Ilmu Pengetahuan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalami Kolusi Pt Gajah Tunggal Dan Ayin Di Tambak Dipasena

Hukum Dan Undang Undang (Jakarta) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami dugaan kolusi antara bos PT Gajah Tunggal Tbk, Sjamsul Nursalim dengan pemilik PT Bukit Alam Surya, Artalyta Suryani alias Ayin dan suaminya, Surya Dharma (almarhum).

Hal tersebut terkait pengusutan dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional (BDNI) oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

 tengah mendalami dugaan kolusi antara bos PT Gajah Tunggal Tbk Ilmu Pengetahuan KPK Dalami Kongkalikong PT Gajah Tunggal dan Ayin di Tambak Dipasena
Jubir KPK Febri Diansyah ketika konferensi pers ihwal OTT di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/8). KPK mengamankan barang bukti berupa bukti transferan dan buku tabungan serta menetapkan dua orang tersangka yaitu panitera pengganti PN Jakarta Selatan Tarmizi dan pengacara berjulukan Akhmad dan mengamankan uang senilai Rp.425 juta terkait kasus suap untuk pengurusan kasus suatu perusahaan yaitu PT ADI (Aquamarine Divindo Inspection). AKTUAL/Tino Oktaviano
Saat ini KPK sedang mendalami bukti-bukti dugaan tersebut seiring proses penyidikan tersangka mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT).

Penyidik mendalami dan memperkuat bukti atas dugaan tersebut bukan tanpa sebab. Pasalnya, ada keterkaitan antara Sjamsul selaku pemilik BDNI dengan Ayin dan suami.

Yakni terkait pengelolaan aset PT Dipasena Citra Darmaja, perusahaan udang milik Sjamsul Nursalim. Surya Dharma merupakan pihak yang membangun perusahaan udang yang berlokasi di Tulang Bawang, Lampung.

Ayin sudah usang mengenal Sjamsul Nursalim ketika tinggal di Lampung. Selain Dipasena, Sjamsul juga memiliki unit perjuangan lain. Salah satunya, PT Gajah Tunggal Tbk. Pada perusahaan produsen ban itu, suami Ayin sempat masuk jajaran petinggi.

“Salah satu yang kita dalami ialah terkait dengan korelasi aturan PT Dipasena dengan Obligor BLBI (Sjamsul Nursalim) yang sedang kita usut kasusnya dengan tersangka SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) ini,” jelas Juru Bicara KPK, Febri Diansyah kepada wartawan di Jakarta, Kamis (2/11).

BDNI merupakan salah satu bank berlikuiditas terganggu lantaran imbas krisis ekonomi 1998. Kemudian BDNI mengajukan santunan lewat sketsa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Akan tetapi dalam perjalanannya BDNI menjadi salah satu kreditor yang menunggak. Pemerintah pada ketika yang bersamaan mengeluarkan kebijakan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang lebih ringan dengan dasar Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2002.

Berdasarkan Inpres tersebut, bank yang menjadi obligor BLBI dapat dinyatakan lunas hutangnya kalau membayar lewat 30 persen uang tunai dan menyerahkan aset senilai 70 persen dari nilai hutang.

Syafruddin yang menjabat sebagai ketua BPPN semenjak April 2002 ini memberikan tawaran kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada Mei 2002. Isi tawaran tersebut, yakni biar KKSK menyetujui terkait perubahan proses litigasi BDNI menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Untuk melunasi kewajiban selaku obligor peserta BLBI, Sjamsul menyerahkan salah satu asetnya yakni Dipasena kepada BPPN. Aset Dipasena tersebut diklaim bernilai Rp4,8 triliun, sesuai dengan sisa utang Sjamsul Nursalim kepada pemerintah atas kucuran BLBI pada 1998 silam.

Dari total tersebut, sekitar Rp1,1 triliun ditagihkan dari sejumlah petani tambak. Jumlah tersebut diklaim sesuai dengan piutang sejumlah petani tambak kepada Dipasena yang dikelola Ayin dan sang suami.

Akan tetapi, sesudah dilelang oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), aset sebesar Rp 1,1 triliun yang dibebankan pada petani tambak itu hanya bernilai Rp 220 miliar. Sedangkan sekitar Rp 3,7 triliun ternyata tidak dilakukan pembahasan oleh BPPN dan tidak ditagihkan ke Sjamsul Nursalim.

Meski demikian, Syafruddin tetap mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Syamsul Nursalim atas kewajibannya. Alhasil, negara diduga harus menanggung kerugian sekitar Rp4,58 triliun.

Tindakan Syafruddin menerbitkan SKL ke Sjamsul Nursalim itu dinilai melanggar hukum. KPK menerka ada kejanggalan terkait klaim Rp1,1 triliun tersebut. Dengan sejumlah bukti dan isu yang dimiliki, penyidik juga mendalami kejanggalan tersebut.

“Jadi kita masih dalam kasus dugaan korupsi BLBI ini terkait dengan tindak lanjut audit BPK. Kita dalami lebih lanjut nilai Rp220 miliar yang sudah di proses PPA tersebut dan juga nilai lebih dari Rp4,5 triliun yang diduga kerugian keuangan negara,” tegasnya.

Terkait upaya mendalami dugaan kolusi dan manipulasi aset tersebut, penyidik telah mengusut sejumlah pihak. Termasuk salah satunya Ayin. Selain fokus soal tambak udang, penyidik KPK juga ingin mendalami komunikasi yang terjalin antara Ayin dengan Sjamsul Nursalim dalam proses SKL diterbitkan BPPN pada April 2004.

“Nah salah satu saksi yang kita periksa itu ialah Artalita Suryani. Kita lihat informasi-informasi terkait dengan kegiatan yang bersangkutan bersama keluarga di Dipasena atau di Lampung tersebut,” kata Febri.

Baca :
Bagaimana dengan nasib Sjamsul dan Ayin dalam kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI ini?, Febri menjawab diplomatis. Sejauh ini KPK memang gres menjerat Syafruddin sebagai tersangka. Penyidik terus melengkapi berkas penyidikan untuk dibawa ke pengadilan tindak pidana korupsi.

“Kita belum (mau) bicara itu, kita masih fokus di satu tersangka yang kita proses. Kami fokus dulu mendalami faktor-faktor yang menjadi dugaan kerugian negara lebih dari Rp4,5 triliun itu,” demikian Febri ketika dikutip dari Aktual. (***)

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment