Ilmu Pengetahuan Polisi Cabul Yang Tukar Barang Tilang Dengan Bercinta Kena Hukuman Bahaya Pemecatan Melalui Sidang Aba-Aba Etik

Hukum Dan Undang Undang, Jawa Timur KASUS tukar barang denda tilang dengan relasi intim yang diduga dilakukan oleh oknum polantas Polresta Batu terhadap seorang wanita beberapa waktu lalu, mulai disidangkan.

Brigadir EN kemarin diseret ke meja sidang etik di Polda Jatim. Ancaman pemecatan menanti karena dianggap mencoreng institusi Polri.

Sidang etik tersebut berlangsung tertutup. Petugas Propam membacakan dakwaannya terkait dengan masalah yang diduga dilakukan Brigadir EN di sebuah pos polisi di Kota Batu.

"Sekalian semua saksi-saksinya dihadirkan," kata Kabidhumas Polda Jatim Kombespol R.P Argo Yuwono. 

 KASUS tukar barang denda tilang dengan relasi intim yang diduga dilakukan oleh oknum polantas Ilmu Pengetahuan Polisi Cabul Yang Barter Tilang Dengan Bercinta Kena Sanksi Ancaman Pemecatan Melalui Sidang Kode Etik
Mediasi korban dengan pihak Polres Baru Kamis (9/6). Polisi Cabul Brigadir EN Yang Barter Tilang Dengan Bercinta Kena Sanksi Ancaman Pemecatan Melalui Sidang Kode Etik
Dia mengatakan, masalah tersebut tidak melalui proses penyidikan petugas propam. Tapi eksklusif disidangkan oleh Pengawasan Profesi (waprof). Hal itu dilakukan alasannya ialah masalah tersebut sudah sangat terperinci sehingga tidak perlu mencari bukti-bukti lagi.

Argo mengatakan, hasil dari sidang aba-aba etik itu ialah hukuman. Paling berat ialah pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Salah satunya ialah perbuatan yang mencoreng institusi Polri. Ditanya apakah perbuatan Brigadir EN menyerupai yang dimaksud, Argo menjawab diplomatis. "Ya nanti terserah hakimnya," ucap Argo.

Seperti diberitakan, Brigadir EN dilaporkan alasannya ialah mengajak bercinta sebagai tukar barang atas pelanggaran kemudian lintas yang dilakukan siswi SMK. Tawaran itu dilakukan di pos polisi Kota Batu. Kasus itu terungkap sesudah korban berani mengadukan ke Propam. (eko/ami) 

Ulasan Apabila Anggota Polisi Melakukan Suatu Tindak Pidana, Sidang Etik atau Peradilan Umum Yang Terlebih Dahulu

Sidang KKEP terkait tindak pidana dilakukan sesudah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum hingga dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan aturan tetap.

Perlu diketahui bahwa intinya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia itu tunduk pada kekuasaan peradilan umum menyerupai halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 perihal Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”). Hal ini menunjukkan bahwa anggota Kepolisian RI (“Polri”) merupakan warga sipil dan bukan termasuk subjek aturan militer.

Namun, alasannya ialah profesinya, anggota Polisi Republik Indonesia juga tunduk pada Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 perihal Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”). Sedangkan, aba-aba etik kepolisian diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 perihal Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”).

Pada dasarnya, Polisi Republik Indonesia harus menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 3 aksara c PP 2/2003) dan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang berafiliasi dengan kiprah kedinasan maupun yang berlaku secara umum (Pasal 3 aksara g PP 2/2003). Dengan melaksanakan tindak pidana, ini berarti Polisi Republik Indonesia melanggar peraturan disiplin.

Pelanggaran Peraturan Disiplin ialah ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin (Pasal 1 angka 4 PP 2/2003). Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melaksanakan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi hukuman berupa tindakan disiplin dan/atau eksekusi disiplin (Pasal 7 PP 2/2003).

Tindakan disiplin berupa teguran ekspresi dan/atau tindakan fisik (Pasal 8 ayat (1) PP 2/2003). Tindakan disiplin tersebut tidak menghapus kewenangan Atasan yang berhak menghukum (“Ankum”) untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin.

Adapun eksekusi disiplin tersebut berupa [Pasal 9 PP 2/2003] :
  1. teguran tertulis;
  2. penundaan mengikuti pendidikan paling usang 1 (satu) tahun;
  3. penundaan kenaikan honor berkala;
  4. penundaan kenaikan pangkat untuk paling usang 1 (satu) tahun;
  5. mutasi yang bersifat demosi;
  6. pembebasan dari jabatan;
  7. penempatan dalam kawasan khusus paling usang 21 (dua puluh satu) hari.
Untuk pelanggaran disiplin Polri, penjatuhan eksekusi disiplin diputuskan dalam sidang disiplin [lihat Pasal 14 ayat (2) PP 2/2003].

Jadi, kalau polisi melaksanakan tindak pidana misalkan pemerkosaan, penganiyaan, dan pembunuhan (penembakan) terhadap warga sipil menyerupai yang Anda sebut, maka polisi tersebut tidak hanya telah melaksanakan tindak pidana, tetapi juga telah melanggar disiplin dan aba-aba etik profesi polisi.

Proses Hukum Oknum Polisi yang Melakukan Tindak Pidana, pelanggaran terhadap aturan disiplin dan aba-aba etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan hukuman disiplin serta hukuman atas pelanggaran aba-aba etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan [lihat Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011]. Oleh alasannya ialah itu, polisi yang melaksanakan tindak pidana tersebut tetap akan diproses secara pidana walaupun telah menjalani hukuman disiplin dan hukuman pelanggaran aba-aba etik.

Adapun proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan berdasarkan aturan program yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 perihal Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 3/2003”).

Kemudian soal Sidang Kode Etik. Perlu diketahui, Sidang Komisi Kode Etik Polisi Republik Indonesia (“Sidang KKEP”) ialah sidang untuk menyelidiki dan memutus kasus pelanggaran Kode Etik Profesi Polisi Republik Indonesia (“KEPP”) yang dilakukan oleh Anggota Polisi Republik Indonesia sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Perkapolri 14/2011. Selain itu Sidang KKEP juga dilakukan terhadap pelanggaran Pasal 13 PP 2/2003.

Pasal 13 PP 2/2003:

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi eksekusi disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, sanggup diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Lalu bagaimana proses peradilan bagi polisi yang melaksanakan tindak pidana tersebut? Apakah ia akan menjalani Sidang KKEP, sidang disiplin atau sidang pada peradilan umum terlebih dahulu? Seperti yang kami jelaskan di atas, penjatuhan hukuman disiplin serta hukuman atas pelanggaran aba-aba etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan [lihat Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011].

Terkait sidang disiplin, tidak ada peraturan yang secara eksplisit memilih manakah yang terlebih dahulu dilakukan, sidang disiplin atau sidang pada peradilan umum. Yang diatur hanya bahwa sidang disiplin dilaksanakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sesudah Ankum mendapatkan berkas Daftar Pemeriksaan Pendahuluan (DPP) pelanggaran disiplin dari provos atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum [Pasal 23 PP 2/2003 dan Pasal 19 ayat (1) Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep/44/IX/2004 perihal Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 44/2004”)].

Sedangkan, untuk sidang KKEP, kalau hukuman administratif yang akan dijatuhkan kepada Pelanggar KKEP ialah berupa rekomendasi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (“PTDH”), maka hal tersebut diputuskan melalui Sidang KKEP sesudah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum hingga dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan aturan tetap (Pasal 22 ayat (2) Perkapolri 14/2011).

Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap: (lihat Pasal 22 ayat (1) Perkapolri 14/2011)
  1. Pelanggar yang dengan sengaja melaksanakan tindak pidana dengan bahaya eksekusi pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan aturan tetap; dan
  2. Pelanggar yang melaksanakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) aksara e, aksara g, aksara h, dan aksara i.
Terkait dengan tindak pidana contohnya saja kita lihat ketentuan mengenai aturan pidana terkait pembunuhan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana pembunuhan diancam dengan eksekusi pidana 15 tahun penjara (lebih dari 4 tahun), maka tentunya harus dilakukan proses peradilan umum terlebih dahulu sebelum sidang KKEP.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 perihal Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 perihal Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 perihal Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; 
  5. Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 perihal Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  6. Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep/44/IX/2004 perihal Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Referensi :

  1. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-tindak-pidana-unsur-unsur
  2. http://jambiindependent.com

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment