp. 300,-.;
  3. Pasal 188 wacana tindak pidana kebakaran, peletusan, atau banjir yang membahayakan umum atau mengakibatkan matinya orang lain lantaran kealpaan dipidana lebih ringan yaitu pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1tahun atau pidana denda maksimal Rp. 300,-.
f. Undang Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 wacana Beberapa Perubahan dalam KUHP. Dengan undang-undang ini, kata “vijf en twintig gulden” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, dan 407 ayat (1) diubah menjadi Rp. 250,- (1).

g. Undang Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 wacana Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam kitab undang-undang hukum pidana dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945. Dengan undang-undang ini maka eksekusi denda yang ada dalam kitab undang-undang hukum pidana maupun dalam ketentuan pidana yang dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945 harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali.

h. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1965 wacana Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dengan undang-undang ini, Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditambahkan pasal baru, yaitu Pasal 156a yang berbunyi :
"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melaksanakan perbuatan" :
  • Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
  • Dengan maksud biar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
i. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974 wacana Penerbitan Perjudian. Dengan undang-undang ini diatur beberapa perubahan beberapa pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana perjudian, yaitu :
  • Semua tindak pidana perjudian dianggap sebagai kejahatan. Dengan ketentuan ini, maka Pasal 542 wacana tindak pidana pelanggaran perjudian yang diatur dalam Buku III wacana Pelanggaran dimasukkan dalam Buku II wacana Kejahatan dan ditempatkan dalam Buku II sesudah Pasal 303 dengan sebutan Pasal 303 bis;
  • Memperberat ancaman pidana bagi pelaku bandar perjudian dalam Pasal 303 ayat (1) kitab undang-undang hukum pidana dari pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda maksimal Rp. 90.000,- menjadi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 25.000.000,-. Di samping pidana dipertinggi jumlahnya (2 tahun 8 bulan menjadi 10 tahun dan Rp. 90.000,- menjadi Rp. 25.000.000,-) hukuman pidana juga diubah dari bersifat alternatif penjara atau denda) menjadi bersifat kumulatif (penjara dan denda);
  • Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (1) wacana perjudian dalam kitab undang-undang hukum pidana dari pidana kurungan maksimal 1 bulan atau denda maksimal Rp. 4.500,- penjara maksimal 4 tahun atau denda maksimal Rp. 10.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (1);
  • Memperberat ancaman pidana dalam Pasal 542 ayat (2) wacana residive perjudian dalam kitab undang-undang hukum pidana dari pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,- menjadi pidana penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp. 15.000.000,-. Pasal ini kemudian menjadi Pasal 303 bis ayat (2).
j. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976 wacana Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan :
  •  Memperluas ketentuan berlakunya aturan pidana berdasarkan daerah yang diatur dalam Pasal 3 
          dan 4 kitab undang-undang hukum pidana menjadi berbunyi :
  1. Pasal 3, Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melaksanakan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
  2. Pasal 4, Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal 438, 444 hingga dengan Pasal 446 wacana pembajakan bahari dan Pasal 447 wacana penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak bahari dan Pasal 479 hutrf j wacana penguasaan pesawat
  3. udara secara melawan hukum, Pasal 479 abjad l, m, n, o wacana kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
  • Menambah Pasal 95a wacana arti pesawat udara Indonesia, 95b wacana arti penerbangan, dan 95c wacana arti dalam dinas.
  • Setelah Bab XXIX kitab undang-undang hukum pidana wacana Kejahatan Pelayaran ditambahkan kepingan gres yaitu Bab XXIX A wacana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Dalam  bab gres ini terdapat 28 pasal gres yaitu Pasal 479a-479r.
k. Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 wacana Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Dalam undang-undang ini ditambahkan 6 pasal gres wacana kejahatan terhadap keamanan negara yaitu Pasal 107 a-f. Pelaksanaan pidana mati yang berdasarkan Pasal 11 dilaksanakan di tiap gantungan telah diubah dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 wacana Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Eksekusi pidana mati berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 yang kemudian dijadikan UU Nomor 2/PnPs/1964 dilaksanakan dengan cara ditembak.
Di samping adanya beberapa perundang-undangan yang merubah kitab undang-undang hukum pidana di atas, terdapat juga beberapa perundang-undangan di luar kitab undang-undang hukum pidana yang mengatur wacana pidana. Di antaranya ialah tindak pidana ekonomi (diatur dalam UU Nomor 7 Drt Tahun 1951 wacana Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi), tindak pidana korupsi (diatur dalam UU Nomor 3 tahun 1971 kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001), tindak pidana narkotika (diatur dengan UU Nomor 22 Tahun 1997), tindak pidana psikotropika (diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1997), tindak pidana lingkungan hidup (diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1997), tindak pidana pembersihan uang (diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2003), tindak pidana terorisme (diatur dengan UU Nomor 15 Tahun 2003), dan lain sebagainya.

Sumber Hukum :

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana,
  3. Undang Undang Nomor 20 Tahun 1946 Tentang Hukuman Tutupan,
  4. Undang Undang Nomor 8 Tahun 1951 Tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin Kepada Dokter dan Dokter Gigi,
  5. Undang Undang Nomor 73 Tahun 1958 wacana Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana,
  6. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1960 Tentang Perubahan KUHP,
  7. Undang Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 Tentang Beberapa Perubahan Dalam KUHP,
  8. Undang Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 Tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam kitab undang-undang hukum pidana dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945,
  9. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama,
  10. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penerbitan Perjudian,
  11. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan,
  12. Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara,
  13. Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 Tentang Pelaksanaan Pidana Mati di Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum,
  14. UU Nomor 2/PnPs/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer [UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969].

Referensi :

  1. Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.
  2. Aruan Sakijo & Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
  3. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1992. Hlm 114.
  4. Prof. Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana. Hal. 1
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana

Ilmu Pengetahuan Pembagian Terstruktur Mengenai Aturan Pidana

By Sugi Arto

Menurut sifatnya, aturan sanggup digolongkan 2 bentuk sifatnya, yaitu sebagai berikut:
  1. Hukum yang memaksa yaitu aturan yang dalam keadaan bagaimana pun juga harus danmempunyai paksaan mutlak. Contoh: aturan pidana
  2. Hukum yang mengatur yaitu aturan yang sanggup dikesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah menciptakan peraturan sendiri dalam suatu perjanjian. Contoh: aturan dagang.

Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan aturan pidana dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”.

Hukum yang memaksa yaitu aturan yang dalam keadaan bagaimana pun juga harus danmempunyai p Ilmu Pengetahuan Klasifikasi Hukum Pidana
Klasifikasi Hukum Pidana

Hukum pidana sanggup dikelompokkan menurut :

1. Hukum Pidana Obyektif


Hukum Pidana dalam arti obyektif terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
  1. Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang memilih perbuatan-perbuatan kriminal yang tidak boleh oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bab dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, menyerupai Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
  2. Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya aturan materiil dibutuhkan aturan acara. Hukum program merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara biar aturan (materil) itu terwujud atau sanggup diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa aturan program maka tidak ada manfaat aturan materiil. Untuk menegakkan ketentuan aturan pidana dibutuhkan aturan program pidana, untuk aturan perdata maka ada aturan program perdata. Hukum program ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.

Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari mekanisme pelaksanaannya semenjak waktu terjadinya pidana hingga penetapan aturan atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan aturan yang tumbuh dari mekanisme tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”. Dari sini, terang bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
  1. Dakwa Pidana, semenjak waktu terjadinya tindak pidana hingga berakhirnya aturan atasnya dengan bermacam-macam tingkatannya.
  2. Dakwa Perdata, yang sering terjadi akhir dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
  3. Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, lantaran sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan lantaran terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh alasannya yaitu itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, lantaran harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan kalau memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para andal telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.

2. Hukum Pidana Subyektif


Hukum Pidana Subyektif yaitu hak yang dimiliki penguasa untuk memberi pidana terhadap pelaku tindak pidana sanggup diatur dalam undang-undang. Hukum Pidana dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melaksanakan perbuatan yang dilarang”.

3. Ruang Lingkup


  1. Hukum Pidana Umum, yakni aturan pidana yang berlaku umum, berlaku untuk semua warga negara. Contoh : KUHPidana, dan
  2. Hukum Pidana Khusus, yakni aturan pidana yang berlaku khusus atau berlaku hanya untuk golongan tertentu. Contoh : aturan pidana untuk militer.

4. Tempat berlakunya


  1. Hukum Pidana Umum, yaitu aturan pidana yang berlaku secara nasional, dan
  2. Hukum Pidana Khusus, yaitu aturan pidana yang berlaku di kawasan / lokal.

5. Sumbernya


  • Hukum Pidana Umum, yakni aturan pidana yang semua ketentuan bersumber pada aturan pidana yang telah dibukukan / dikodifikasi,
  • Hukum Pidana Khusus, yakni aturan pidana yang bersumber pada undang-undang di luar dari yang telah dikodifikasikan. Jenis ini masih dibedakan lagi menjadi dua yaitu sebagai berikut :
  1. hukum yang hanya mengatur wacana pidana. Contoh : UU wacana KUHPidana,
  2. hukum yang tidak mengatur wacana pidana, tetapi di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan pidana. Contoh : UU wacana Hukum Perlindungan Anak, di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan pidana.

 

Dasar hukum:


Kitab Undang Undang Hukum Pidana

Ilmu Pengetahuan Sistem Eksekusi Aturan Pidana

Sistem Hukuman Hukum Pidana - Hukum pidana termasuk pada ranah aturan publik. Hukum pidana adalah aturan yang mengatur kekerabatan antar subjek aturan dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan tidak boleh oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya hukuman berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.

Dalam aturan pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran.
  1. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapat hukuman berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya.
  2. Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya tidak boleh oleh peraturan perundangan namun tidak memperlihatkan efek yang tidak kuat secara eksklusif kepada orang lain, menyerupai tidak memakai helm, tidak memakai sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.
adalah aturan yang mengatur kekerabatan antar subjek aturan dalam hal perbuatan  Ilmu Pengetahuan Sistem Hukuman Hukum Pidana
Sistem Hukuman Hukum Pidana

A. Landasan Yuridis Hukuman

Mengenai landasan yuridis hukuman dan bentuk-bentuknya telah dijelaskan dalam buku I kitab undang-undang hukum pidana Bab ke-2 dari Pasal 10 hingga Pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan yaitu :
  1. Reglemen penjara (Stb 1917 No. 708) dan telah diubah dengan LN 1948 No. 77;
  2. Ordonasi pelepasan bersyarat (Stb 1917 No. 749);
  3. Reglemen pendidikan paksaan (Stb 1917 741);
  4. UU No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan.

B. Bentuk-bentuk Hukuman

Bentuk-bentuk hukuman intinya telah diatur dalam buku 1 kitab undang-undang hukum pidana Bab ke-2 dimulai dari Pasal 10 hingga dengan Pasal 43.

kitab undang-undang hukum pidana sebagai induk atau sumber utama aturan pidana telah merinci dan merumuskan perihal bentuk-bentuk pidana yang berlaku di Indonesia. Bentuk-bentuk pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana disebutkan dalam Pasal 10 KUHP. Dalam kitab undang-undang hukum pidana pidana dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: pertama, pidana pokok dan kedua, pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari (Hoofd Straffen):
  1. Pidana mati
  2. Pidana penjara
  3. Pidanan kurungan
  4. Pidana denda
Adapun pidana pemanis terdiri dari (Bijkomende Straffen):
  1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu
  2. Pidana perampasan barang-barang tertentu
  3. Pidana pengumuman keputusan hakim.
Di atas telah disebutkan bahwa dalam kitab undang-undang hukum pidana pidana dibedakan menjadi dua yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, sedangkan perbedaan antara kedua yaitu :
  • Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana pemanis sifatnya fakultatif. Panjatuhan jenis pidana bersifat keharusan berarti apabila seseorang telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, maka seorang hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan penjatuhan tindak pidana pemanis bersifat fakultatif maksudnya yakni hukuman pemanis ini hanya sanggup dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok, dan penjatuhan hukuman pemanis bersifat fakultatif, artinya hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan hukuman pemanis (hakim boleh memilih).
  • Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan menjatuhkan pidana pemanis (berdiri sendiri), sedangkan menjatuhkan pidana pemanis tidak diperbolehkan tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Dalam hal ini telah terang bahwa pidana pemanis tidak sanggup dijatuhkan kecuali sehabis adanya penjatuhan pidana pokok, artinya pidana pokok sanggup bangkit sendiri sedangkan pidana pemanis tidak sanggup bangkit sendiri.

C. Karakter Hukuman dalam kitab undang-undang hukum pidana dan Hukum Pidana Indonesia serta Tata Cara Penjatuhan Hukuman

1. Pidana Mati

Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam kitab undang-undang hukum pidana Bab 2 Pasal 10 alasannya yakni pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan andal aturan ataupun masyarakat itu sendiri.

Sebagian orang beropini bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa beliau yakni orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh alasannya yakni itu untuk menghentikan kejahatannya diperlukan suatu aturan yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak terang bahwa secara tidak eksklusif tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammeladalah benar yaitu untuk membinasakan.

Pendapat yang yang lain menyampaikan bahwa hukuman mati bantu-membantu tidak perlu, alasannya yakni memiliki kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak sanggup memperlihatkan keinginan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana yakni untuk mendidik ataupun memperlihatkan rasa jera biar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.

Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai biar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melaksanakan perbuatan-perbuatan kejam.

Karena menyadari akan beratnya pidana mati di negeri Belanda sendiri pidana mati telah dihapuskan dari WvS-nya, kecuali masih dipertahankannya dalam pidana militer. Walaupun di Indonesia masih diberlakukannya pidana mati akan tetapi dalam kitab undang-undang hukum pidana sendiri telah memperlihatkan kode bahwa pidana mati tidak gampang untuk dijatuhkan, menjatuhkan pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah.

Isyarat yang diberikan oleh kitab undang-undang hukum pidana biar pidana mati tidak terlalu gampang dan sering dijatuhkan yaitu dengan cara bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam degan pidana mati selalu diancamkan pula pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu sekurang-kurangnya 20 tahun penjara. Misalnya: dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 365 ayat (4), Pasal 340 dan lain-lain.

Penulis Jonkers mengatakan bahwa berdasarkan surat klarifikasi atas rancangan kitab undang-undang hukum pidana Indonesia, ada empat golongan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, yaitu:
  1. Kejahatan-kejahatan yang sanggup mengancam keamanan negara (104, 111 (2), 102 (3) jo 129);
  2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat (140 (3), 340);
  3. Kejahatan terhadap harta benda dan disertai unsur atau faktor yang sangat memberatkan (365 (4), 368 (2));
  4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (444)
Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.

Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku semenjak tanggal 25 agustus 1945. Pasal satu aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa perihal hal ini yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal dilakukan dengan cara menembak mati”. untuk ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.

Berdasarkan keterangan tersebut di atas sanggup disimpulkan bahwa hukuman hukuman mati di Indonesia yang berlaku ketika ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.

Beberapa ketentuan terpenting dalam pelaksanaan pidana mati yakni sebagai berikut:
  • Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;
  • Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
  • Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di tempat aturan pengadilan aturan pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
  • Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya;
  • Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi;
  • Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
  • Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
  • Penguburan mayat diserahkan pada keluarga;
  • Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus menciptakan isu program pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.

2. Pidana Penjara

Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu dengan menempatkan terpidana dalam sutu tempat (lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak sanggup bebas untuk keluar masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman penjara minimum 1 hari dan maksimum 15 tahun (Pasal 12 ayat (2)), dan sanggup melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 12 (3).

Dalam hal menjalani pidana penjara dilembaga pemasyarakatan, narapidana wajib menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan kepadanya berdasarkan ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Pasal 29 KUHP.

Kewajiban bekerja bagi narapidana penjara sanggup juga dilakukan diluar forum pemasyarakatan, kecuali bagi narapidana tertentu yang telah dijelaskan di dalam Pasal 25 KUHP.

