Ilmu Pengetahuan Tak Lapor Transaksi Mencurigakan, Lawyer Dan Notaris Akan Masuk ‘Daftar Hitam’

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Dua tahun berselang pasca PP Nomor 43 Tahun 2015, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong kalangan profesi yang tergolong sebagai gatekeeper untuk melaporkan transaksi mencurigakan.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengimbau kalangan pengacara (lawyer), notaris, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membantu pemerintah dalam memerangi anti pencuian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT) sebagaimana mandat PP Nomor 43 Tahun 2015 ihwal Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan  Ilmu Pengetahuan Tak Lapor Transaksi Mencurigakan, Lawyer dan Notaris Akan Masuk ‘Daftar Hitam’
Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae/Hukumonline, Foto: NN
Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan, pihaknya gencar mensosialisasikan kewajiban melaporkan transaksi mencurigakan kepada PPATK oleh kalangan profesi semoga gerakan APU-PPT selalu dijalankan oleh profesi gatekeeper. Pasalnya, selang dua tahun semenjak aturan tersebut diterbitkan, Dian menyebutkan jumlah profesi yang melaporkan transaksi kepada PPATK belum terlalu signifikan dibandingkan total jumlah profesi itu yang mencapai puluhan ribu.

“Kita pastikan mereka [kalangan profesi] berkolaborasi. Jangan hingga berlindung di balik kerahasiaan dan sebagainya. Masalah kerahasiaan buat PPATK tidak ada, tidak ada profesi apapun lindungi penjahat. Kerahasiaan itu [ada] jikalau bisnis itu dilakukan secara murni,” kata Dian kepada Hukumonline di kantornya, Selasa (19/12).

Dian melanjutkan, pihaknya sangat optimis kalangan profesi baik pengacara, notaris dan PPAT, akuntan publik, dan perencana keuangan akan sangat mendukung upaya pemerintah dalam menjalankan APU-PPT. Terlebih lagi, dunia internasional mengeluarkan rekomendasi mengenai APU-PPT sehingga kecenderungannya telah berubah dari kerahasiaan menjadi keterbukaan informasi.

Bahkan, PPATK juga menunggu ditekennya Rancangan Peraturan Presiden ihwal Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme atau yang dikenal sebagai Beneficial Owner (BO).

Dengan adanya Perpres mengenai BO tersebut, kata Dian, kalangan profesi semakin menyadari bahwa gerakan transparansi menjadi kewajiban alasannya yaitu beberapa regulasi telah mengatur hal tersebut secara tegas.

Dian berharap semoga kalangan profesi tidak lagi berdalih memakai alasan hubungan kerahasiaan antara profesional dan klien alasannya yaitu PPATK akan dengan gampang menarik kesimpulan bahwa profesi yang tidak melaporkan transaksi mencurigakan termasuk profesi yang high risk.

Diwartakan Hukumonline sebelumnya, kalangan profesi advokat sempat khawatir aturan wajib lapor sebagaimana PP Nomor 43 Tahun 2015 berbenturan dengan ketentuan Pasal 19 UU Nomor 18 Tahun 2003 ihwal Adovkat yang tegas mengatur bahwa advokat dalam hal ada hubungan profesi dengan klien, advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui dan diperoleh dari klien. Bahkan, dalam ketentuan yang sama, klien berhak juga atas dukungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik dengan advokat.

Sejumlah advokat juga sempat mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) karena menilai PP Nomor 43 Tahun 2015 bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2003. Sayangnya, upaya tersebut gugur sesudah MA mengeluarkan putusan tidak sanggup mendapatkan alias niet onvantkelijk verklaard(N.O).

Dikatakan Dian, ke depan tidak ada lagi alasan bagi profesi untuk menjalankan alasannya yaitu PPATK sudah hampir menuntaskan sistem pelaporan online yang memudahkan dan mulai diaktifkan awal Januari 2018 mendatang.

“Kita gunakan semacam blacklist. Kalau yang tidak lapor, kesimpulan kita orang yang tidak lapor itu high risk. Itu pilihan mereka jikalau sudah begitu. Kita juga tidak publish [daftar hitam] itu ke mana-mana, hanya ke pemerintah, pegawanegeri penegak hukum, dan perbankan, kata Dian.


Beneficial Owner

Terkait Beneficial Owner (BO), Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, Perpres Beneficial Ownership dirancang untuk mengetahui identitas akseptor manfaat dari korporasi atau legal arrangement tertentu. "Selama ini, concern pemerintah gres tertuju kepada legal ownership, sehingga acapkali akseptor manfaat bahu-membahu tak terlacak," ujar Kiagus.

Baca :

Menurut dia, penerbitan Perpres tersebut, merupakan salah satu langkah untuk mempercepat peningkatan transparansi kepemilikan perusahaan akseptor manfaat dari acara perekonomian. 

Dengan planning penerbitan Perpres itu, lanjut Kiagus, pemerintah akan mengetahui apabila sebuah korporasi atau pemilik korporasi terlibat kejahatan.

"Transparansi itu akan memudahkan PPATK mendeteksi praktik pembersihan uang yang memakai sarana korporasi dan legal arrangement," katanya.

Perpres Beneficial Ownership sendiri dibutuhkan sanggup berjalan beriringan dengan jadwal Ditjen Pajak terkait keterbukaan informasi, Automatic Exchange of Information (AEoI). Regulasi tersebut nantinya akan mengatur kewajiban pengungkapan kepemilikan saham atau perusahaan di seluruh industri, tidak hanya di bidang ekstraktif.

Dalam mengimplementasikan beneficial ownership di seluruh sektor industri, pemerintah nanti juga akan menggandeng semua pihak menyerupai Kementerian Keuangan, Bappenas, KPK, OJK, Bank Indonesia dan pihak lainnya mengingat aturan terkait keterbukaan kepemilikan saham atau akseptor manfaat masih tersebar di dalam beberapa kementerian dan forum tersebut. (***)

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment