Ilmu Pengetahuan Fungsi Kepastian Hukum
Fungsi Kepastian Hukum Kepastian Hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting dalam tindakan aturan (rechtshandeling) dan penegakan aturan (hendhaving, uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan perundang-undangan depat menunjukkan kepastian aturan yang lebih tinggi dan pada aturan kebiasan, aturan adat, atau aturan yurisprudensi. Namun, perlu diketahui, kepastian aturan peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada bentuknya yang tertulis (geschreven, written).
![]() |
Fungsi Kepastian Hukum |
Untuk benar-benar menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu:
- Jelas dalam perumusannya (unambiguous).
- Konsisten dalam perumusannya -baik secara intern maupun ekstern. Konsisten secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara kekerabatan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa. Konsisten secara eketern, yaitu adanya kekerabatan “harmonisasi” antara aneka macam peraturan perundang-undangan.
- Penggunaan bahasa yang sempurna dan gampang dimengerti.Bahasa peraturan perundang-undangan haruslah bahasayang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidakberarti bahasa aturan tidak penting. Bahasa aturan –baikdalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg lantaran merupakan potongan dan upaya menjamin kepastian aturan Melupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak niscaya dibandingkan dengan aturan kebiasaan, aturan adat, atau aturan yurisprudensi.
Dalam menegakkan aturan ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu :
- kepastian hukum,
- kemanfaatan, dan
- keadilan.
Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus menerima perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu gampang mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian aturan orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan aturan alhasil kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil.
Kepastian aturan ini sanggup diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan terang dalam suatu undang-undang dan akan terang pulah penerapanya. Dengan kata lain kepastian aturan itu berarti sempurna hukumnya, subjeknya dan objeknya serta bahaya hukumanya. Akan tetapi kepastian aturan mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.
Penegakan hukum pada prinsipnya harus sanggup memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan aturan untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak sanggup kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berkhasiat (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berkhasiat bagi masyarakat.
Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang sanggup mengisi kekosongan aturan tanpa menghiraukan apakah aturan itu adil atau tidak. Kenyataan sosial menyerupai ini memaksa pemerintah untuk segera menciptakan peraturan secara simpel dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa asumsi strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian aturan dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebaiknya mekanisme dan mekanisme untuk memilih prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidak-tidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik aturan tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jikalau aturan dibutuhkan bisa berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat aturan sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan aturan masyarakat.
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan aturan yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, bahkan sering bertentangan.
Pada taraf dan situasi menyerupai ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran aturan rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, kemudian lintas dan tata kota yang mendasarkan diri maksud-maksud pragmatis jelaslah kalau terlepas dari kesadaran moral tradisional.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun aturan itu tidak identik dengan keadilan, aturan itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dieksekusi tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, aturan memiliki kiprah yang suci, yakni menunjukkan pada setiap orang apa yang berhak ia terima. Anggapan ini menurut moral dan beropini bahwa aturan bertugas hanya menciptakan adanya keadilan saja (Ethische theorie). Tetapi anggapan semacam ini tidak gampang dipraktekkan, maklum mustahil orang menciptakan peraturan aturan sendiri bagi tiap-tiap manusia, alasannya apabila itu dilakukan maka tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula aturan harus menciptakan peraturan umum, kaedah aturan tidak diadakan untuk menuntaskan suatu perkara tertentu. Kaedah aturan tidak menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah aturan hanya menciptakan suatu kualifikasi tertentu. Kualifikasi tertentu itu sesuatu yang abstrak. Pertimbangan wacana hal-hal yang konkrit diserahkan pada hakim.
Sumber Hukum :
Undang-undang Dasar 1945
Referensi :
- Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Makalah,. 1994
- Lubis, M. Solly, Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1989.
- Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993.
- Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1986.
- https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
- https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
- https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum
0 komentar:
Post a Comment