Menurut Pasal 13 kitab undang-undang hukum pidana nara pidana penjara terbagi dalam beberapa kelas, pembagian tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 49 peraturan kepenjaraan, yaitu:
  • Kelas I yaitu : bagi narapidana yang dipenjara seumur hidup dan narapidana sementara yang membahayakan orang lain;
  • Kelas II yaitu :
  1. Bagi narapidana yang dipenjara dengan hukuman lebih dari tiga bulan yang tidak termasuk kelas 1 tesebut di atas;
  2. Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikkan dari kelas pertama, bagi narapidana kelas 1 kalau kemudian ternyata berkelakuan baik maka ia sanggup dinaikkan ke kelas 2;
  3. Bagi narapidana yang dipidana sementara yang alasannya yakni alasan-alasan pelanggaran tertentu, ia sanggup diturunkan menjadi kelas II dari kelas III;
  • Narapidana kelas III, yaitu: bagi narapidana yang dipidana sementara yang telah dinaikkan dari kelas I dikarenakan telah terbukti berkelakuan baik. Menurut pasal 55 peraturan penjara, bagi narapidana yang demikian sanggup diberikan pelepasan bersyarat (pasal 15), apabila ia telah menjalani 1/3 atau paling sedikit sembilan bulan dari pidana yang dijatuhkan oleh hakim.
  • Kelas IV yaitu: bagi narapidana yang dipidana penjara sementara paling tingggi lima bulan.
Dalam aturan pidana dikenal 3 sistem aturan penjara, yaitu :
  • Sistem Pennsylvania (suatu negara kepingan dari Amerika Serikat) yaitu sistem yang menghendaki para hukuman terus-terusan ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar;
  • Sistem Auburne (suatu kota dalam negara kepingan New York di Amerika Serikat), yaitu yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari disuruh bersama-sama untuk bekerja, tetapi tidak boleh berbicara;
  • Sistem Irlandia, yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup secara terus menerus, kemudian dikerjakan bersama-sama dan tahap demi tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada jadinya sehabis tiga perempat dari lamanya hukuman sudah lampau dimerdekakan dengan syarat.
Sedangkan untuk sistem hukuman yang diterapkan di Indonesia yakni dengan cara menggabungkan ketiganya, yaitu biasanya beberapa orang hukuman dikumpulkan dalam satu ruangan, tetapi ada juga seorang tahanan yang badung dipisahkan sendiri dalam satu kamar.

3. Pidana Kurungan

Hukuman kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Lebih ringan antara lain dalam hal melaksanakan pekerjaan yang diwajibkan dan dalam hal membawa peralatan. Hukuman kurungan sanggup dilaksanakan dengan batasan paling sedikit 1 hari dan paling usang 1 tahun.

Persamaan dan perbedaan antara pidana penjara dan pidana kurungan, yaitu :

Persamaan:
  • Sama berupa pidana yaitu sama-sama menghilangkan kemerdekaan bergerak.
  • Mangenal maksimum umum, maksimum khusus dan minimum umum dan tidak mengenal minimum khusus.
  • Sama-sama diwajibkan untuk bekerja,
  • Sama-sama bertempat di penjara.
Perbedaan:
  • Lebih ringan pidana kurungan daripada pidana penjara (Pasal 69 KUHP)
  • Ancaman maksimum umum dari pidana penjara 15 tahun sedangkan pidana kurungan hanya 1 tahun
  • Pelaksanaan pidana penjara sanggup dilakukan di forum permasyarakatan di seluruh Indonesia, sedangkan pidana kurungan hanya sanggup dilaksanakan di tempat dimana ia berdiam ketika diadakan keputusan hakim.

4. Pidana Denda

Hukuman utama ke empat yang disebutkan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 10 yakni pidana denda. Pidana denda di ancamkan pada banyak jenis pelanggaran (buku III) baik secara alternatif maupun bangkit sendiri. Begitu juga terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan culpa, pidana denda sering di ancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan.

Dalam prakteknya pidana denda jarang sekali dilaksanakan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara kalau pidana itu hanya dijadikan sebagai alternatif saja, kecuali apabila tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana kurungan.

Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya, yang ada hanyalah minimum umum yang berdasarkan pasal 30 ayat (1) yakni tiga puluh juta rupiah tujuh puluh lima sen.

Apabila terpidana tidak membayarkan uang denda yang telah diputuskan maka konsekuensinya yakni harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat (2)) sebagai pengganti dari pidana denda.

Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu hingga habis waktu untuk membayar denda, akan tetapi bila kemudian ia membayar denda ketika itu demi aturan ia haru dilepaskan dari kurungan penggantinya.

Sedangkan untuk batas pembayaran denda telah ditetapkan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 27 ayat (1). Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal terdapat alasan kuat jangka waktu sebagai mana tersebut di atas sanggup diperpanjang paling usang 1 bulan. Dan perlu diketahui dalam hal uang denda yang dibayar oleh terpidana menjadi hak milik Negara (Pasal 24).

Sedangkan untuk pidana pemanis penjelasannya sebagai berikut :

1. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Pencabutan seluruh hak yang dimiliki seseorang yang sanggup menimbulkan kematian perdata tidak diperbolehkan (Pasal 3 BW). Dalam pidana pencabutan hak-hak terhadap terpidana berdasarkan Pasal 35 ayat 1 kitab undang-undang hukum pidana hanya dierbolehkan pada hal-hal sebagai berikut:
  • Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
  • Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
  • Hak menentukan dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
  • Hak menjadi penasihat umum atau pengurus atau penetapan keadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri;
  • Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
  • Hak menjalankan mata pencaharian.
Pada perampasan hak memegang jabatan dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seseorang pejabat dari jabatannya, kalau dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk melaksanakan pemecatan tersebut.

Dan perlu diketahui bahwa sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup. Ketentuan mengenai batas waktu pencabutan hak-hak tertentu terpidana lebih lanjut dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 38.

Perlu diketahui juga bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh UU yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam Pasal: 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375.

2. Pidana Perampasan Barang Tertentu

Hukuman pemanis kedua, berdasarkan Pasal 39 berupa perampasan barang-barang milik terhukum dan tidak diperkenankan untuk merampas semua barang milik terhukum.

Ada dua jenis barang yang sanggup dirampas melalui putusan hakim, yaitu berupa barang-barang milik terhukum, meliputi: a) barang yang diperoleh dengan kejahatan, b) yang dipergunakan untuk melaksanakan kejahatan, dan untuk lebih jelasnya hal tersebut telah dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 39.

Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), contohnya pada Pasal 250 bis, 362, 275.

Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara , dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada ketika putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.

Pada ketentuan pertama berarti hukuman terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum berdasarkan peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan kas negara (42).

Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada pasal 41 yaitu terpidana boleh menentukan apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu diantara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan dalam kitab undang-undang hukum pidana Pasal 30 ayat (2).

3. Pidana Pengumuman Putusan Hakim

Pidana putusan hakim hanya sanggup dijatuhkan dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya: Pasal 128, 206, 361, 377, 395, 405.

Seperti yang kita ketahui bahwa putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.

Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seorang dari pengadilan pidana. Makara dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut.

Adapun maksud dari pengumuman putusan hakim tersebut yakni sebagai perjuangan preventif untuk memberitahukan kepada masyarakat umum biar berhati-hati dalam bergaul dan bekerjasama dengan orang-orang yang sanggup disangka tidak jujur sehingga tidak menjadi korban dari kejahatan tersebut.

Sumber Hukum :

  1. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (WETBOEK VAN STRAFRECHT)
  2. [UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969] Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer

Referensi :

  1. Drs. P.A.F. Lamintang, SH “Dasar-Dasar Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti, Bandung
  2. Prof. Muljatno, SH “Asas-Asas Hukum Pidana”
  3. Dr. Andi Hamzah, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
  4. Drs. Adam Chazami SH, “Pelajaran Hukum Pidana 1”
  5. Drs. Adam Chazami, “Pelajaran Hukum Pidana 2”.
  6. Prof. Dr.Wirjono. P, SH, “Asas-Asas Hukum Pidana”
  7. D. Scaffmester, dkk “ Hukum Pidana”
  8. Prof. Dr. Barda Nawawi, SH “Kapita Silekta Hukum Pidana”
  9. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana
  10. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana
  11. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=ilmu-hukum-pidana