Ilmu Pengetahuan Unsur-Unsur Relasi Kerja

Unsur-unsur Hubungan Kerja Hukum Ketenagakerjaan telah berkembang seiring dengan perkembangan lapangan dan kesempatan kerja. Awalnya, lapangan pekerjaan terbatas pada sektor pemenuhan kebutuhan primer, ibarat pertanian. Namun secara perlahan sektor pemenuhan kebutuhan mulai bergeser ke arah industri dan perdagangan, sehingga kesempatan kerja semakin terbuka lebar. Pertumbuhan sektor industri dan perdagangan yang pesat, menjadikan berdirinya perusahaan-perusahaan yang menyerap banyak tenaga kerja.

Hubungan antara perusahaan tersebut dengan tenaga kerjanya, disebut dengan hubungan kerja (hubungan antara pemberi kerja dengan pekerjanya atau bahkan dengan calon pekerja). Dengan demikian diharapkan adanya suatu aturan (hukum) yang sanggup menjadi pengontrol dalam kekerabatan tersebut, terlebih lagi kalau timbul suatu perselisihan dalam kekerabatan kerja tersebut.

 telah berkembang seiring dengan perkembangan lapangan dan kesempatan kerja Ilmu Pengetahuan Unsur-unsur Hubungan Kerja
Unsur-Unsur Hubungan Kerja
Lahirnya kekerabatan aturan antara pengusaha dengan pekerja didasari oleh suatu perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hubungan kerja berdasarkan Pasal 1 (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan "Hubungan kerja ialah kekerabatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah".

Mantan guru besar aturan ketenagakerjaan Universitas Indonesia Prof. Imam Soepomo secara rinci menjelaskan pengertian dan unsur-unsur kekerabatan kerja sebagai berikut: Pada dasarnya kekerabatan kerja, yaitu kekerabatan antara buruh dan majikan, terjadi sehabis diadakan perjanjian, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menrima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.

Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian kerja. Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul kewajiban suatu pihak untuk bekerja, jadi berlainan dengan Peraturan ketenagakertaan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan, tetapi memuat wacana syarat-syarat ketenagakerjaan.

Bekerja pada pihak lainnya, memperlihatkan bahwa pada umumnya kekerabatan itu sifatnya ialah bekerja dibawah pimpinan pihak lain. Sifat ini perlu dikemukakan untuk membedakannya dari kekerabatan antara dokter misalnya, dengan seorang yang berobat, dimana dokter itu melaksanakan pekerjaan untuk orang yang berobat, tetapi tidak dibawah pimpinannya. lantaran itu perjanjian antara seorang dokter dengan orang yang berobat, bukanlah perjanjian kerja, tetapi perrjanjian untuk melaksanakan pekerjaan tertentu; jadi dokter bukanlah buruh dan orang yang berobat bukanlah majikan dan kekerabatan antara mereka bukanlah kekerabatan hubungan-kerja.

Adanya buruh ialah hanya kalau ia bekerja dibawah pimpinan pihak lainnya dan adanya pengusaha hanya, kalau ia memimpin pekerjaan yang dilakukan oleh pihak kesatu. Hubungan pekerja/buruh dan pengusaha tidak juga terdapat pada perjanjian pemborongan-pekerjaan, yang ditujukan kepada hasil pekerjaan.

Bedanya perjanjian pemborongan-pekerjaan dengan perjanjian melaksanakan pekerjaan tertentu ialah bahwa perjanjian ini tidak melihat hasil yang dicapai. Jika yang berobat itu, tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya contohnya meninggal dunia, namun dokter itu telah memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian.

Perjanjian sanggup dibedakan menjadi dua yaitu :
  1. Perjanjian dalam arti luas ialah setiap perjanjian yang menimbulkan akhir aturan sebagaimana yang dikendaki oleh para pihak, contohnya perjanjian tidak berjulukan atau perjanjian jenis baru.
  2. Perjanjian dalam arti sempit ialah kekerabatan aturan dalam lapangan harta kekayaan ibarat yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata yang diatur dalam BAB II dan BAB V hingga dengan BAB XVIII Buku III KuhPerdata contohnya perjanjian bernama.
Suatu perjanjian harus memenuhi azas-azas aturan perjanjian Dalam aturan perjanjian ada beberapa azas, namun secara umum azas perjanjian ada lima, yaitu :

1. Azas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan mengadakan perjanjaian ialah salah satu azas dalam aturan umum yang berlaku didunia, azas ini mengatakan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengadakan perjanjian wacana apa saja, asalkan tidak bertentangan atau sejauh tidak melanggar peraturan perundang-undangan, keteriban umum, dan kesusilaan. Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi besifat mutlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Azas inilah yang mengakibatkan aturan perjanjian bersistem terbuka.

Jika dipahamin secara seksama maka azas kebebasan berkontrak mengatakan kebebasan kepada para pihak untuk :
  • Membuat atau tidak menciptakan perjanjian;
  • Mengadakan perjanjian dengan siapapu;
  • Menentukan isi perjanjain, pelaksanaan, dan persyaratan;
  • Menentukan bentuknya perjanjian yang secara tertulis atau secara lisa; dan
  • Namun keempat syarat tersebut diatas boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar Undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.

2. Azas Konsensualisme

Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata). Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkam kemauan para pihak. Azas konsensualisme sanggup ditelusuri dalam rumusan Pasal 1320 ayat 1, dalam pasal ini ditentuka bahwa salah satu syarat syahnya perjanjian ialah adanya kesepakatan kedua belah pihak, dengan kata lain perjanjian itu syah kalau jika sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak diharapkan lagi formalitas.

3. Azas Mengikatnya Suatu Perjanjain (Azas Pacta Suntservanda)

Perjanjian yang dibentuk secara syah berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

4. Azas Itikad Baik (Togoe Dentrow)

Perjanjian harus dilaksnakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata . Itikad baik ada dua yakni :
  • Bersifat obyektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Contoh, Arman melaksanakan perjanjian dengan Budi membangun rumah, Arman ingin menggunakan keramik cap gajah namun dipasaran habis, maka diganti cap semut oleh Budi;
  • Bersifat subjektif, artinya ditentukan perilaku batin seseorang contohnya, Adi ingin membeli motor lalu datanglah Badu (berpenampilan preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga sangat murah, Adi tidak mau membeli lantaran takut bukan barang halal atau barang tidak legal.

5. Azas Kepribadian (Personalitas)

Pada umunya tidak seorangpun sanggup mengadakan perjanjian, kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam pasal 1317 KUHPerdata wacana kesepakatan untuk pihak ketiga.

Syarat syahnya perjanjain berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata ialah sebagai berikut : Sepakat (Toestemming)Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendakdari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang di setujui antara pihak-pihak.

Unsur-Unsur kesepakatan ialah adanya Offerte (penawaran) yaitu pernyataan dari pihak yang mengatakan danAcceptasi (penerimaan) ialah pernyataan pihak yang mendapatkan penawaran. Kecakapan di dalan dunia hukum, perkataan orang (persoon) berarti pendukung hak dan kewajiban yang juga disebut subyek hukum. Dengan demikian maka sanggup dikatakan bahwa setiap insan baik warga Negara maupun orang absurd ialah pembawa hak (subyek hukum) yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melaksanakan perbuatan aturan namun, kewenangan tersebut harus didukung oleh kecakapan aturan dan kewenangan hukum. Kecakapan berbuat ialah kewenangan untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan aturan sendiri.

Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu disini berbicara wacana objek perjanjian (Pasal 1332 – 1334 KUHPerdata) objek perjanjian yang sanggup dikatagorikan dalam pasal tersebut yaitu Objek yang akan ada (kecuali warisan) asalkan sanggup ditentukan jenis sanggup dihitung dan objek yang sanggup diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak sanggup menjadi objek perjanjian).

Suatu alasannya yang halal Sebab yang dimaksud ialah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal ialah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Selain Syarat Pasal 1320 KHUPerdata, sering ditentukan syarat atau formalitas tertentu dengan peraturaan perundang-undangan.

Syarat kesepakatan dan kecakapan diatas biasanya disebut syarat subyektif, yakni mengenai subyeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian sanggup dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif dari salah satu pihak yang dirugikan untuk membatalkannya). Batas waktu untuk membatalkan 5 tahun (Pasal 1454 KUHPerdata

Syarat suatu hal tertentu dan alasannya yang halal disebut syarat obyektif , yaitu mengenai obyeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi aturan (sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan). Terhadap perjanjian formil apabila tidak dipenuhi formalitasnya yang telah ditetapkan undang-undang maka perjanjian itu juga batal demi hukum. Contoh perjanjian formil : Perjanjian penghibahan benda tidak bergerak haarus menggunakan sertifikat notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis

Di dalam aturan ada tiga macam pembatalan, yaitu : 
  1. Batal demi aturan (Kembali ke keadaan semula) artinya akhir dari perbuatan itu untuk sebagian atau seluruhnya bagi aturan dianggap tidak ada, tanpa diharapkan lagi putusan hakim untuk pembatalan.
  2. Batal, Perbuatan dan jadinya dianggap tidak pernah ada Tetapi memerlukan keputusan hakim untuk pembatalan.
  3. Selanjutnya sanggup dibatalkan yaitu Perbuatan dan jadinya dianggap ada hingga dikala adanya abolisi tetapi memerlukan keputusan hakim untuk pembatalan. Perkataan batal dalam aturan di dalam Pasal 1446 KUHPerdata artinya ialah sanggup dibatalkan
Perjanjian berdasarkan namanya, dibedakan menjadi perjannjian bernama/nominaat dan perjanjian tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis gres (Pasal 1319 KUHPerdata).
  1. Perjanjian khusus/ bernama/nominaat ialah perjanjian yang mempunyai nama dan diatur dalam KUHPerdata. Contoh perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab V-XVIII KUHPerdata antara lain perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa menyewa, perjanjian untuk elakukan pekerjaan, perjanjian persekutuan, perjanjian wacana perkumpulan, perjanjian hibah, perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam-meminjam, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi, perjanjian untung-ungtungan, perjanjian santunan kuasa, perjanjian penanggungan, perjanjian perdamaian.
  2. Perjanjian tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru ialah perjanjian yang timbul tumbuh dan hidup dalam masyarakat lantaran azas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada dikala KUHPerdata di undangkan. Perlu diingat bahwa KUHD dan KUHPerdata pada awal pembentukannya merupakan satu paket, maka perjanjian yang terdapat dalam KUHD contohnya perjanjian perwakilan khusus (makelar, agen, komisoner, ) perjanjian pengakutan, atau perjanjian asuransi, secara otomatis merupakan Perjanjian nominaat lantaran dikenal disaat KUHPerdata diundangkan.
Perjanjian innominaat didasarkan pada azas kebebasan berkontrak maka system pengaturan aturan perjanjian innominaat ialah sistem terbuka (open system), dan lain sebagainya. Innominaat dibibedakan menjadi dua, yaitu :
  1. Perjanjian innominat yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan/atau telah diatur dalam pasal pasal tersendiri, contohnya Kontrak production sharing yang diatur dalam UU NO 22 tahun 2001 wacana Minyak dan Gas Bumi;contract joint venture yang diatur dalam UU NO 1 tahun 1967 wacana Penanaman Modal Asing; kontrak karya yang diatur dalam UU N0 11 tahun 1967 wacana Pertambangan; kontrak konstruksi yang diatur dalan UU 18 tahun 1999 wacana Jasa Konstruksi dan lain-lain.
  2. Perjanjian innominaat yang diatur dalam peraturan pemerintah, contohnya wacana waralaba/frinchise yang diatur dalam Peraturan Pemerintah N0 42 tahun 2007 wacana Waralaba.
Perjanjian innominaat bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan perjanjian nominaat bersifat umum sehingga disini azas lex seorang mahir derogate legi generale berlaku. Dengan demikian lantaran perjanjian kerja diatur secara khusus oleh peraturan-perundang-undangan ketenagakerjaan maka perjanjian kerja termasuk perjanjian innominat yang diatur dalam perundang-undangan ketenagakerjaan.

Sumber Hukum :

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
  2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Referensi :

  1. Farianto & Darmanto Law firm Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam kasus PHI wacana Pemutusan Hubungan Kerja disertai Ulasan Hukum. Jakarta PT.RajaGrafindo persada, 2009,
  2.  Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan,Djambatan, Jakarta, Cet. XI; 1995,
  3. Salim HS. Perkembangan aturan kontrak innominaat di Indonesia Buku Kesatu. Jakarta : Sinar Grafika . 2003,
  4. BN. Marbun Membuat Perjanjian yang Aman dan Sesuai Hukum . Jakarta.Wisma hijau. 2009,
  5. FX. Suhardana. Hukum Perdata I ,Jakarta, Prenhallindo. 1987,
  6. Juni Raharjo Hukum Adminitrasi Indonesia Pengetahuan Dasar ,Yokyakarta, Atma jaya. 1995. 
  7. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=himpunan-peraturan-ketenagakerjaan

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment