Ilmu Pengetahuan Berlakunya Kuhperdata (Burgerlijk Wetboek Atau Bw) Di Indonesia

Berlakunya KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek Atau BW) Di Indonesia  Hukum Perdata yakni ketentuan yang mengatur hak-hak dan kewajiban antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi aturan di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian aturan menjadi dua yakni aturan publik dan aturan privat atau aturan perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini. Hukum di Indonesia merupakan adonan dari sistem aturan hukum Eropa, aturan Agama dan aturan Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada aturan Eropa kontinental, khususnya dari Belanda lantaran aspek sejarah masa kemudian Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).

 dikenal pembagian aturan menjadi dua yakni aturan publik dan aturan privat atau aturan perdat Ilmu Pengetahuan Berlakunya KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek Atau BW) Di Indonesia
Berlakunya KUHPerdata (BW)
Tahun 1839, satu tahun semenjak berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW) di Belanda, Raja Belanda membentuk panitia yang diketuai oleh Mr. Paul Scholten seorang sarjana aturan Belanda, untuk memikirkan bagaimana caranya supaya kodifikasi di negara Belanda sanggup pula digunakan untuk tempat jajahan, yaitu Hindia Belanda.

Setelah panitia Scholten ini bubar, Presiden Hooggerechtshof (HGH) atau MA di Hindia Belanda, waktu itu Mr. H.L. Wichers, ditugaskan membantu Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memberlakukan Kitab Hukum yang gres itu, sambil memikirkan Pasal-Pasal yang mungkin masih perlu diadakan. Semua peraturan yang telah dirumuskan tersebut kemudian dengan Pengumuman Gubjen Hindia Belanda tanggal 3 Desember 1847, dinyatakan berlaku mulai pada 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Pemberlakuan tersebut berdasarkan azas konkordansi (concordantie beginsel) yang diatur dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) S. 1925 - 557, yang mengemukakan bahwa bagi setiap orang Eropah yang ada di Hindia Belanda diberlakukan aturan perdata yang berlaku di Belanda.

Berdasarkan S. 1847 - 23, BW (KUH Perdata) di Indonesia hanya berlaku terhadap :
  1. Orang-orang Eropa, yang mencakup : orang Belanda; orang yang berasal dari Eropa lainnya; orang Jepang, AS, Kanada, Afrika Selatan, dan Australia beserta bawah umur mereka.
  2. Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, yakni mereka yang pada ketika BW berlaku memeluk agama Kristen.
  3. Orang-orang Bumiputra turunan Eropa.
Kemudian berdasarkan S. 1917 - 12 (mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1917) kepada golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing, dengan sukarela sanggup menundukkan dirinya kepada BW (dan KUH Dagang) baik sebagian maupun untuk seluruhnya. Berdasarkan azas konkordansi, maka kodifikasi aturan perdata Belanda menjadi pola bagi kodifikasi aturan perdata Eropa di Indonesia.

Dengan demikian anasir-anasir/unsur-unsur KUH Perdata Indonesia berasal dari :
  • Hukum Romawi,
  • Hukum Prancis kuno, dan
  • Hukum Belanda kuno.
BW di negara Belanda sendiri semenjak tahun 1838, telah beberapa kali mengalami perubahan dan ketika ini BW yang berlaku di negara Belanda sendiri yakni BW yang gres (telah diperbaharui).

Pada zaman Jepang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 atau 2602 Pasal 3 disebutkan bahwa : "Semua tubuh pemerintahan dan kekuasaannya, hukum, dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah bala tentara Jepang".

Sesudah Jepang mengalah kepada sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka berlakulah tatanan aturan negara RI, walaupun tatanan tersebut sebagian besar masih merupakan peninggalan Hindia Belanda. Berlakunya tatanan menyerupai itu yakni berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang memilih : "Semua peraturan yang ada hingga ketika Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang gres berdasarkan Undang-undang ini". Kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Kemudian diikuti Pasal 192 Konstitusi RIS, dan Pasal 142 UUDS 1950.

BW yang berlaku di Indonesia semenjak 1848 itu merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, lantaran itu sudah barang tentu dibentuk berdasarkan azas-azas dan kepentingan Belanda sendiri. Apabila ada azas-azas dalam BW itu yang berbeda dengan asas dan kepentingan bangsa Indonesia sendiri, maka hal itu sudah sepantasnya.

Azas-azas dalam KUH Perdata yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Indonesia tersebut yakni sebagai berikut :
  1. Adanya anggapan yang individualistis terhadap hak eigendoom (Pasal570);
  2. Adanya ketidakmampuan bertindak bagi perempuan yang bersuami dalam lapangan aturan kekayaan (Pasal 108 & 110 jo 1330);
  3. Adanya kebebasan untuk mengadakan kontrak (Pasal 1338);
  4. Adanya asas monogami mutlak dalam perkawinan (Pasal 27);
  5. Adanya sifat netral/sekuler/keduniawian pada aturan perdata (Pasal26).

KEDUDUKAN HUKUM KUH PERDATA DEWASA INI

BW (KUH Perdata) oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di Belanda dan diperlakukan pertama-tama bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia.

Kemudian sehabis kita merdeka, dan juga sebelumnya, BW itu dirasakan kurang sesuai dengan nilai-nilai atau unsur-unsur yang menempel pada kepriba-dian Indonesia. Kemudian timbul gagasan gres menganggap BW itu hanya sebagai pedoman. Gagasan ini diajukan oleh Menteri Kehakiman, Sahardjo, SH pada sidang Badan Perancang dari Lembaga Pembina Hukum Nasional bulan Mei 1962. Dengan gagasan ini, penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengenyampingkan beberapa pasal dari BW yang tidak sesuai.

Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan supaya BW sebagai anutan juga supaya dihilangkan sama sekali dari bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang melainkan secara suatu pernyataan resmi dari pemerintah atau dari Mahkamah Agung. Ternyata gagasan perihal kedudukan KUH Perdata ini disetujui oleh MA dan juga oleh para sarjana, sehingga dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada seluruh Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia supaya beberapa pasal tertentu dari KUH Perdata dianggap tidak berlaku lagi.

Kondisi Hukum Perdata di Indonesia sanggup dikatakan masih bersifat beragam yaitu masih beraneka. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu :
  • Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia, lantaran negara kita Indonesia ini terdiri dari banyak sekali suku bangsa.
  • Faktor Hostia Yuridisyang sanggup kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu :
  1. Golongan Eropa dan yang dipersamakan,
  2. Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
  3. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu :
  1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
  2. Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu aturan yang semenjak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
  3. Bagi golongan timur ajaib (bangsa Cina, India, Arab) berlaku aturan masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan aturan tertentu saja.
Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibentuk untuk bangsa Indonesia menyerupai :
  • Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Katolik (Staatsblad 1933 no7.4).
  • Organisasi perihal Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570 berafiliasi denag no 717).
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu :
  • Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912),
  • Peraturan Umum perihal Koperasi (Staatsblad 1933 no 108),Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523),
  • Ordonansi perihal pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).
Adapun Pasal-Pasal KUH Perdata yang dianggap tidak berlaku berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tersebut yakni :
  1. Pasal 108 dan 110 perihal kewenangan isteri melaksanakan perbuatan hukum dan menghadap di muka Pengadilan;
  2. Pasal 284 ayat 3; mengenai ratifikasi anak yang lahir diluar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, ratifikasi anak itu tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan aturan antara ibu dan anak, sehingga juga perihal hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua WNI;
  3. Pasal 1682; yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan sertifikat notaris. Dengan demikian penghibahan diantara semua WNI juga sanggup dilakukan dengan sertifikat hibah dibawah tangan;
  4. Pasal 1579; yang memilih bahwa dalam hal sewa menyewa barang, si pemilik sanggup menghentikan persewaan dengan mengatakan, akan menggunakan sendiri barangnya. Saat ini sanggup terjadi apabila pada waktu membentuk perjanjian sewa-menyewa telah disepakati;
  5. Pasal 1238; yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya sanggup diminta di muka hakim, apabila somasi didahului dengan suatu penagihan tertulis, melainkan sanggup dilakukan secara lisan.
  6. Pasal 1460; memilih bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual, semenjak ketika itu yakni tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan. Makara risiko dalam jual beli ditangan pembeli. Dengan tidak berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya barang-barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak, yaitu si penjual dan si pembeli;
  7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2; yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropah disatu pihak dan orang bukan Eropah dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan.
Bertolak dari pendapat dan uraian di atas, maka cukup umur ini kedudukan KUH Perdata di Indonesia hanya merupakan rechtboek (buku hukum), bukan sebagai wetboek (buku Undang-undang). Oleh karenanya, berlakunya KUH Perdata hanya sebagai anutan saja. Sehingga biasa juga dikatakan KUH Perdata itu hanya suatu ketentuan yang tidak tertulis tetapi tertulis. Walaupun kenyataannya guna mengatasi kevacuuman (mengisi kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUH Perdata itu secara a priori harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht). Namun apabila ditinjau secara yuridis formil, KUH Perdata masih tetap sebagai aturan positip lantaran hingga pada ketika ini belum ada undang-undang dan peraturan resmi mencabutnya.

Saat ini ada UU yang mempengaruhi berlakunya KUH Perdata, yaitu yakni :
  1. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 perihal Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan " Buku Ke-II KUH Perdata dicabut, sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UU ini".
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perihal Perkawinan, contohnya isteri sanggup bertindak secara aturan (Pasal 31 ayat 2); cukup umur yakni mereka yang telah mencapai usia 18 tahun (Pasal 47 jo 50).
  3. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan tidak ada diskriminasi dalam ketenagakerjaan.
  4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan; menyatakan tidak berlaku peraturan hipotik terhadap hak atas tanah yang diatur dalam buku II KUH Perdata.
Dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 membawa konsekuensi berlakunya pasal-pasal KUH Perdata :
  • Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh, lantaran tidak mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Misalnya : Pasal 505, 509 - 518, 612, 613, 826, 827, 830 - 1130, 1131 - 1149, 1150 - 1160 KUH Perdata.
  • Ada pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal yang melulu mengatur mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Misalnya :
  1. Pasal perihal benda tak bergerak yang hanya berafiliasi dengan hak-hak atas tanah;
  2. Pasal-pasal perihal cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah;
  3. Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak;
  4. Pasal 625 - 672, 673, 674 - 710, 711 - 719, 720 - 736, 737 - 755 KUH Perdata.
  • Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tidak berlaku lagi dan masih berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya.
Misalnya : - Pasal-Pasal perihal benda umumnya;
  • Pasal 503 - 505, 
  • Pasal 529 - 568, 
  • Pasal 570, 
  • Pasal 756, 
  • Pasal 818 KUH Perdata.

Dasar Hukum :

  1. Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.)
  2. Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912),
  3. Peraturan Umum perihal Koperasi (Staatsblad 1933 no 108),Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523),
  4. Ordonansi perihal pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98)

Daftar Pustaka :

  1. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum-perdata
  2. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999
  3. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Graffindo 
  4. Persada, Jakarta, 2004
  5. https://prinsipilmu.blogspot.com/search?q=pengertian-hukum-perdata
  6. Komariah, Hukum Perdata Edisi Revisi, UMM Press, Malang, 2010
  7. Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
  8. Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994
  9. R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung, 1999
  10. R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1979

Related Posts

0 komentar:

Post a Comment