Ilmu Pengetahuan Ahli: Ini Beberapa Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Yang Menyimpang Hukum

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Ahli aturan pidana Frederich Yunadi mengemukakan beberapa penyimpangan atas pemahaman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai hukum. Menyimpannya pemahaman KPK atas aturan pun disebutnya berakibat pada penyimpangan pada praktik aturan yang dilakukan oleh forum anti rasuah tersebut.

Pemahaman pertama ialah mengenai klaim KPK yang mengklaim instansinya sebagai lex specialis derogat legi generali, atau penafsiran aturan yang menyatakan bahwa aturan yang bersifat khusus sanggup mengesampingkan aturan yang bersifat umum.

Pemahaman ini pun menciptakan segala tindakan yang dilakukan KPK sanggup mengesampingkan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang Nomor 8/1981 yang menjadi satu-satunya dasar aturan pidana di Indonesia.
 Ahli aturan pidana Frederich Yunadi mengemukakan beberapa penyimpangan atas pemahaman Komi Ilmu Pengetahuan Ahli: Ini Beberapa Tindakan KPK Yang Menyimpang Hukum
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (tengah) bersama Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif (kiri) dan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan), mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/9). Rapat tersebut merupakan lanjutan dari rapat sebelumnya yang membahas sistem pengawasan terhadap pengelolaan dan administrasi aset hasil tindak pidana korupsi di KPK. AKTUAL/Tino Oktaviano
Frederich pun membantah klaim tersebut karena dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 wacana KPK telah sangat terang menyebutkan kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam UU 8/1981 juga berlaku untuk KPK.

“Dalam pasal 38 sudah sangat terang dan tegas bahwa KPK menjalankan kiprah dan wewenang nya menurut aturan program pidana UU No 8/1981,” tegas Frederich dalam keterangan tertulis yang diterima Aktual, Rabu (4/10).

KPK sendiri kerap berdalih dengan menyatakan segala tindakannya berdasar pada Pasal 39 dalam UU yang sama. Dalam pasal tersebut memang disebutkan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan menurut aturan program pidana yang berlaku dan menurut UU 31/1999.

UU 31/1999 sendiri telah diubah menjadi UU 20/2001 wacana Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 wacana Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalih ini pun dianggap Frederich sebagai indikasi bahwa KPK tidak memahami perbedaan antara aturan formil dan aturan materiil.

“Amat memprihatinkan KPK dan sekelompok yang mengaku jago aturan dan LSM tidak sanggup membedakan aturan formal dan aturan materiil,” ucapnya.

Selain itu, Frederich pun menyoroti penetapan tersangka yang kerap dilakukan oleh KPK yang disebutnya bermasalah. Dalam penetapan Setnov misalnya, Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) gres diterbitkan KPK sehari sesudah Setnov ditetapkan sebagai tersangka.

KPK sendiri selalu berlindung di balik pasal 44 ayat (1) UU 30/2002 sebagai dasar dari hak KPK dalam memutuskan tersangka.
Pasal 44 ayat (1) sendiri berbunyi,”Jika penyelidik dalam melaksanakan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung semenjak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,”.

Menurut Frederich, tidak ada satu kata pun menunjukkan wewenang pada KPK memilih tersangka menurut pasal tersebut.

“Dengan demikian tidak perlu diragukan lagi bahwa KPK berusaha menbodohi masyarakat dan melaksanakan tindakan melawan hukum,” tegas mantan pengacara Budi Gunawan ini.

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment