Showing posts sorted by date for query pengertian-tindak-pidana-unsur-unsur. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query pengertian-tindak-pidana-unsur-unsur. Sort by relevance Show all posts

Ilmu Pengetahuan Debt Collector Tarik Paksa Motor/Mobil, Sanggup Dipenjara 12 Tahun

Hukum Dan Undang Undang, SEMARANG Kasus penarikan secara paksa kendaraan bermotor yang dilakukan oleh debt collector sanggup dikategorikan sebagai tindak pidana. Masalahnya, kasus tersebut masih kerap terjadi di Kota Semarang Serta di kota lain.

Saat Dikonfirmasi, Kapolsek Gayamsari Kompol Dili Yanto menilai penarikan paksa kendaraan bermotor yang dilakukan oleh debt collector tidaklah diperbolehkan. Menurut dia, terkait mekanisme penarikan kendaraan bermotor tersebut sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/PMK.010/ 2012 ihwal registrasi Fidusia bagi perusahaan pembiayaan.

 Kasus penarikan secara paksa kendaraan bermotor yang dilakukan oleh debt collector sanggup d Ilmu Pengetahuan Debt Collector Tarik Paksa Motor/Mobil, Dapat Dipenjara 12 Tahun
Para Debt Collector yang mendengarkan pengarahan dan training dariKapolsek Gayamsari Kompol Dili Yanto
“Kasus penyitaan hanya boleh dilakukan oleh pihak pengadilan. Dengan peraturan Fidusia tersebut, pihak leasing atau kreditur dihentikan meminta paksa melalui jasa debt collector,” kata Dili, di sela razia debt collector yang biasa mangkal di tempat Citarum dan Jalan Kartini, Selasa (12/4).

Setelah di klarifikasi, kata Dili, ketika dilakukan penyitaan oleh pihak pengadilan, pihak pengadilan menawarkan denda kekurangan pembayaan kredit motor tersebut. Dia menambahkan, apabila masih ada debt collector yang mengambil paksa kendaraan bermotor di jalan, mereka sanggup dikenakan pasal 365 kitab undang-undang hukum pidana ihwal perampasan.

“Meminta paksa kendaraan bermotor di jalan merupakan tindak pidana kekerasan atau perampasan, mereka sanggup diancam pasal 365 kitab undang-undang hukum pidana dengan eksekusi 12 tahun penjara,” tandasnya.

Dalam razia yang digelar, sebanyak delapan debt collector berhasil diamankan petugas Polsek Gayamsari. Mereka selanjutnya akan diberi training dan pengarahan, bila kedapatan nama atau orang yang sama dikemudian hari, maka polisi akan memproses secara hukum. (MS)

Ulasan Hukum dan Pidana Debt Collector, Merampas Motor/ Mobil Kredit Laporkan Pasal Pencurian, Penipuaan dan Perampasan.

Karena seringnya kita mendapat pengaduan dari konsumen ihwal kelakuan debt collector yang beroperasi di jalan dengan seenaknya sendiri.

Maka, kita menyajikan ulasan Hukum dan Pidana Debt Collector, Merampas Motor/ Mobil Kredit Laporkan Pasal Pencurian, Penipuaan dan Perampasan.

Menyita kendaraan nasabah kredit macet dan tidak peduli bahwa problem utang piutang merupakan kasus perdata sanggup diselesaikan lewat pengadilan perdata.

Maraknya kasus pemaksaan dan penganiayaan oleh debt collector terhadap konsumen yang mengalami kredit macet terkait pembelian motor maupun kendaraan beroda empat yang dilakukan dengan cara mengangsur/ mencicil.

Penarikan atau perampasan motor kreditan tidak hanya terjadi di rumah-rumah nasabah. dan tidak jarang debt collector bertindak sebagai pelaku kejahatan laksana “begal” yang merampas kendaraan kredit ketika dikendarai nasabah di jalanan. Akibatnya, tidak salah bila korban meneriaki “perampok” Maling, terhadap debt collector yang kerap bertindak berangasan melaksanakan perampasan sesudah menyetop korban ketika mengendarai motor atau kendaraan beroda empat di jalan bebas.

Info Kepolisian yang memperingatkan melalui akun media umum facebook Humas Polres Jakbar, rupanya, mencerahkan para konsumen kredit kendaraan yang senantiasa diancam para debt collector atau tukang tagih resmi maupun jasa tukang tagih bayaran kalangan leasing. Disebutkan bahwa pihak leasing dihentikan mengambil motor, kendaraan beroda empat maupun rumah apabila konsumen mengalami telat atau gagal membayar kredit.

Hal ini bukan tanpa alasan, alasannya semenjak tahun 2012 telah dibentuk Peraturan Menteri Keuangan bagi perusahaan pembiayaan pihak leasing tidak sanggup mengambil kendaraan secara paksa.

Pihak Kreditur (Leasing) tidak berhak mengambil motor/ mobil/di rumah dengan seenaknya sendiri.

Jika motor/mobil anda akan ditarik secara paksa oleh perusahaan leasing alasannya telat atau gagal membayar cicilan bulanan. Anda tak perlu khawatir, semenjak tahun 2012, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan peraturan yang melarang leasing atau perusahaan pembiayaan untuk menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yang menunggak kredit kendaraan.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/PMK.010/ 2012 ihwal registrasi Fidusia bagi perusahaan pembiayaan yang dikeluarkan tanggal 7 Oktober 2012. Akan tetapi, bukan berarti nasabah sanggup bebas dari beban angsuran/ cicilan.

Dengan adanya peraturan Fidusia tersebut, pihak leasing memang tidak sanggup mengambil kendaraan Anda secara paksa, tapi hal tersebut akan diselesaikan secara hukum. Artinya, kasus Anda akan disidangkan, dan pengadilan akan mengeluarkan surat keputusan untuk menyita kendaraan Anda. Dengan demikian, kendaraan Anda akan dilelang oleh pengadilan, dan uang hasil penjualan kendaraan melalui lelang tersebut akan dipakai untuk membayar utang kredit Anda ke perusahaan leasing, kemudian uang sisanya akan diberikan kepada Anda.

Tindakan Leasing melalui Debt Collector/Mata lelang yang mengambil secara paksa kendaraan dirumah, merupakan tindak pidana Pencurian. Bila pengambilan Motor dilakukan oleh Depkolektor dijalan' maka hal itu merupakan perbuatan yang melanggar hukum, tindak pidana yakni Perampasan sanggup dijerat pasal 365 kitab undang-undang hukum pidana ihwal perampasan.

Demikian supaya bermanfaat guna menegakkan supremasi aturan yang benar sesuai dengan Visi dan Misi NGO HDIS.

Supriyanto alias Pria Sakti Pimpinan Pusat NGO HDIS/ Jejak Kasus, Menuturkan :

Pengertian Pencurian berdasarkan aturan beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KHUP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam alasannya pencurian, dengan pidana penjara paling usang 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah".

Pasal 363 kitab undang-undang hukum pidana :
(1) Diancam dengan Pidana paling usang tujuh tahun:
  • Pencurian Ternak;
  • Pencurian pada waktu terjadi kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal tedampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahay perang;
  • Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa diketahui atau tanpa dikehendaki oleh yang berhak;
  • Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
  • Pencurian yang untuk masuk ke tempat melaksanakan kejahatan, atau untuk sanggup mengambil barang yang hendak dicuri itu, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan menggunakan anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Bila pencurian tersebut dalam nomor 3o disertai dengan salah satu hal dalam nomor 4o dan 5o, maka perbuatan itu diancam dengan pidana penjara paling usang sembilan tahun.

Pasal 365 kitab undang-undang hukum pidana :
  1. Diancam dengan pidana paling usang sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau bahaya kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau bila tertangkap tangan, untuk memungkinkan diri sendiri atau penerima lainnya untuk melarikan diri, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
  2. Diancam dengan pidana penjara paling usang dua belas tahun.
Perampasan sendiri diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang mengatakan: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau bahaya kekerasan, untuk menawarkan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian ialah kepunyaan orang itu atau orang lain; atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam, alasannya pemerasan, dengan pidana penjara paling usang sembilan tahun.”

Berdasarkan pasal tersebut, maka untuk sanggup dikatakan seseorang dianggap melaksanakan perampasan, harus memenuhi beberapa unsur yaitu :
  1. Ada maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
  2. Maksud tersebut dilakukan dengan melawan hukum;
  3. Dengan memaksa seseorang baik dengan kekerasan maupun bahaya kekerasan untuk menawarkan sesuatu milik orang yang diancam atau milik orang lain, atau untuk menawarkan hutang, atau untuk menghapuskan piutang.
Anda menawarkan Motor/ kendaraan beroda empat alasannya bahaya kekerasan, perbuatan tersebut sanggup dianggap sebagai perampasan.

Mengenai penipuan diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang berbunyi: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan aturan dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, alasannya penipuan, dengan pidana penjara paling usang empat tahun.”

Berdasarkan pasal di atas, untuk dikatakan sebagai penipuan, maka harus memenuhi beberapa unsur di bawah ini, yaitu:
  1. Ada maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
  2. Maksud tersebut dicapai dengan melawan hukum;
  3. Dilakukan dengan cara tipu kebijaksanaan kancil atau dengan rangkaian kebohongan sehingga orang yang ditipu menyerahkan barang tersebut kepada yang melaksanakan penipuan atau menawarkan utang atau menghapuskan piutang, yang apabila orang tersebut mengetahui kenyataan yang sebenarnya, ia tidak akan melaksanakan hal-hal tersebut.(SA)

Sumber : 

  • Kitab Undang Undang Hukum Pidana 
  • Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.130/PMK.010/ 2012 Tentang registrasi Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang dikeluarkan tanggal 7 Oktober 2012.
  • https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana-unsur-unsur
  • http://www.liputanindonesia.co.id
  • http://www.jejakkasus.info

Ilmu Pengetahuan Polisi Cabul Yang Tukar Barang Tilang Dengan Bercinta Kena Hukuman Bahaya Pemecatan Melalui Sidang Aba-Aba Etik

Hukum Dan Undang Undang, Jawa Timur KASUS tukar barang denda tilang dengan relasi intim yang diduga dilakukan oleh oknum polantas Polresta Batu terhadap seorang wanita beberapa waktu lalu, mulai disidangkan.

Brigadir EN kemarin diseret ke meja sidang etik di Polda Jatim. Ancaman pemecatan menanti karena dianggap mencoreng institusi Polri.

Sidang etik tersebut berlangsung tertutup. Petugas Propam membacakan dakwaannya terkait dengan masalah yang diduga dilakukan Brigadir EN di sebuah pos polisi di Kota Batu.

"Sekalian semua saksi-saksinya dihadirkan," kata Kabidhumas Polda Jatim Kombespol R.P Argo Yuwono. 

 KASUS tukar barang denda tilang dengan relasi intim yang diduga dilakukan oleh oknum polantas Ilmu Pengetahuan Polisi Cabul Yang Barter Tilang Dengan Bercinta Kena Sanksi Ancaman Pemecatan Melalui Sidang Kode Etik
Mediasi korban dengan pihak Polres Baru Kamis (9/6). Polisi Cabul Brigadir EN Yang Barter Tilang Dengan Bercinta Kena Sanksi Ancaman Pemecatan Melalui Sidang Kode Etik
Dia mengatakan, masalah tersebut tidak melalui proses penyidikan petugas propam. Tapi eksklusif disidangkan oleh Pengawasan Profesi (waprof). Hal itu dilakukan alasannya ialah masalah tersebut sudah sangat terperinci sehingga tidak perlu mencari bukti-bukti lagi.

Argo mengatakan, hasil dari sidang aba-aba etik itu ialah hukuman. Paling berat ialah pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Salah satunya ialah perbuatan yang mencoreng institusi Polri. Ditanya apakah perbuatan Brigadir EN menyerupai yang dimaksud, Argo menjawab diplomatis. "Ya nanti terserah hakimnya," ucap Argo.

Seperti diberitakan, Brigadir EN dilaporkan alasannya ialah mengajak bercinta sebagai tukar barang atas pelanggaran kemudian lintas yang dilakukan siswi SMK. Tawaran itu dilakukan di pos polisi Kota Batu. Kasus itu terungkap sesudah korban berani mengadukan ke Propam. (eko/ami) 

Ulasan Apabila Anggota Polisi Melakukan Suatu Tindak Pidana, Sidang Etik atau Peradilan Umum Yang Terlebih Dahulu

Sidang KKEP terkait tindak pidana dilakukan sesudah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum hingga dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan aturan tetap.

Perlu diketahui bahwa intinya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia itu tunduk pada kekuasaan peradilan umum menyerupai halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 perihal Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”). Hal ini menunjukkan bahwa anggota Kepolisian RI (“Polri”) merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek aturan militer.

Namun, alasannya ialah profesinya, anggota Polisi Republik Indonesia juga tunduk pada Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 perihal Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”). Sedangkan, aba-aba etik kepolisian diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 perihal Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”).

Pada dasarnya, Polisi Republik Indonesia harus menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 3 aksara c PP 2/2003) dan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berafiliasi dengan kiprah kedinasan maupun yang berlaku secara umum (Pasal 3 aksara g PP 2/2003). Dengan melaksanakan tindak pidana, ini berarti Polisi Republik Indonesia melanggar peraturan disiplin.

Pelanggaran Peraturan Disiplin ialah ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin (Pasal 1 angka 4 PP 2/2003). Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melaksanakan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi hukuman berupa tindakan disiplin dan/atau eksekusi disiplin (Pasal 7 PP 2/2003).

Tindakan disiplin berupa teguran ekspresi dan/atau tindakan fisik (Pasal 8 ayat (1) PP 2/2003). Tindakan disiplin tersebut tidak menghapus kewenangan Atasan yang berhak menghukum (“Ankum”) untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin.

Adapun eksekusi disiplin tersebut berupa [Pasal 9 PP 2/2003] :
  1. teguran tertulis;
  2. penundaan mengikuti pendidikan paling usang 1 (satu) tahun;
  3. penundaan kenaikan honor berkala;
  4. penundaan kenaikan pangkat untuk paling usang 1 (satu) tahun;
  5. mutasi yang bersifat demosi;
  6. pembebasan dari jabatan;
  7. penempatan dalam kawasan khusus paling usang 21 (dua puluh satu) hari.
Untuk pelanggaran disiplin Polri, penjatuhan eksekusi disiplin diputuskan dalam sidang disiplin [lihat Pasal 14 ayat (2) PP 2/2003].

Jadi, kalau polisi melaksanakan tindak pidana misalkan pemerkosaan, penganiyaan, dan pembunuhan (penembakan) terhadap warga sipil menyerupai yang Anda sebut, maka polisi tersebut tidak hanya telah melaksanakan tindak pidana, tetapi juga telah melanggar disiplin dan aba-aba etik profesi polisi.

Proses Hukum Oknum Polisi yang Melakukan Tindak Pidana, pelanggaran terhadap aturan disiplin dan aba-aba etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan hukuman disiplin serta hukuman atas pelanggaran aba-aba etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan [lihat Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011]. Oleh alasannya ialah itu, polisi yang melaksanakan tindak pidana tersebut tetap akan diproses secara pidana walaupun telah menjalani hukuman disiplin dan hukuman pelanggaran aba-aba etik.

Adapun proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan berdasarkan aturan program yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 perihal Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 3/2003”).

Kemudian soal Sidang Kode Etik. Perlu diketahui, Sidang Komisi Kode Etik Polisi Republik Indonesia (“Sidang KKEP”) ialah sidang untuk menyelidiki dan memutus kasus pelanggaran Kode Etik Profesi Polisi Republik Indonesia (“KEPP”) yang dilakukan oleh Anggota Polisi Republik Indonesia sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Perkapolri 14/2011. Selain itu Sidang KKEP juga dilakukan terhadap pelanggaran Pasal 13 PP 2/2003.

Pasal 13 PP 2/2003:

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi eksekusi disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sanggup diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Lalu bagaimana proses peradilan bagi polisi yang melaksanakan tindak pidana tersebut? Apakah ia akan menjalani Sidang KKEP, sidang disiplin atau sidang pada peradilan umum terlebih dahulu? Seperti yang kami jelaskan di atas, penjatuhan hukuman disiplin serta hukuman atas pelanggaran aba-aba etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan [lihat Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011].

Terkait sidang disiplin, tidak ada peraturan yang secara eksplisit memilih manakah yang terlebih dahulu dilakukan, sidang disiplin atau sidang pada peradilan umum. Yang diatur hanya bahwa sidang disiplin dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sesudah Ankum mendapatkan berkas Daftar Pemeriksaan Pendahuluan (DPP) pelanggaran disiplin dari provos atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum [Pasal 23 PP 2/2003 dan Pasal 19 ayat (1) Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep/44/IX/2004 perihal Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 44/2004”)].

Sedangkan, untuk sidang KKEP, kalau hukuman administratif yang akan dijatuhkan kepada Pelanggar KKEP ialah berupa rekomendasi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (“PTDH”), maka hal tersebut diputuskan melalui Sidang KKEP sesudah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum hingga dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan aturan tetap (Pasal 22 ayat (2) Perkapolri 14/2011).

Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap: (lihat Pasal 22 ayat (1) Perkapolri 14/2011)
  1. Pelanggar yang dengan sengaja melaksanakan tindak pidana dengan bahaya eksekusi pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan aturan tetap; dan
  2. Pelanggar yang melaksanakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) aksara e, aksara g, aksara h, dan aksara i.
Terkait dengan tindak pidana contohnya saja kita lihat ketentuan mengenai aturan pidana terkait pembunuhan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana pembunuhan diancam dengan eksekusi pidana 15 tahun penjara (lebih dari 4 tahun), maka tentunya harus dilakukan proses peradilan umum terlebih dahulu sebelum sidang KKEP.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 perihal Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 perihal Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 perihal Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; 
  5. Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 perihal Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  6. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep/44/IX/2004 perihal Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Referensi :

  1. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana-unsur-unsur
  2. http://jambiindependent.com

Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Hukum Dan Undang Undang Apabila seseorang melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi pada suatu daerah dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku; dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluwarsa); dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela. 

Dengan perkataan lain suatu tindakan yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu tindak pidana dalam arti penerapan ketentuan pidana Indonesia.

Dari uraian tersebut di atas, secara ringkas dapatlah disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana yaitu :
  1. Subyek dari pelaku tindakan;
  2. Kesalahan dari tindakan;
  3. Bersifat melawan aturan dari tindakan tersebut;
  4. Suatu tindakan yang tidak boleh atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; dan
  5. Waktu, daerah dan keadaan terjadinya suatu tindak pidana.
Setiap tindak pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya sanggup dijabarkan kedalam unsur-unsur yang sanggup dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu : 

Apabila seseorang melaksanakan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugik Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-Unsur Tindak Pidana

1. Unsur-unsur subjektif

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang menempel pada diri sipelaku atau yang bekerjasama dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, dimana unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu yaitu :
  • Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa),
  • Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging ibarat yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 KUHP,
  • Macam-macam maksud atau oogmerk ibarat yang terdapa contohnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain,
  • Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad ibarat yang contohnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan berdasarkan Pasal 340 KUHP,
  • Perasaan takut atau vress ibarat antara lain yang terdapat didalam rumusan tindak pidana berdasarkan Pasal 308 KUHP.

2. Unsur-unsur objektif

Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan, dimana unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu yaitu :
  • Sifat melanggar aturan atau wederrechtelijkheid,
  • Kualitas dari sipelaku, contohnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan berdasarkan Pasal 415 kitab undang-undang hukum pidana atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan berdasarkan Pasal 398 KUHP,
  • Kausalitas, yakni kekerabatan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Ada sebagian pendapat yang membagi unsur istilah perbuatan pidana secara fundamental dan pendapat lain yang membagi secara terperinci. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan pendapat para ahli. 

1. Pendapat yang membagi unsur-unsur perbuatan pidana secara fundamental yang terdiri dari :
  • Bagian yang obyektif menunjuk perbuatan pidana terdiri dari perbuatan dan akibat, yang merupakan bencana yang bertentangan dengan aturan positif sebagai anasir yang melawan aturan (onrechtmatig) yang sanggup diancam dengan pidana.
  • Bagian subyektif yang merupakan anasir kesalahan daripada perbuatan pidana. Menurut Apeldoorn dan Van Bemmelen bahwa elemen delik itu terdiri elemen obyektif yang berupa adanya suatu kelakuan yang bertentangan dengan aturan (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subyektif yang berupa adanya seorang pembuat (toerekeningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan aturan itu.
2. Pendapat yang menunjukkan rumusan terperinci terhadap unsur-unsur perbuatan pidana, diantaranya berdasarkan Vos di dalam suatu strafbaar feit (perbuatan pidana) dimungkinkan adanya beberapa elemen atau unsur delik, yaitu :
  • Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of een nalaten);
  • Elemen akhir dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai. Elemen akhir ini sanggup dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan adakala elemen akhir tidak dipentingkan dalam delik formel, akan tetapi adakala elemen akhir dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya ibarat dalam delik materiel;
  • Elemen kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa);
  • Elemen melawan aturan (wederrechtelijkheid);
  • Eelemen lain berdasarkan rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif contohnya di dalam Pasal 160 diharapkan elemen dimuka aturan (in het openbaar) dan segi subyektif contohnya Pasal 340 kitab undang-undang hukum pidana diharapkan elemen direncanakan terlebih dahulu (voorbedachteraad).
Perbuatan pidana yang oleh aturan pidana tidak boleh dan diancam dengan pidana dinamakan “delik” yang dalam sistem kitab undang-undang hukum pidana terbagi dalam 2 (dua) jenis yaitu :
  • Kejahatan (misdrijven), yang disusun dalam Buku II KUHP, kejahatan yaitu Criminal-onrecht yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan aturan atau dengan kata lain perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma berdasarkan kebudayaan atau keadilan yang ditentukan oleh Tuhan dan membahayakan kepentingan hukum. Contoh dari kejahatan dalam kitab undang-undang hukum pidana yaitu pada Pasal 362 wacana pencurian, pasal 378 wacana penggelapan, dan lain-lain. Tapi ada satu catatan bahwa pengertian kejahatan berdasarkan aturan pidana berbeda dengan kejahatan berdasarkan ilmu kriminologi.
  • Pelanggaran (overtredingen), disusun dalam Buku III KUHP, pelanggaran yaitu politie-onrecht yaitu perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara atau dengan kata lain perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan tidak boleh oleh peraturan penguasa Negara. Contoh dari bentuk pelanggaran dalam kitab undang-undang hukum pidana adalah: Pasal 504 wacana Pengemisan, Pasal 489 wacana Kenakalan, dan lain-lain.
Dalam undang-undang terdapat beberapa bentuk perumusan delik, yang disebabkan adanya banyak sekali kesulitan perumusan yang menyangkut segi teknis-yuridis, yuridis-sosiologis, dan politis. Adapun bentuk perumusannya diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Kategori pertama

  • Perumusan formal, yang menekankan pada perbuatan, terlepas dari akhir yang mungkin timbul dan perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan larangan atau perintah dan sudah sanggup dipidana, contoh: Pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana wacana Pencurian yang berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk mempunyai secara melawan hukum, diancam lantaran pencurian, dengan pidana penjara paling usang lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. Istilah “mengambil” berarti suatu perbuatan yang tidak lebih, yang mana perbuatan mengambil itu menimbulkan kehilangan milik secara tidak sukarela, yaitu akhir yang tidak dikehendaki yang dimaksud pembentuk undang-undang.
  • Perumusan materiel, yaitu yang tidak boleh dan sanggup dipidana yaitu menimbulkan akhir tertentu, meskipun perbuatan disini juga penting, sudah terkandung didalamnya, pola : Pasal 359 kitab undang-undang hukum pidana wacana Menyebabkan Matinya Orang Lain.
  • Perumusan materiel-formil, yaitu antar perbuatan dan akhir dicantumkan dalam rumusan pasal, contoh: Pasal 378 kitab undang-undang hukum pidana wacana Penipuan.

2. Kategori kedua

  • Delik Komisi, yaitu apabila pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu atau dalam kata lain pelanggaran terhadap norma yang melarang menimbulkan delik komisi, contoh: Pasal 362 kitab undang-undang hukum pidana wacana Pencurian.
  • Delik Omisi, yaitu kebalikan dari delik komisi dimana pembentuk undang-undang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, atau dalam kata lain yaitu melanggar norma yang memerintahkan delik omisi.
  • Delik omisi semu, yaitu menimbulkan menyebabkan akhir lantaran lalai, meskipun rumusan delik yang akan diterapkan tertuju pada berbuat dan berlaku untuk semua orang. Tapi dalam hal ini delik omisi semu harus mempunyai batasan-batasan lantaran sanggup meluas pada delik berbuat dan tidak berbuat, contoh: Pasal 338 kitab undang-undang hukum pidana terhadap kasus seorang ibu sengaja tidak menunjukkan makan kepada bayinya dan kesannya meninggal.

Sumber Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Referensi :

  1. Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
  2. Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
  3. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana : Bina Aksara, Jakarta, 1987.
  4. Schaffmeister.D. Keijzer.N. dan Sotorius. E. PH.  Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta. 1995.
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana