Ilmu Pengetahuan Pengertian, Tujuan, Syarat Sahnya Dan Asas-Asas Perjanjian

Pengertian, Tujuan, Syarat Sahnya Dan Asas-Asas Perjanjian Perjanjian atau kontrak yakni suatu kejadian di mana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau di mana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia). Oleh karenanya, perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu kekerabatan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Perjanjian atau kontrak yakni suatu kejadian di mana seorang atau  satu pihak berjanji k Ilmu Pengetahuan Pengertian, Tujuan, Syarat Sahnya Dan Asas-Asas Perjanjian
Perjanjain

I. Pengertian Perjanjian

Perjanjian ( Overeekomst) merupakan suatu kejadian dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan tertentu yang mempunyai akhir hukum. Jika kedua belah pihak telah setuju berarti mereka telah menciptakan atau memilih peraturan kaidah / hak atau kewajiban. Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat-akibat aturan yang merupakan konsekwensinya. 

Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi itu mencakup perbuatan-perbuatan:
  • Menyerahkan sesuatu, contohnya melaksanakan pembayaran harga barang dalam perjanjian jual beli barang,
  • Melakukan sesuatu, contohnya menuntaskan pembangunan jembatan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan,
  • Tidak melaksanakan sesuatu, contohnya tidak bekerja di daerah lain selain perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja.
Perjanjian melibatkan sedikitnya dua pihak yang saling menawarkan kesepakatan mereka. Para pihak ini berdiri berhadap-hadapan dalam kutub-kutub hak dan kewajiban. Pihak yang berkewajiban memenuhi isi perjanjian disebut debitur, sedangkan pihak lain yang berhak atas pemenuhan kewajiban itu disebut kreditur. Dalam perjanjian jual beli mobil, sebagai penjual Gareng berhak memperoleh pembayaran uang harga mobil, dan disisi lain ia juga berkewajiban untuk menyerahkan mobilnya kepada Petruk. Sebaliknya, sebagai pembeli Petruk wajib membayar lunas harga kendaraan beroda empat itu dan ia sekaligus berhak memperoleh mobilnya.

Selain orang-perorangan (manusia secara biologis), para pihak dalam perjanjian bisa juga terdiri dari tubuh hukum. Perseroan Terbatas (PT) merupakan tubuh aturan yang sanggup menjadi salah satu pihak atau keduanya dalam perjanjin. Kedua-duanya merupakan subyek hukum, yaitu pihak-pihak yang sanggup melaksanakan perbuatan hukum, pihak-pihak yang mengemban hak dan kewajiban. Suatu tubuh aturan segala perbuatan hukumnya akan mengikat tubuh aturan itu sebagai sebuah entitas legal (legal entity). Meskipun perbuatan tubuh aturan itu diwakili pemimpinnya, contohnya Direktur dalam Perseroan Terbatasnamun perbuatan itu tidak mengikat pemimpin tubuh aturan itu secara perorangan, melainkan mewakili perusahaan sebagai legal entity.

Dalam pelaksanaannya, jikalau terjadi pelanggaran perjanjian, contohnya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) sehingga menimbulkan kerugian pada hak pihak yang lain, maka pihak yang dirugikan itu sanggup menuntut pemenuhan haknya yang dilanggar. Kalau Gareng setuju untuk menjual mobilnya kepada Petruk, demikian juga Petruk setuju untuk membeli kendaraan beroda empat itu dari Gareng, maka keteledoran Petruk melaksanakan pembayaran harga kendaraan beroda empat secara sempurna waktu akan melanggar hak Gareng. Selain melanggar hak, keteledoran Petruk juga sanggup merugikan Gareng lantaran Gareng tidak bisa menjual kendaraan beroda empat itu ke pihak lain yang mempunyai komitmen lebih tinggi, secara waktu Gareng telah dirugikan.

II. Tujuan Perjanjian

Tujuan perjanjian layaknya menciptakan undang-undang, yaitu mengatur kekerabatan aturan dan melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat secara umum, sedangkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang menawarkan kesepakatannya. Karena setiap orang dianggap melek hukum, maka terhadap semua undang-undang masyarakat telah dianggap mengetahuinya, sehingga bagi mereka yang melanggar, siapapun, tak ada alasan untuk lepas dari hukuman.

Demikian pula perjanjian, bertujuan mengatur hubungan-hubungan aturan namun sifatnya privat, yaitu hanya para pihak yang menandatangani perjanjian itu saja yang terikat. Jika dalam pelaksanaannya menimbulkan sengketa, perjanjian itu sanggup dihadirkan sebagai alat bukti di pengadilan guna menuntaskan sengketa. Perjanjian mengambarkan bahwa kekerabatan aturan para pihak merupakan sebuah fakta hukum, yang dengan fakta itu kesalahpahaman dalam sengketa sanggup diluruskan, bagaimana seharusnya kekerabatan itu dilaksanakan dan siapa yang melanggar.

III. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian yakni syarat-syarat semoga perjanjian itu sah dan punya kekuatan mengikat secara hukum. Tidak terpenuhinya syarat perjanjian akan menciptakan perjanjian itu menjadi tidak sah. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya perjanjian terdiri dari :

a. Syarat Subyektif (Mengenai subyek atau para pihak)

1. Kata Sepakat

Kata setuju berarti adanya titik temu (a meeting of the minds) diantara para pihak perihal kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dalam perjanjian jual beli mobil, Gareng punya kepentingan untuk menjual mobilnya lantaran ia membutuhkan uang. Sebaliknya, Petruk membeli kendaraan beroda empat Gareng lantaran ia punya kepentingan mempunyai kendaraan. Pertemuan kedua kepentingan itu akan mencapai titik keseimbangan dalam perjanjian.

2. Cakap

Cakap berarti dianggap bisa melaksanakan perbuatan hukum. Prinsipnya, semua orang berhak melaksanakan perbuatan hukum, setiap orang sanggup menciptakan perjanjian, kecuali orang yang belum dewasa, dibawah pengampuan, dan orang-orang tertentu yang tidak boleh oleh undang-undang.

Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melaksanakan perbuatan aturan kecuali yang  oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.  Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk menciptakan suatu perjanjian yakni : 
  • Orang yang belum dewasa. Mengenai kedewasaan Undang-undang memilih sebagai berikut :
  1. Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang menciptakan perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
  2. Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 perihal Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi laki-laki yakni bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi perempuan apabila telah mencapai umur 16 tahun.
  • Mereka yang berada di bawah pengampuan.
  • Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
  • Semua orang yang tidak boleh oleh Undang-Undang untuk menciptakan perjanjian-perjanjian tertentu.
Apabila syarat subyektif tidak sanggup terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang sanggup meminta penghapusan itu, yakni pihak yang tidak cakap atau pihak yang menawarkan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.

Jadi, perjanjian yang telah dibentuk itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas seruan pihak yang berhak meminta penghapusan tersebut.

b. Syarat Obyektif (Mengenai obyek perjanjian)

1. Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu berarti obyek perjanjian harus terang dan jelas, sanggup ditentukan baik jenis maupun jumlahnya. Misalnya, Gareng menjual kendaraan beroda empat Toyota Avanza Nomor Polisi B 1672 RI dengan harga Rp. 180.000.000 kepada Petruk. Obyek perjanjian tersebut jenisnya jelas, sebuah kendaraan beroda empat dengan spesifikasi tertentu, dan begitupun harganya.

2. Suatu Sebab Yang Halal

Suatu alasannya yakni yang halal berarti obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang tapi diperbolehkan oleh hukum. Suatu alasannya yakni yang tidak halal itu mencakup perbuatan melanggar hukum, berlawanan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum. Misalnya perjanjian perdagangan insan atau senjata ilegal.

Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif dan obyektif di atas sanggup mengakibatkan perjanjian menjadi tidak sah. Perjanjian yang tidak sah lantaran tidak terpenuhinya salah satu syarat subyektif akan mengakibatkan perjanjian itu sanggup dimintakan penghapusan (canceling) oleh salah satu pihak. Maksudnya, salah satu pihak sanggup menuntut penghapusan itu kepada hakim melalui pengadilan. Sebaliknya, apabila tidak sahnya perjanjian itu disebabkan lantaran tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian tersebut batal demi aturan (nul and void), yaitu secara aturan semenjak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian. Selain syarat sahnya perjanjian, suatu perjanjian juga gres akan mengikat para pihak jikalau dalam pembuatan dan pelaksanaannya memenuhi asas-asas perjanjian.

Sebab yang halal yakni isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam pasal 1337 KUHPer.


Dapat kita lihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang. Selanjutnya, bila kita lihat pada pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 perihal Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”), kita temui kewajiban memakai Bahasa Indonesia dalam kontrak :
Bahasa Indonesia wajib dipakai dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan forum negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, forum swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.”

Jadi, untuk kontrak yang para pihaknya merupakan WNI, wajib untuk memakai Bahasa Indonesia. Hal demikian juga ditegaskan oleh Marianna Sutadi, mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI. Menurutnya, ketentuan pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak hanya berlaku terhadap perjanjian antarnegara tetapi juga antarlembaga swasta Indonesia atau perseorangan WNI. Hal demikian beliau sampaikan dalam Seminar Hukumonline 2009 yang bertajuk “Pembatalan Kontrak Berbahasa Asing” pada 16 Desember 2009.


Begitu pula dinyatakan oleh Rosa Agustina, Guru Besar Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurutnya, pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang berlaku di aturan perdata. Rosa menjelaskan asas kebebasan berkontrak tetap mempunyai batasan, salah satunya undang-undang (lihat pasal 1337 KUHPer). Dia juga memandang rumusan pasal tersebut sanggup meminimalisir selisih paham mengenai penafsiran serta istilah-istilah dalam perjanjian.


Tidak dipenuhinya ketentuan pasal 31 ayat (1) UU 24/2009, bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut kebatalan demi aturan perjanjian yang tidak memakai Bahasa Indonesia tersebut. Alasannya, kontrak tidak memenuhi unsur ‘sebab atau kausa yang halal’ sebagaimana disyaratkan pasal 1320 jo pasal 1337 KUHPer.

Apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya semenjak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

IV. Asas-Asas Perjanjian

  1. Asas Konsensualisme yakni perjanjian itu telah terjadi apabila telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir semenjak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak memilih lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
  2. Asa kebebasan berkontrak, adalh seorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula memilih bentuk perjanjian. Bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk memilih materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibentuk secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
  3. Azas Pacta sunt Servanda maksudnya bila perjanjian itu telah disepakati berlaku mengikat para pihak yang bersangkutan sebagai undang- undang.

Dasar hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
  2. Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 perihal Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan

Referensi :

  1.  Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2000
  2. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, 1989
  3. Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata,  Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
  4. Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum 
  6. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment