Ilmu Pengetahuan Uu Narkotika Belum Capai Target Sebab Pakai Pendekatan Kriminal
Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Dua tahun yang lalu, Presiden Jokowi mempunyai sasaran untuk merehabilitasi sekitar 100 ribu pengguna narkotika. Akan tetapi, berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), sampai September 2017, tahapan rehabilitasi gres menyentuh 16 ribu orang.
Banyak yang berpendapat, tidak tercapainya sasaran rehabilitasi tanggapan pengaturan dalam Undang-Undang (UU) Narkotika yang masih mengedepankan pendekatan kriminal dibanding pendekatan kesehatan masyarakat. Rehabilitasi dan kriminalisasi terhadap pengguna ini juga dirasa merupakan sedikit dari dilema UU Narkotika.
Ilustrasi. Tersangka perkara narkotika dihadirkan dalam pemusnahan barang bukti narkotika kesembilan Tahun 2017 di Kantor BNN, Cawang, Jakarta, Kamis (14/9/2017). ANTARA FOTO/Galih Pradipta |
Dalam program diskusi terbuka bertajuk "Revisi UU Narkotika Untuk Siapa?" yang diselenggarakan di Bakoel Koffie Cikini, Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis (2/11/2017); ICJR, Rumah Cemara, PBHI, serta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU Narkotika berupaya memberi masukan awal bagi revisi UU Narkotika.
Baik ICJR, Rumah Cemara, maupun PBHI, berangkat melalui pengalaman advokaai terkait informasi narkotika. Tak hanya itu, ketiga pihak juga turut menyelami eksklusif praktik penanganan pecandu dan pengguna narkoba.
Totok Yulianto, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menegaskan perubahan UU Narkotika harus ditujukan demi kepentingan dan evakuasi pecandu maupun pengguna.
"Sejak tahun 1976, dikala UU Narkotika lahir, pemerintah masih memakai aliran bahwa pemakai narkotika yaitu kriminal. Dari situ, berdampak pada pendekatan yang digunakan; pendekatan kriminal. Ini yang harus perlahan diubah," ungkap Totok kepada Tirto.
"Selama ini kan pengguna seolah disamakan dengan koruptor atau penjahat berat lainnya. Ini yang musti diluruskan," tambahnya.
Sementara itu Dr. Fauzi Masjhur, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Timur tak menampik bahwa masih terdapat pandangan jelek terhadap pengguna narkotika. Para pengguna dikesankan seorang penjahat.
"Alangkah bijaknya apabila dalam menangani pengguna narkotika, kita memakai pendekatan kesehatan masyarakat. Yang bermasalah dari para pengguna kan kesehatannya. Itu yang semestinya kita bantu," jelasnya.
Sementara itu, peneliti ICJR Erasmus Napitupulu mewanti-wanti kepada pemerintah. Dari 16 ribu pengguna yang sudah direhabilitasi, semuanya berdasarkan hasil penyelidikan; bukan kesadaran dan kerelaan sendiri. Hal tersebut, berdasarkan Erasmus, tak sanggup dipisahkan dari pendekatan kriminal yang dipakai aparat.
"Berdasarkan data BNN, ada 8.354 pengguna yang ditahan di penjara. Hal ini sudah menjadi mekanisme yang jelek terlebih dahulu. Mereka dikesankan sebagai seorang kriminal. Seharusnya pemerintah berguru dari Portugal yang dianggap sebagai negara dengan kebijakan dilema narkotika yang ideal," pungkasnya.
Baca :
- Curhatan Buni Yani ke Fadli Zon: Saya Berasal dari Keluarga Plural
- Wasekjen Golkar Jelaskan Alasan Penyebar Meme Setnov Dipolisikan
- KPK Panggil Mantan Pejabat BPPN Thomas Maria Terkait BLBI
- KPK Dalami Kongkalikong PT Gajah Tunggal dan Ayin di Tambak Dipasena
- Berkas Alfian Tanjung Dilimpahkan kek Kejati Pusat
- Bareskrim Tantang KPK Adu Cepat Selesaikan Berkas RJ Lino
Erasmus menambahkan, masukan rekomendasi sudah dipersiapkan kepada pemerintah perihal revisi UU Narkotika. Pada dasarnya, revisi UU Narkotika harus dibentuk untuk menyelamatkan pengguna dan pecandu.
"Apakah benar jargon narkotika untuk menyelamatkan pecandu? Satu satunya cara melihat hasil revisinya nanti. Apabila masih ada pendekatan pidana maka, pemerintah sama saja omong kosong," tegasnya. (***)
0 komentar:
Post a Comment